Brr...!
Aku mulai merasa menggigil karena angin malam mulai menyelinap masuk melalui sela-sela jendela yang sengaja aku buka sedikit.
Sembari bangkit dari pembaringan, aku melirik ke arah jam dinding. Hampir pukul dua belas malam kiranya, kataku dalam hati.
Dari kejauhan masih terdengar samar-samar suara dentuman house music.Ya, suara ini berasal dari kompleks lokalisasi yang berjarak sekitar lima ratusan meter dari rumahku. Warga sekitar, termasuk warga kampungku tidak pernah merasa terusik oleh aktifitas mereka di kompleks lokalisasi sana. Toleransi yang diberikan oleh warga sekitar lokalisasi tidak lebih karena mereka mempunyai nasib yang sama, yaitu nasib menjadi orang yang hanya ingin menyambung hidup saja.
Anak-anak kompleks lokalisasi sehari-harinya bermain dengan nyaman dengan anak-anak warga kampungku. Aku sama sekali tidak pernah mendengar anak-anak atau orang dewasa di kampungku mengejek mereka dengan julukan ‘anak pelacur’ atau ‘anak mucikari’ atau julukan-julukan negatif lain. Dan aku memandang anak-anak itu adalah sebagai manusia yang terlahir dari proses alamiah. Tidak ada seorang manusiapun yang terlahir tanpa martabat dan terlahir untuk dihina.
Di kompleks lokalisasi itu aku mempunyai kenalan seorang pelacur yang seusiaku. Della, begitu dia ingin aku memanggil namanya. Keanggunan seorang wanita sudah begitu menjauh dari dirinya. Yang masih tersisa hanyalah kecantikan buram dan kemolekan tubuhnya saja. “Keanggunan apalagi yang aku punya bila semua lelaki bisa dengan mudah menikmati tubuhku,” keluhnya kepadaku suatu ketika.
Dia juga pernah bercerita singkat kepadaku tentang perjalanan hidupnya hingga dia menjadi penghuni lokalisasi, “Aku ini berasal dari kampung, dari keluarga ekonomi susah. Saat itu, setelah tamat SMA aku putuskan untuk mencari pekerjaan di kota karena di kampungku tidak ada lapangan pekerjaan. Awalnya di kota aku berkerja sebagai sekretaris salah seorang anggota parlemen. Dengan penuh rasa hormat aku biasa menyapanya dengan sapaan Pak Bos. Awalnya aku sangat senang berkerja padanya karena aku mempunyai penghasilan yang sebagiannya bisa aku kirimkan untuk keluargaku di kampung. Tetapi kemudian tuntutan pekerjaanku sebagai sekretaris Pak Bos harus ditambah dengan urusan pemuasan nafsu birahi Pak Bos. Hingga akhirnya pekerjaan tambahanku bukan hanya memuaskan nafsu birahi Pak Bos saja, tetapi aku juga harus memuaskan nafsu birahi kolega-koleganya. Dan melalui salah seorang kolega Pak Bos itu pulalah yang akhirnya membawaku mendekam dalam surganya para lelaki ini.”
Beberapa ketika aku dapat melihat dengan jelas mobil-mobil berplat merah, baik itu mobil dinas pejabat politik daerah maupun mobil dinas pejabat pemerintahan daerah keluar masuk kompleks lokalisasi itu untuk menyalurkan birahi kepada bunga-bunga mereka. Mungkin salah satu dari mereka adalah pelanggan Della. Entahlah, karena bukankah mereka bisa memilih dan berganti-ganti teman kencan mana yang mereka mau pakai.
Terkadang aku tersenyum-senyum sendiri melihat lelucon ini, ada pelacur politik dan pelacur pemerintahan melacuri pelacur sek. Pikirku, mungkin para pejabat politik dan pejabat pemerintahan daerah membeli barang dagangan pelacur sek ini adalah bentuk bantuan langsung yang bisa mereka berikan kepada para pelacur sek. Tetapi, dimana letak bantuan langsung pejabat tersebut jika sejumlah uang diberikan setelah pelacur memuaskan nafsu birahi pejabat tersebut? Bagiku peristiwa ini tidaklah lebih dari suatu peristiwa jual beli.
Keberadaan pelacur sek memang berada pada ranah kontroversi. Di satu sisi, para lelaki hidung belang tetap menginginkan keberadaan mereka. Di satu sisi lagi, para realis yang humanis bisa menerima mereka karena menganggap mereka sebagai korban sosial-politik-ekonomi. Di satu sisi lainnya lagi, kaum moralis, dengan ukuran moralitas tidak menginginkan keberadaan mereka.
Empat tahunan yang lalu aku melihat dengan mataku sendiri orang-orang bersorban melakukan pengusiran penghuni kompleks lokalisasi di sebelah kampungku ini. Berlagak seperti polisi moral yang seolah-olah diberi wewenang oleh Tuhan dan negara, mereka memporak-porandakan lokalisasi itu dalam sekejap. Dalam aksinya, diselingi kalimat “Allahu akbar” sebagai pemacu adrenalin, mereka menghancurkan barang-barang, memukuli penghuni dan pengunjung lokalisasi, serta mencaci maki dengan umpatan-umpatan yang tidak mencerminkan identitas yang mereka bawa.
“Dasar kalian sampah masyarakat pengrusak iman!”
“Manusia-manusia tidak beriman!”
“Manusia-manusia tidak bermoral!”
“Manusia-manusia tidak mempunyai harga diri!”
“Hancurkan kemaksiatan!”
“Allahu akbar!” seruan bersahut-sahutan.
“Prang... prang... brak...” suara kaca pecah dan barang-barang berjatuhan.
“Mama...” jeritan anak-anak memanggil ibunya.
“Kami hanya mencari makan, pak! Kami juga punya anak untuk kami hidupi, pak!”
“Kalian orang kafir tidak mengenal pekerjaan halal, ya!”
“Allahu akbar!”
“Hey, kamu germonya?”
”Plak... plak...” suara tamparan melayang di wajah.
“Ampun, pak!”
Aku mendengar teriakan “Allahu akbar”, jerit tangis menghibah para pelacur, jerit tangis anak-anak memanggil ibunya, ucapan memohon para mucikari, suara kaca pecah, dan suara dentuman house music bercampur dalam kengerian. Aku dapat melihat beberapa orang wanita berpakaian mini rambutnya dijambak, lengannya ditarik-tarik paksa, wajahnya ditampar, dan beberapa orang lelaki menjadi sasaran bogem orang-orang bersorban. Pelecehan seksual terhadap para pelacurpun ikut mewarnai aksi barbar itu. Seringai kemunafikan di wajah kaum moralis semakin menelanjangi dan memperkosa manusia-manusia tak berdaya. Dan saat itu juga aku merasakan kebencianku mengalir ke seluruh aliran darahku.
Yang anehnya lagi, saat aksi para Barbarian itu dilancarkan, aparat penegak hukum tidak seorangpun yang terlihat. Yang terlihat hanyalah beberapa wartawan media cetak dan media elektronik yang siap mempublikasikan aksi tersebut. Tak pelak lagi apabila keesokan harinya media cetak dan media elektronik diwarnai oleh pemberitaan pro-kontra aksi gerakan moral tersebut.
Pada saat kejadian itu aku bertanya-tanya pada logika dan nurani.
Inikah negara hukum?
Inikah negara moral?
Inikah bangsa yang berkeTuhanan?
Inikah bangsa yang berperikemanusiaan, berperikeadilan, dan beradab?
Kenapa aksi Barbarian seperti ini tidak pernah mereka tujukan kepada para koruptor, ke Istana Negara, ke Gedung Daerah, atau ke Gedung Parlemen? Takutkah mereka?
Atau Barbarian ini adalah alat penguasa yang mendapatkan kewenangan sebagai polisi moral dari titah Sang Raja?
Mungkin mereka memporak-porandakan lokalisasi itu karena mereka menganggap bahwa praktek pelacuran sek adalah perbuatan dosa, perbuatan asusila tidak bermoral. Tetapi, apa pekerjaan pengganti yang mereka berikan kepada para mucikari dan para pramuria tersebut? Tidak ada.
Beberapa hari kemudian aku baru paham bahwa aksi Barbarian itu hanya momental belaka. Ya, setelah aku tahu bahwa kelompok bersorban itu adalah pendukung incumbent yang mencalonkan kembali untuk menjadi Walikota dalam Pemilu Walikota dan Wakil Walikota yang akan diadakan beberapa bulan kedepan. Mereka yang mengaku suci ternyata lebih kotor daripada orang yang mereka tuduh kotor. Mereka yang mendosakan pelacur sek ternyata mereka juga adalah pelacur dalam pelacuran politik.
Hingga sekarang kompleks lokalisasi di sebelah kampungku masih beroperasi. Menunggu jadi bulan-bulanan dalam agenda pelacuran politik kembali.
Malam masih menjadi teman sejati hingga eloknya bulan tak bergantung lagi pada matahari, Sang Raja Bima Sakti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H