Mohon tunggu...
Awang Gumay
Awang Gumay Mohon Tunggu... wiraswasta -

Cumaikolah

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kutukan Sang Empunya Sayap-sayap Patah

26 April 2011   11:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:22 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Kulihat beberapa hari ini wajahmu begitu murung. Ada permasalahan apa yang menimpa sahabatku ini? Ceritakanlah pada sahabatmu ini!” aku membuka percakapan setibanya di dalam kamar kos Romi. Kulihat tubuhnya terbaring dan matanya menerawang ke langit-langit kamar.

“Aku putus dengan Marry, Boy,” jawab Romi lirih.

“Kamu seperti ayam tertelan karet begini hanya karena kamu putus dengan Marry?”

“Iya.”

“Aneh! Wanita di sekeliling kita ini begitu banyak, Mi. Nah, tinggal kamu cari lagi saja pengganti Marry. Hilang satu tumbuh seribu, toh? Menurutku kamu tidak perlulah bermurung-murungan seperti ini.”

“Putus, lalu cari lagi yang baru? Permasalahan cinta tidak sesederhana itu, Boy.”

“Bila tidak sesederhana yang aku pikirkan, lantas serumit apakah masalah cinta itu?” aku bertanya dengan sedikit berhati-hati.

“Rumitnya yaitu ketika kita tidak bisa menggunakan logika untuk menerjemahkan rasa cinta itu. Cinta datang dan pergi tanpa kuasa logika.”

“Hahahaha...” aku tertawa pelan. “Lucu sekali ketika aku mendengar seorang materialis yang sudah berlumut sepertimu bisa mengeluarkan pernyataan seperti itu. Terus terang saja, aku ini tidak pernah mengalami yang namanya jatuh cinta, lebih-lebih lagi putus cinta. Malahan aku sering merasa heran dengan orang-orang yang berpacaran itu. Bagaimana tidak, hubungan mereka itu tanpa ikatan perhubungan yang jelas, tanpa ada komitmen antara dua orang yang dituangkan di atas kertas, tetapi dari hubungan itu timbul hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak. Kemudian yang tidak logisnya lagi apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak yang merasa berhak atas kewajiban itu dapat melakukan tindakan kekerasan fisik maupun tindakan kekerasan kejiwaan terhadap pihak yang tidak melaksanakan kewajiban. Contoh tindakan ini bisa aku lihat pada wajah Putri yang lebam karena dipukuli pacarnya. Benar-benar tidak logis.”

“Bagiku, cinta adalah keindahan, tidak seperti cinta yang kamu lihat, Boy.”

“Begitukah? Kemudian, bukankah kata orang-orang cinta itu tidak harus memiliki? Mengapa pula sekarang kamu tidak bisa melakukan itu? Atau apakah frase itu hanya dituliskan dalam karya-karya sastra saja?” nyinyirku tidak terbendung.

“Iya, aku mengakui bahwa cinta hakiki tidak harus memiliki, tetapi sekarang ini adalah masaku untuk merangkak melakukan itu. Suatu kewajaran, bukan?” Romi terdiam sejenak. Kemudian dia melanjutkan berucap, “Cintaku pada Marry teramat dalam, maka dari itu aku perlu waktu yang tidak terbatas untuk bisa tidak memilikinya.”

“Hahahaha...” aku kembali tertawa mendengar kalimat dramatis seperti itu. “Hey, seorang Kahlil millenium telah lahir!” seruku.

“Kamu boleh tertawa atau menjuluki aku Kahlil, Boy. Akan tetapi, satu hal yang harus kamu ingat adalah bahwa kamu bukannya tidak pernah merasakan jatuh cinta, melainkan kamu itu belum merasakan jatuh cinta. Ingatlah kata-kataku ini, Boy!”

“Oke, akan kuingat kata-katamu itu.” Aku melirik ke arah penunjuk waktu di Hp-ku, “Aku tidak bisa berlama-lama karena aku harus segera ke perpustakaan untuk mencari bahan makalah. Oke, semoga cepat bangkit, sahabatku.”

“Terima kasih, Boy.”

Aku beranjak meninggalkan Romi.

**

Hari pertama perkuliahan tahun ajaran baru. Waktu menunjukkan pukul delapan pagi kurang beberapa menit, sementara gedung perkuliahan sudah nampak ramai oleh para mahasiswa. Beberapa wajah dari mereka sama sekali belum pernah kukenal. Beberapa wajah yang belum kukenal itu terlihat celingak-celingukan seperti orang-orang yang berusaha untuk mengenali lingkungan di sekitarnya.

“Ruang J lima dimana ya, kak?” tiba-tiba terdengar suara sedikit serak tetapi lembut menghampiri telingaku. Aku membalikkan badan menghadap asal suara. Tatapan mata kami sempat beradu sebentar. Dan ternyata suara itu milik cewek manis berjilbab, badannya tidak terlalu tinggi, dan di bibirnya tersungging senyum yang sangat manis.

“J lima...? Oh, ruang J lima di atas tuh,” aku menjawab agak gelagapan. “Anak baru ya?” aku balas bertanya.

“Iya, kak,” jawabnya manis.

“Boy. Boy Cumaikolah,” kataku sambil menyodorkan tangan bermaksud ingin berkenalan.

“Kleofitri. Panggil saja Kleo,” dia balas memperkenalkan diri dan menyambut tanganku. Ya ampun, saraf sensorikku dapat berkerja dengan baik terhadap sentuhan telapak tangan yang sangat halus membuat jantungku berdetak kencang.

“Ow, Cleopatra-nya Indonesia, dong!” candaku. Diapun melepas tawa kecil. Kemudian untuk beberapa saat kami berdiam diri. “Mata kuliah pagi ini PIH ya?” tanyaku melepas diam.

“Iya, kok tahu?”

“Itu dosennya sudah tiba.”

“Ooo...! Kalau begitu aku masuk ke kelas dulu ya, kak. Dah, kak Boy!”

“Dah, Kleo!”

Mataku terus memandangi tubuh Kleo yang berjalan membelakangi menjauh dariku hingga akhirnya dia menghilang di belokan ujung gedung. Dia telah menghilang meninggalkan mataku yang berbinar-binar, meninggalkan jantungku yang berdetak kencang, dan meninggalkan darahku yang mengalir deras hingga terasa berputar-putar di ubun-ubun.

Pagi ini aku benar-benar merasakan gejala kejiwaan yang aneh yang sebelumnya belum pernah aku rasakan. Aku merasakan suatu kegembiraan meskipun sejak beberapa hari ini aku dibuat pusing karena uang kiriman dari ortu belum juga tiba. Mungkinkah si pemilik suara sedikit serak tetapi lembut, binar-binar mata yang jernih, dan senyuman yang sangat manis tadi yang membuat aku gembira?

Apakah perasaan yang seperti ini yang sering dinamakan orang dengan perasaan jatuh cinta pada pandangan pertama itu? Tidak mungkin. Aku tidak mungkin jatuh cinta. Apabila perasaanku saat ini timbul akibat pertemuanku dengan Kleo, maka itu tidak lebih aku anggap sebagai perasaan kagumku terhadap sesuatu yang indah semata, bukan perasaan cinta.

**

Sudah hampir setengah tahun aku mengenal Kleo, dan selama itu pula aku merasakan gejala kejiwaan yang aneh di diriku. Bayangan wajahnya terus mengikuti gerak langkahku. Setiap harinya aku terlalu bersemangat untuk berjumpa dengan dia. Aku yang sering terlambat datang ke kampus selama hampir setengah tahun ini tidak pernah satu haripun terlambat. Meskipun dalam satu hari itu tidak ada mata kuliahku tetapi tetap saja aku datang ke kampus.

Komunikasi antara aku dan Kleo sudah terbangun sangat baik. Komunikasi itu tidak hanya terbangun dalam percakapan tatap muka saja, tetapi juga hampir setiap menit komunikasi itu terjadi dalam pesan singkat dan dalam pembicaraan melalui Hp. Dalam bangunan komunikasi yang intens itu bahkan tidak ada hal yang urgen untuk dibicarakan, misalnya saja pesan singkat yang dikirim hanya bertuliskan “Hi, lagi ngapain?”. Aku sama sekali tidak memperdulikan urgensi materi komukasi itu. Aku hanya perduli pada hasratku.

Hari ini tanggal empat belas Februari. Kata orang-orang hari ini adalah hari kasih sayang. Pikirku, saat inilah momen yang tepat bagiku untuk mengutarakan perasaanku pada Kleo —padahal selama ini aku tidak pernah perduli sama sekali dengan perayaan ini—.

Siang ini tidak ada lagi mata kuliah yang harus diikuti oleh aku dan Kleo.

“Jalan, yuk?” ajakku saat aku berjumpa dengan Kleo.

“Kemana?”

“Pokoknya kamu ikut saja. Tempatnya asyik, kok,” jawabku merayu. Kemudian Kleo hanya menganggukan kepala beberapa kali tanda setuju.

Sesaat kemudian kami berdua telah berboncengan di atas sepeda motorku, melintas menuju tempat yang aku janjikan pada Kleo.

Di sepanjang perjalanan jantungku berdetak-detak kencang. Bagaimana tidak, karena nanti aku akan mengucapkan kalimat ekspresif yang belum pernah sama sekali aku ucapkan kepada seseorang.

Akhirnya kami tiba di tempat yang aku janjikan, di tempat sebuah cagar alam yang sekaligus dijadikan sebagai obyek wisata, Danau Dendam Tak Sudah. Kami duduk dalam sebuah pondok-pondok di pinggir danau.

“Nih, cokelat untukmu,” aku menyerahkan sebatang kecil cokelat pada Kleo.

“O, terima kasih, kak! Selamat hari kasih sayang ya, kak,” Kleo menerima cokelat dan berucap. Aku hanya membalas ucapan Kleo dengan anggukan kepala. Beberapa saat kemudian aku memulai untuk mengutarakan perasaanku.

“Kleo, kamu sudah punya pacar?” aku bertanya dengan nada suara rendah.

Kleo bengong mendengar pertanyaanku. Kemudian dia menjawab dengan suara yang menurutku itu adalah suara yang centil, “Belum. Mengapa kakak bertanya seperti itu?”

“Eee...!! Se... sejujurnya sejak pertama bertemu denganmu aku merasakan perasaan yang aneh ini. Aku pikir sekaranglah waktu yang tepat untuk mengutarakan perasaanku ini padamu. Aku cinta kamu, maukah kamu menjadi pacarku?” meskipun gugup tetapi berhasil kuutarakan juga perasaanku. Kulihat mimik terkejut di wajah Kleo.

“Harus Kleo jawab sekarang?”

“Iya.”

“Benar kakak cinta sama Kleo dan mau jadi pacar Kleo?”

“Benar. Sumpah, kakak benar-benar cinta dan ingin menjadi pacar Kleo!”

“Ya sudah, kalau begitu kita coba jalani saja.”

“Maksud Kleo?” aku meminta jawaban yang pasti dari Kleo.

“Iya, Kleo cinta kakak dan mau jadi pacar kakak.”

Mendengar jawaban pasti dari Kleo membuat aku girang bukan kepalang. Bunga-bunga bertaburan di hatiku. Masih dalam khilafku aku memijakkan kaki-kakiku di taman cinta.

Lagu Symphony Yang Indah yang dilantunkan Once semakin menggiringku masuk ke dalam pelukan Aphrodite.

**

Seminggu sudah.

Sejak hari ‘kejadian cinta’ itu aku merasa akulah manusia yang paling berbahagia di dunia ini. Rasa simpati, empati, serta cemburu terhadap Kleo kerap menghinggapi hati dan pikiranku.

Mungkin hanya ajal yang mampu menghapuskan hasratku yang selalu ingin bersama dia. Aku ingin selalu dekat dengan dia. Aku tidak memperdulikan pikiran-pikiran mereka terhadap keintiman hubungan kami.

Dan sejak hari ‘kejadian cinta’ itu aku memanggil Kleo dengan panggilan “Sayang”. Panggilan ekspresif dalam kesakralan romantisme. “Sayang”? hatiku tiba-tiba bertanya-tanya dengan kata itu. Selama satu minggu ini hanya aku yang menggunakan kata itu, sementara Kleo sekalipun tidak pernah mengucapkan atau menuliskan kata itu dalam pesan singkat sekalipun. Ada pertanda apakah ini? Aku penasaran. Aku harus tahu jawabannya.

“Halo, sayang!” sapaku kepada Kleo di ujung telepon sana.

Kemudian, dalam beberapa menit saja obrolan kami meluas kesana-sini.

“Say, mengapa kamu tidak pernah sekalipun memanggilku dengan panggilan “Sayang”? Aku pikir, tentu tidaklah terlalu berat untuk kamu mengucapkan panggilan itu, bukan?” akhirnya kulepaskan rasa penasaranku. Di ujung telepon tiba-tiba hening beberapa saat.

“Maaf, kak! Untuk saat ini Kleo masih merasa berat untuk mengucapkan kata itu.”

Keadaan hening beberapa saat. Tetapi beberapa saat kemudian, dari ujung telepon terdengar Kleo menyanyikan pelan lagu Ayat-Ayat Cinta. Keadaan berubah mencekam. Aku merinding karena tersugesti nyanyian Ayat-Ayat Cinta.

Lagu Ayat-Ayat Cinta masih menyisahkan beberapa bar lagi. “Mengapa kamu menyanyikan lagu itu?” kupotong nyanyian Kleo.

“Kleo benar-benar minta maaf pada kakak. Kleo belum bisa mengucapkan panggilan itu karena perasaan Kleo terhadap kakak baru sebatas perasaan suka, tidak lebih.”

Mendengar pernyataan itu aku seperti tersambar petir. “Terus, apa artinya kamu menerima cintaku seminggu yang lalu?”

“Kleo cuma iseng menerima cinta kakak itu. Mmm... sebenarnya kemarin itu Kleo masih punya pacar, tetapi hubungan kami memang sedang renggang. Saat itu Kleo berada posisi bimbang. Sekali lagi Kleo mohon maaf atas keisengan Kleo menerima cinta kakak. Jujur, Kleo merasa nyaman saat sosok kakak hadir dalam kehidupan Kleo, tapi lagi-lagi perasaan Kleo terhadap kakak tidak lebih dari perasaan suka. Yakinlah bahwa semua akan indah pada waktunya.”

“Muak sudah aku mendengar omong kosong tanpa dosamu itu! Kita akhiri semua ini!” ucapku penuh emosi. Kuputuskan panggilan telepon.

Seluruh tubuhku lemas. Kepedihan yang mendalam menyayat-nyayat hatiku. Aku benar-benar tidak menyangka atas apa yang menimpaku. Semudah itu dia mempermainkan hatiku.

**

Nyaris tiga tahun sakit ini mengidapi diriku. Cinta dan kebencian kugoreskan tanpa kehendak menjadi lukisan siluet di hatiku.

Aku masih bertanya.

Dendam Tak Sudah, sebesar apakah dendam yang engkau semayamkan di endapan lumpur hitammu sehingga dirimu tak mampu menyembunyikan aura traumatik yang mendalam di wajahmu dan membiarkan legendamu menjadi cerita pengantar tidur?

Sang pujangga melankolis empunya ‘Sayap-Sayap Patah’, bila ini adalah kutukanmu, maka bijaksanakanlah hatimu untuk mencabutnya karena aku bukanlah jema’atmu. Maafkan keangkuhanku.

***

Untuk seseorang yang tak terlupakan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun