Mohon tunggu...
Awang Gumay
Awang Gumay Mohon Tunggu... wiraswasta -

Cumaikolah

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Anak Pelangi

7 April 2011   07:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:03 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Siang di jalan pinggiran, sesosok tubuh manusia berkulit agak gelap, berusia belasan tahun, dan mengenakan seragam putih biru terbaring mengenaskan di badan jalan membuat orang-orang di sekitar berkerumun membentuk lingkaran mengelilingi tubuh itu. Darah segar masih mengalir melebar membasahi aspal hitam. Kepalanya nyaris remuk penuh darah. Tidak ada gerak naik turun di dada orang yang terbaring itu. Matanya terbelalak kosong menyisakan harapan yang masih menggantung.

Dari puluhan orang yang mengitari tubuh itu tidak ada seorangpun yang berinisiatif untuk mencoba memberikan pertolongan atau mencoba mengangkat tubuh itu. Mereka hanya menyaksikan dengan ekspresi wajah yang beragam, ada yang mengernyitkan dahi seolah-olah berusaha mengenali tubuh siapa yang terbaring itu, ada yang berekspresi ketakutan tetapi terus berusaha melihat tubuh yang terbaring itu, dan ada juga yang berekspresi duka. Mereka berbisik-bisik entah apa yang mereka bisikan.

Akhirnya ada seseorang yang berseru, “Cepat hubungi polisi!”

Selang beberapa waktu tiga orang polisi lalu lintas tiba di lokasi. Mereka langsung melakukan olah TKP. Kemudian salah seorang dari mereka melayangkan pertanyaan kepada kerumunan orang disana, “Mana penabraknya?”

“Penabraknya langsung melarikan diri, pak,” jawab salah seorang dalam kerumunan.

“Apa kendaraan penabraknya?” polisi itu kembali bertanya.

“Mobil sedan berwarna hitam, pak,” jawab salah seorang dalam kerumunan itu lagi.

**

Adzan subuh baru saja terdengar berkumandang dari masjid yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah Arif. Saat kedua orang tua berserta ketiga saudaranya masih tertidur pulas dengan kemanjaan, Arif sudah terbangun untuk memulai harinya.

Setelah bak terisi penuh dengan air yang ditimbanya dari sumur, Arif pun membasuh dirinya dengan wudhu. “Allahu akbar,” ucapnya dengan iman sembari mengangkat kedua tangan. Arif memulai harinya dengan menghambakan dirinya dihadapan Tuhan. Akhirnya satu kewajiban rumahan dan kewajiban sebagai hambaNya telah dikerjakan dengan ikhlas.

Hari untuk Arif baru saja dimulai. Ya, karena kemudian dia harus segera ke emperan pusat pertokoan yang berada tidak begitu jauh dari rumahnya untuk membantu seorang penjual boneka emperan menata boneka-boneka dagangannya. Pekerjaannya dengan penjual boneka hanya menata dan membereskan boneka-boneka dengan aturan sekitar pukul setengah enam pagi dia harus menata boneka-boneka dan sekitar pukul sebelas malam dia harus mengemasi boneka-boneka.

Arif sangat senang membantu pedagang boneka bukan karena dia menyukai boneka, melainkan karena pekerjaannya ringan dan dia menyukai upah sebesar empat ratus ribu rupiah setiap bulannya yang baginya tergolong lumayan untuk membantu biaya sekolahnya atau bahkan untuk membantu pembiayaan kebutuhan keluarganya.

Membantu penjual boneka hanyalah salah satu pekerjaan yang dilakoni Arif untuk mendapatkan uang. Bagi Arif, apapun yang ada di depan mata bisa mendatangkan uang, yang terpenting adalah sebab dan akibatnya halal. Pernah suatu ketika saat dia mengikuti pelajaran kesenian, gurunya akan memberikan sejumlah uang apabila ada murid yang bisa melucu dan dialah murid yang bisa melucu itu. Anak multitalenta mungkin bisa juga dilabelkan pada diri Arif.

Kewajiban sebagai seorang pelajarpun tidak pernah dia abaikan. Dimanapun dia berada dia sempatkan untuk membaca buku atau mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah.

Beragam pekerjaan rumahan dan membantu usaha orang tua untuk mendapatkan penghasilanpun menjadi kewajiban Arif, sementara seorang kakak perempuan dan seorang kakak laki-laki serta seorang adik laki-lakinya kerjanya hanya bermalas-malasan saja dan selalu dimanjakan oleh kedua orang tuanya.

Orangtuanya mencari penghasilan dengan berjualan nasi goreng emperan dengan menggunakan gerobak dorong. Maka, dari sore hari hingga malam hari pula Arif harus membantu orang tuanya berjualan.

**

Di dalam sebuah ruangan kelas delapan, puluhan anak-anak berbaju putih tengah memperhatikan seorang guru wanita menyampaikan pelajaran. Duduk di bangku sudut kiri paling belakang terlihat begitu kontras —karena baju yang dikenakannya berwarna putih menguning— seorang anak dengan raut wajah percaya diri ikut memperhatikan dengan takzim.

“Setiap hal yang kalian pelajari pasti mempunyai tujuan. Tujuan akhir pembelajaran adalah untuk mencapai hal yang kalian cita-citakan. Jadi, anak-anak sekalian mulai dari sekarang harus mempunyai cita-cita sebagai motivator kalian untuk giat belajar,” pesan ibu guru di akhir materi pelajaran.

“Arif, apa cita-citamu?” ibu guru tiba-tiba bertanya kepada murid yang duduk di bangku sudut kiri paling belakang.

“Jadi Presiden, bu,” jawab Arif penuh semangat. Jawaban Arif tersebut sontak membuat riuh seisi kelas.

“Kamu mau menjadi Presiden di Republik Mimpi ya, Rif?” celetuk Rendi, anak seorang anggota parlemen membuat gelak tawa dan semakin riuhnya kelas. Arif hanya terlihat tersipu-sipu tanpa ada segarispun ketersinggungan di wajahnya.

Kemudian ibu guru berusaha menenangkan murid-muridnya.Setelah keadaan kelas menjadi tenang, ibu guru kembali bertanya kepada Arif, “Mengapa kamu ingin jadi Presiden?”

“Ada beberapa hal yang membuat saya ingin menjadi Presiden, bu. Yang pertama, karena Presiden itu orang yang paling berkuasa di Negara ini. Yang kedua, karena Presiden berkuasa, maka di tangannyalah kesejahteraan atau kemiskinan rakyat itu bisa terwujud. Dan jika saya menjadi Presiden, saya pasti memilih untuk menyejahterakan rakyat, bukan malah memiskinkan rakyat. Yang ketiga, jika saya menjadi Presiden, saya akan melindungi dan memenuhi hak-hak anak bangsa ini,” jawaban Arif mengundang anggukan dan decak kagum ibu guru dan beberapa orang murid lainnya. Arif memang tergolong anak yang cerdas. Semenjak kelas satu SD sampai sekarang dia selalu mendapatkan ranking sepuluh besar.

“Untuk menjadi Presiden itu harus mempunyai banyak uang, Rif. Bagaimana kamu bisa menjadi Presiden sementara untuk membayar iuran komite saja kamu sering nunggak. Lihat saja baju kamu yang paling berwarna di sekolah ini dan sepatumu yang mengangah itu. Anak penjual nasi goreng jangan bermimpi jadi Presiden-lah!” Rendi kembali menyeletuk diakhiri dengan gelaknya sendiri. Di ujung sudut kiri, kembali Arif tersenyum kecil tanpa ada garis-garis ketersinggungan di wajahnya.

Bel tanda berakhirnya jam sekolahpun berbunyi. Ibu guru akhirnya mengakhiri jam pelajaran dengan pesan terakhir, “Rendi, kamu tidak boleh meremehkan temanmu. Kehidupan manusia itu dinamis, berputar seperti putaran roda. Arif, cita-citamu sangat mulia. Terus berusahalah menggapai cita-citamu itu. Dan untuk kalian semua, Ibu hanya memberikan pengajaran, bimbingan, dan doa agar semua cita-cita kalian tercapai.”

Anak-anak berseragam putih biru yang berhamburan keluar kelas mulai mengernyitkan dahi saat terik matahari menyambut mereka.

Seorang anak laki-laki dengan baju putih menguning melangkah pasti melawan terik dengan menggenggam sebongkah kesejukan seperti kesejukan hembusan angin di surga.

Kewajiban-kewajiban tanpa hak masih menunggumu, anak muda.

**

Di suatu siang, sepulang dari sekolah Arif memanfaatkan waktunya untuk main ke tempat Bang Udin berjualan boneka. Di sepanjang jalan wajahnya terlihat bersemangat. Ya, wajar saja dia bersemangat karena tanggal seperti hari ini biasanya upah kerjanya selama sebulan dibayar oleh Bang Udin.

Siulan-siulan kecil dihembuskan keluar dari bibirnya yang agak tebal. Tinggal beberapa langkah lagi dia tiba di tempat Bang Udin berjualan boneka.

“Halo, bang! Banyak yang laku, bang?” sapa Arif setibanya di depan Bang Udin.

“Alhamdulillah, banyak juga yang laku, Rif. Oh iya, bulan ini abang bisa memberimu upah lebih karena setelah abang hitung-hitung keuntungan yang abang peroleh bulan ini memang lebih banyak,” jawab Bang Udin. Tidak lama kemudian Bang Udin mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya dan menyerahkannya kepada Arif.

“Terima kasih, bang,” ucap Arif setelah menerima beberapa lembar uang dari Bang Udin. “Aku kesana dulu ya, bang,” pamit Arif sambil jarinya menunjuk ke arah sebuah toko sepatu. Bang Udin hanya menjawab dengan anggukan.

Hati Arif begitu girang ketika matanya masih bisa melihat sepasang sepatu yang selama ini dia idam-idamkan masih tertata di dalam etalase sebuah toko. Hari ini uang dari Bang Udin bisa membawa pulang sepasang sepatu yang dia idam-idamkan itu. Arif begitu menginginkan sepatu baru bukan karena dia sudah bosan dengan sepatu lamanya tetapi karena sepatu yang biasa dia kenakan ke sekolah sudah bolong dan telapaknya sudah mengangah. Untuk baju seragam dia masih bisa bersabar untuk diganti karena menurutnya baju seragamnya masih layak dikenakan meskipun warnanya sudah menguning dan dasarnya sudah menipis.

Sepatu yang selama ini biasa Arif kenakan ke sekolah adalah sepatu warisan dari kakak laki-lakinya. Mungkin sudah lima tahunan usia sepatu itu. Arif sudah berulang kali minta dibelikan sepatu baru kepada ibunya, tetapi dia selalu saja mendapatkan jawaban, “Sepatumu itu masih layak dikenakan. Kamu kenakan dululah! Lagian, uang yang ada pada ibu ini untuk kebutuhan kita yang lainnya.” Berulang kali pula perasaan didiskriminasikan menyelimuti diri Arif ketika dia melihat ketiga orang saudaranya mengenakan sepatu yang bagus.

Arif pun langsung pulang ke rumah dengan hati girang dengan tangan menjinjing bungkusan sepasang sepatu baru.

**

“Bangun, Rif! Sudah hampir pukul empat, sebentar lagi ibu mau berjualan,” ibu membangunkan Arif agar Arif bersiap untuk menyiapkan barang-barang kemudian mendorong gerobak ke pangkalan.

Arif pun terbangun. Arif menjawab lemah sambil menggosok-gosokan mata, “Iya, bu.”

Begitu letihnya anak itu hingga mengharuskan dia mencuri waktu untuk tidur siang agak sebentar. Tidak seperti anak-anak lain seusianya yang bisa menggunakan waktu siang menjelang sore seperti ini dengan tidur-tiduran seenaknya, bermain, atau les privat ‘ini’ dan ‘itu’.

“Oh iya, sebelum kamu menyiapkan barang-barang, kamu belikan ibu sebungkus rokok terlebih dahulu ya. Ngomong-ngomong, kamu sudah menerima upah dari Bang Udin, kan? Kamu belikan rokok ibu pakai uang itu saja ya,” cerocos ibu. Arif hanya menggangguk.

Baru beberapa langkah Arif berjalan keluar rumah menuju warung untuk membeli rokok ibunya terdengar suara bapak menggelegar, sesampainya bapak di rumah dari berpergian, “Arif...!!! Kesini kamu!”

“Kok marah-marah begitu. Ada apa sih, pak?” ibu menghampiri bapak. Arif pun turut menghampiri bapak dengan mimik wajah ketakutan. Ketiga saudaranya tidak kalah mengendap-endap membuka mata dan telinga untuk mengetahui apa yang akan terjadi.

“Anakmu ini sudah berani untuk lancang, bu!” jawab bapak dengan nada suara tinggi. “Tadi adikmu bilang kepada bapak bahwa kamu membeli sepatu baru. Benar itu?” tanya bapak kepada Arif dengan mata melotot dan nada suara yang lebih tinggi dari sebelumnya.

“Be... benar, pak,” jawab Arif terbata-bata karena ketakutan.

“Dengar itu, bu! Anakmu yang satu ini sudah benar-benar tidak menghargai orang tuanya.”

“Kamu ini, sudahlah rupamu paling jelek sekarang kamu belajar untuk menjelekkan perangaimu pula. Mau jadi apa anak seperti kamu ini! Kamu lihat adik dan kakak-kakakmu, tidak ada yang seperti kamu, kan!” ibu ikut menghakimi Arif.

Arif sadar atas apa yang telah dia lakukan. Keinginan membeli sepatu baru tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya ternyata mengakibatkan kemarahan kedua orang tuanya yang sangat luar biasa. Dia hanya terdiam menundukkan kepala. Kedua bola matanya yang mulai mengucurkan air mata tidak berani dia arahkan ke mata kedua orang tuanya.

“Mana sisa uang dari Bang Udin?” ibu membentak dengan satu telapak tangannya menengadah ke arah Arif. Dengan tubuh bergetar Arif merogoh saku kemudian menyerahkan beberapa lembar uang kepada ibunya.

Plak... plak...” dua kali tamparan yang dilayangkan oleh bapak mendarat di pipi Arif. “Jangan kamu ulangi lagi kelakuanmu seperti itu! Kamu ingat itu! Sudah, kamu siapkan barang-barang untuk berjualan sana!” bentak bapak.

Arif melangkahkan kakinya dengan gontai keluar dari rumah. Arif semakin merasa tertekan ketika merasakan tatapan teror yang dilayangkan ketiga saudaranya.

Amarah ucapan, tamparan, pukulan, tendangan, dan lemparan benda-benda dari orang tuanya merupakan hal yang biasa bagi Arif, tetapi tidak biasa bagi ketiga saudaranya. Tetapi amarah orang tuanya sore ini sungguh membuat Arif bersedih.

Logikanya mencoba memberontak.

Apakah aku salah apabila aku membelanjakan uang dari hasil keringatku sendiri? Tidak

Apakah aku kurang membantu orang tuaku? Tidak

Pantaskah anak-anak seusiaku bekerja untuk membantu pembiayaan kebutuhan keluarga, bahkan untuk rokok orang tuaku mesti aku yang membelinya? Tidak

Mengapa perlakuan orang tuaku terhadapku harus dibedakan dengan ketiga saudaraku? Karena fisikku yang bedakah? Atau mungkin aku ini bukan anak kandung mereka?

**

Sore itu pelangi menampakkan dirinya sehabis hujan.

Matanya melirik sekejab ke arah pelangi sambil terus menapakkan kakinya di aspal. “Dimana pangkal dan ujungmu, wahai pelangi?” tanyanya dalam hati.

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara berdecit yang timbul akibat gesekan karet ban dengan permukaan aspal. Lalu, “Braakkk...” dia dihantam oleh benda besi dari belakang.

Aaargh...” darah segar menyembur dari mulut sekaligus melepaskan roh dari tubuhnya. Kepalanya nyaris remuk, telinga dan hidungnya turut menjadi saluran keluar darah segar.

Dia sekarang tidak perlu lagi bermimpi meniti pelangi karena dia sekarang telah berjumpa dengan Sang Pencipta Pelangi itu sendiri.

***

Inspired by Sandi’s story

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun