Aku berdiri di bawah sebuah pohon kamboja yang daun dan bunganya jarang. Dari sudut ini, mataku mendapati sekerumunan orang berpakaian syariat dengan wajah berduka mengerumuni seonggok tanah merah. Beberapa diantara mereka menangis menderu-deru. Apa yang mereka sedihkan dan apa yang mereka tangiskan? pikirku.
Sorot mataku bergerak-gerak memasati satu-persatu orang di kerumunan itu. Rata-rata, mereka orang yang  kukenal. Disana ada ibuku, sanak saudaraku, para tetanggaku, dan teman-temanku. Dan mataku pun tak  luput mendapati sesosok lelaki seusiaku yang selama ini pernah berperan sebagai dewa penolongku. Ya, aku hanya pernah memberinya predikat seperti itu.
Laki-laki dewa penolong yang berkacamata, berwajah tirus, dan berperawakan kalem itu bernama Sony Sagitarius.
Tanpa perintahku, pikiranku langsung terfokus pada sosok yang biasa dipanggil Sony itu. Dan seperti mengalami sebuah delusi, bayangan-bayangan tentang aku dan Sony berkelebat mengikuti runutan waktu. Emosiku terasa mengalir beritme manakala aku merasa tertolongkan olehnya, manakala aku merasa riang bisa tertawa bersamanya, hingga akhirnya ritme berakhir saat dia membuatku merasa sangat benci dan marah. Ya, benci dan marah. Aku menggeram. Napasku tersengal-sengal. Tubuhku mengejang. Aku ingin meluapkan marahku padanya.
Aku berusaha mendekatinya. Aku ingin tetesan air mata buayanya di atas onggokan tanah merah itu menjadi tetesan darah. Argh...
Tapi, belum sempat kuluapkan amarahku pada Sony, tiba-tiba emosi amarahku diciutkan oleh suara yang benar-benar berat dan mengerikan, "Sudah waktunya, wahai anak manusia!"
Aku ketakutan. Belum pernah aku mendengar suara seangker ini sebelumnya.
Sekedip mata, tiba-tiba dua sosok makhluk besar tinggi, berjubah, dengan rupa yang tidak dapat kugambarkan dengan detil telah berdiri di hadapanku. Jari-jari mereka yang sangat kokoh menyengkram lenganku, menarikku, membuat seluruh tulang di tubuhku remuk menjalar. Tubuhku diseret-seret hebat. Aku mengerang kesakitan. Aku menjerit meminta tolong tapi jeritanku diam.
Orang-orang yang tadi mengerumuni seonggokan tanah merah tidak memperdulikan kesakitanku. Mereka sekarang justru pergi menjauh dan semakin menjauh.
Kemudian, sesaat saja aku telah dibujurkan tak berdaya dalam sebuah ruang gelap. Kedua makhluk yang tadi menyeretku, sekarang berdiri tegap di atasku. Satu tangan mereka yang memegang cambuk berayun-ayun seperti akan melecuti cambuknya.
"Siapa Tuhanmu?" tanya mereka bersamaan.
Aku bingung untuk menjawab. Aku malah balik bertanya lugu, "Siapa itu Tuhan?"
Mereka sepertinya berang dengan keluguanku. Cambuk di satu tangan mereka semakin diayun-ayunkan.
"Tuhan adalah Sang Pencipta kamu dan sekalian alam!" jawab mereka tegas.
"Tapi, di dunia aku tidak menemukan Sang Pencipta itu. Bagaimana aku bisa tahu siapa Sang Pencipta itu? Lagian, untuk apa Dia menciptakan aku? Alangkah isengnya si Sang Pencipta itu bila Dia menciptakan aku hanya untuk menyuruhku hidup menderita di dunia."
Mata mereka menyala. Mereka marah.Sepertinya aku telah salah bicara.
Jelegaaaaaaarrrr... Akhirnya cambuk melecuti tubuhku. Suaranya seperti halilintar. Sakitnya sangat luar biasa. Aku mengerang. Tubuhku terjerembab hebat, meluncur ke dasar bumi dan kemudian hancur berkeping-keping.
***
Hampir semalaman aku terjaga, duduk di kursi sambil memandangi tubuh kecil anak perempuan berusia dua belas tahun yang terbaring di dalam ruangan serba putih.Dalam keadaan seperti ini, ingin rasanya aku menjadi seperti nabi yang hidupnya penuh kemukjizatan atau bahkan sekalian saja seperti Tuhan yang memiliki segala macam kemahaan yang dengan satu sentuhan atau satu ucapan bisa menghilangkan penyakit yang mengidap di tubuh si kecil ini.
"Kak, sakit Diva tidak mungkin sembuh, ya?"
Lamunanku terbuyarkan oleh suara lemah adikku, Diva.
Kuusap kepala Diva dengan lembut. "Semua penyakit itu ada obatnya, Diva. Diva pasti akan sembuh."
"Tapi, Diva harus rutin cuci darah, 'kan, Kak? Cuci darah 'kan biayanya mahal, bagaimana mungkin kita mampu, Kak?"
Kulihat ada raut keputus-asaan di wajah Diva. Aku terdiam.
Di satu sisi sebenarnya diriku mencibiri kesusahan kami untuk mendapatkan biaya cuci darah Diva. Tapi di sisi lain, diriku mendorongku untuk tetap semangat dan terus berusaha demi kesembuhan Diva. Apapun caranya, meskipun setiap malam aku harus melacurkan tubuhku, akan tetap kulakukan.
"Kak?"
"I... iya...!" Agak gelagapan aku merespon. "Masalah biaya cuci darahnya tidak usah Diva pikirkan. Semua biayanya sudah Kakak persiapkan. Yang terpenting adalah, Diva harus semangat dan tetap optimis bahwa Diva akan sembuh. Oke?" nasehatku. Aku tidak ingin Diva terbebani oleh pikiran apapun.
Akhirnya segaris senyuman tergores juga di wajah Diva. "Oke, Kak!" jawabnya semangat.
Senyumku pun kulebarkan meskipun berat untuk kulakukan. Lalu kukecup dengan lembut kening Diva.
___
Namaku Penelope. Aku seorang mahasiswi semester lima di sebuah perguruan tinggi negeri.Aku berasal dari keluarga yang hidup seperti tanpa kepala keluarga. Kenapa "seperti"? Karena, apa artinya seorang kepala keluarga apabila dia tak memiliki rasa tanggung jawab. Benar, toh?
Kehidupan kami seperti itu berawal ketika ayahku mulai menduduki jabatan di pemerintahan, sekitar sepuluh tahunan yang lalu. Saat itu ayahku mulai memiliki isteri sirih yang tentunya lebih muda dan lebih cantik daripada ibuku. Dan saat itu juga tanggung jawab Ayah terhadap keluarga sahnya mulai diabaikannya.
Sekarang, saat Diva sakit. Jangankan turut memikirkan masalah kesembuhan Diva, menjenguk Diva sekalipun dia belum pernah. Tapi aku pun menyikapi ketidak-perduliannya itu dengan tidak perduli pula.
Hingga sekarang ibuku tidak dicerai-ceraikan juga oleh ayahku. Dan ibuku pun tidak pernah minta diceraikan.
Dulu (saat belum tahu alasannya) aku heran dengan sikap ibuku yang tidak mau minta diceraikan itu. Sampai akhirnya perasaan heran itu aku lontarkan pada Ibu.
"Kenapa Ibu tidak minta cerai saja?" tanyaku pada Ibu saat itu.
"Minta?! Sudahlah didzolimi, harus meminta pula. Alangkah hinanya Ibu, Pe! Sudahlah, anggap saja dia bukan bagian dari kita. Ada atau tidaknya peran dia, kehidupan kita harus tetap berjalan."
Sungguh dalam dan manusiawi sekali jawaban dari Ibu.
Ketegaran perjuangan untuk menghidupi keluarga pun Ibu tunjukkan. Pagi hingga siang hari Ibu berjualan sayur-sayuran di pasar, dan sore hingga malam harinya Ibu menjadi juru parkir di pinggir pertokoan.
Hatiku tidak cukup keras untuk membiarkan Ibu berjuang sendirian seperti itu. Maka, di sela-sela waktu kuliahku aku gunakan untuk bekerja sebagai pengajar di sebuah bimbingan belajar anak-anak. Namun sayangnya pekerjaanku yang satu ini upahnya kecil. Jangankan untuk membantu Ibu, untuk biaya kuliahku saja tidak cukup.
Tapi untungnya aku mempunyai pekerjaan sampingan lainnya yang tanpa sepengetahuan Ibu, yaitu sebagai 'ayam kampus'. Pekerjaan inilah yang hasilnya sangat mumpuni untuk mencukupi kebutuhan hidup kami dua tahun belakangan ini.
***
Sang surya telah turun ke ufuk barat. Laju sepeda motorku yang berlawanan arah membuat sinar sang surya menyerangku. Dengan leluasanya dia menembus kaca helm tak anti silauku sehingga benar-benar menyilaukan mataku. Tapi, meskipun terpicing-picing, aku terus saja menjaga laju sepeda motorku.
Siang tadi Sony menelponku, dia menyuruhku datang ke kosannya. Katanya, dia akan memberiku klien. Ingatan akan desakan biaya untuk cuci darah Diva membuatku bersemangat untuk segera bertemu Sony.
Aku memang bersemangat untuk menemui Sony. Pasalnya, aku tak pernah ragu dengan bayaran yang akan didapat dari klien yang diberikan Sony kepadaku. Sebagai 'aktivis mahasiswa', relasi dan jaringannya meliputi politisi, pejabat politik, dan pejabat pemerintahan. Bila melayani mereka ini, aku bisa mendapatkan bayaran lebih tinggi daripada aku melayani anak-anak muda yang menggunakan uang dari orang tua mereka untuk melacuriku.
Kerjasama dengan Sony mulai terjalin ketika dia menjual keperawananku seharga sepuluh juta rupiah kepada salah seorang anggota dewan. Itu terjadi dua tahunan yang lalu, ketika aku sangat memerlukan uang untuk menebus sertifikat rumah yang digadaikan oleh ayahku. Maka, sejak saat itulah Sony kuanggap sebagai germo kecilku.
Sony tinggal di kosan yang tergolong mewah bagi seorang mahasiswa. Aku tahu, sewa kosan itu sebenarnya jauh di luar kemampuannya yang sebagai seorang anak petani gurem. Tapi, aku pun tahu bahwa dia memiliki kemampuan lain untuk bisa menyewa kosan semacam itu.
Sony langsung menyambut kedatanganku. Senyum tersungging di wajah kalemnya.
"Masuk, Pe!" sambutnya manis.
Aku pun masuk ke dalam kosannya.
Baru saja aku mendudukkan pantatku di sofanya yang empuk, Sony langsung menyodoriku secarik kertas bertuliskan nama seseorang, waktu, dan nama hotel beserta nomor kamarnya.
Kubaca tulisan di kertas itu. "Pukul setengah delapan malam nanti?"
"Iya."
"Kebetulan sekali!"
"Apanya yang kebetulan?"
"Kebetulan aku sedang perlu uang."
"Ooo..."
"Ngomong-ngomong, siapa?"
"Namanya Ahmad Soleh, dia anggota dewan."
"Punya isteri?" Aku menanyakan pertanyaan yang sangat prinsip bagiku. Aku tidak mau melacuri tubuhku pada suami orang. Dan Sony pun sebenarnya sudah sangat faham dengan prinsipku itu.
"Du... Duda...! Iya, dia duda!"
"Berapa?"
"Satu malam, tiga juta. Bagaimana? Deal?"
Aku tak perlu berpikir untuk memutuskan. "Oke. Deal!" jawabku riang.
Sony langsung mengambil ponselnya untuk menghubungi calon klien. Sementara aku hanya diam menunggu hasil pembicaraan Sony. Dan memang selalu begitu, aku tidak pernah membuat kesepakatan langsung dengan calon klien dari Sony. Etika bisnis itu diakui keberadaannya dan dipatuhi dengan sendirinya.
"Sip, Pe! Si Bos nanti akan menunggumu di tempat yang aku tulis di kertas tadi. Buat dia puas, Pe!" ucapnya dan diakhiri dengan senyuman nakal.
Aku menanggapinya dengan senyum-senyum pula.
"Ini bagianmu! Tiga puluh bagianku sudah kuambil." Sony menyerahkan beberapa lembar uang kertas kepadaku. Aku pun menerima uang itu.
"Ngomong-ngomong, akhir-akhir ini kulihat kamu jarang sekali membawa massa. Pesanan demonstrasi sedang sepi, ya?" tanyaku, membuka bahan pembicaraan baru.
Sony membetulkan duduk kacamata di hidungnya. "Bisnis dalam perang politik itu sifatnya situasional dan fleksibel, Pe. Ketika demonstrasi sudah dianggap sebagai hal yang biasa dan tidak laku lagi, maka pemain politik tidak akan memesan demonstrasi."
"Jadi, kamu sekarang sudah tidak dipakai oleh mereka lagi! Begitukah?"
Sony tertawa kecil. "Tidak juga. Buktinya belakangan ini, berdasarkan kompetensiku aku gencar berbicara di media massa untuk menjatuhkan lawan politik klienku. Perang politik itu menggunakan ribuan cara, Pe. Dan cara-cara itu semuanya halal dilakukan. Dan pastinya sebagian dari cara-cara itu untuk melakukannya mereka memerlukan peran orang seperti aku."
"O, begitu! Ternyata benar-benar tidak sia-sia kamu menjadi Presiden Mahasiswa dan menjadi pemimpin berbagai aliansi serta gerakan-gerakan mahasiswa," ujarku sembari menepuk-nepuk pundak Sony.
Sony tertawa sesaat. "Itu kendaraanku, Pe."
"Begitu, ya! Hmmm...! Terkadang aku bertanya sendiri, aku juga anak Isipol sepertimu, tapi mengapa aku tidak bisa seperti kamu? Kalau saja aku seperti kamu, mungkin aku tidak harus mencari uang dengan cara melacuri tubuhku, ya, Son?"
Sony tertawa lagi mendengar ucapan luguku, tawanya lepas dan terbahak-bahak.
"Lope... Lope...!!! Bermain di politik itu tidak mengutamakan keilmuan! Literatur dan referensi kita boleh saja sama, tapi insting dan pengetahuan kita berbeda, Pe! Lagian, kenapa juga kamu ingin seperti aku? Aku ini juga pelacur seperti kamu, lho, Pe! Aku melacuri jiwaku! Aku melacuri harga diriku! Aku melacuri idealisme!" Sony berkata lepas dengan mimik yang sangat ekspresif. Garis-garis kekaleman di wajahnya kini berubah menjadi garis-garis seringai.
Menyerap ucapan Sony membuat tawaku ingin meledak. Bersusah payah aku berkata sambil menahan tawa, "Ow! Ternyata kamu bukan hanya seorang germo, tapi kamu juga seorang pelacur...!!!"
"Iya. Persis...!!!"
Buaaaarrr... Tawa kami lepas bersamaan. Otak kami seperti ditaburi bubuk lucu. Kami tertawa sejadi-jadinya.
Hingga akhirnya, adzan maghrib pun terdengar di telinga. Seolah-olah mengingatkanku bahwa malam telah menjemput dan aku harus segera bersiap-siap menjadi pengantin syahwat. Aku berhenti tertawa.
***
Pukul setengah delapan malam, di hotel yang sudah dijanjikan.
Kuketuk pintu kamar beberapa kali.
Seorang lelaki paruh baya, berkulit hitam, dan bertubuh tambun membukakan pintu dari dalam kamar. Sesaat setelah memasatiku, dia langsung mempersilahkan aku masuk.
"Penelope?" tanyanya sambil menyodorkan tangan. Tatapannya menjilati tubuhku dari atas sampai ke bawah. Senyumnya menyeringai buas. Aku sebenarnya merasa risih dan jijik bila melihat seringai buas seperti itu. Tapi aku tidak pernah memperlihatkan responku seperti itu. Dan selalu begitu, aku selalu berjuang untuk tetap terlihat manis di depan klienku.
Aku tersenyum. Kusambut tangannya untuk bersalaman. "Iya, saya Penelope, Pak Ahmad Soleh." Kusebut nama lengkapnya yang sudah kuketahui dari Sony.
"Benar-benar tidak mengecewakan. Kecantikanmu sama persis dengan yang ada di foto yang diberikan oleh Sony kepadaku," ujarnya sembari melepaskan kancing bajunya dan berjalan menuju spring bed. Perut buncitnya kembang kempis dideru-deru napas birahi.
Aku faham dengan tipikal lelaki seperti ini. Bapak ini termasuk orang yang tidak dapat memainkan syahwatnya. Orang seperti ini cepat untuk diselesaikan. Aku harus menyelesaikannya, membuat dia kalah, pikirku.
Aku hampiri dia di atas spring bed dengan santai.
Tiba-tiba, Sssssttt... Buuuukkk... Dia menarik dan membantingku ke atas spring bed. Huft... Aku tersenak. Dia menggeram seperti harimau sedang menerkam mangsa. Sekejap, aku pun dilucutinya dengan buas.
Dan secara bersamaan, tiba-tiba, braaaakkk... pintu kamar hotel dibuka dengan paksa. Hampir sepuluh orang merangsek masuk ke dalam kamar hotel. Beberapa dari mereka memoto dan merekam gambar. Sedangkan seorang wanita paruh baya dan seorang lelaki seusiaku memburu ke arah kami.
Pak Ahmad Soleh ternganga. "Mama...?!" ucapnya.
Sementara aku, dengan spontan aku menarik bed cover untuk membungkus tubuhku yang nyaris bugil.
Tiba-tiba wanita paruh baya itu menunjuk-nunjuk muka Pak Ahmad Soleh. "Ini yang Papa bilang study banding itu...?! Ya, membanding-bandingkan isterimu dengan pelacur, 'kan...?! Ini yang Papa bilang Papa sedang sibuk membantu konstituen yang kesusahan itu...?! Ya, menemui konstituen pelacurmu, 'kan...?!" hardiknya.
Pak Ahmad Soleh tak bergeming.
Kejadian ini begitu cepat terjadi. Aku masih menerka-nerka kejadian apa ini.
"Mama", "Papa", mereka tadi menyebut kata-kata itu. Berarti mereka ini suami isteri! Ya ampun, ternyata aku kencan dengan suami orang! Aku yang selama ini pantang berkencan dengan suami orang akhirnya berkencan dengan suami orang juga. Kenapa ini bisa terjadi?
Tapi, sesaat kemudian aku justru jadi tertarik dengan beberapa orang yang memoto dan merekam gambar ber-Id card pers. Kenapa wartawan langsung ada disini? Ini pasti bukan penggerebekan biasa. Ya, ini penggerebekan perbuatan asusila anggota dewan.
"Sony", pikiranku langsung mengingat nama itu. Pasti ini ulah dia. Aku yakin. Ternyata dia tega menjadikan aku umpan. Dasar manusia biadab!
Plak... Tiba-tiba lelaki seusiaku menampar pipiku dengan keras sembari menghujat, "Dasar pelacur! Manusia asusila!"
Di ujung bibirku terasa asin. Kusentuh dengan ujung jariku, dan ternyata darah mengalir dari ujung bibirku.
"Kamu siapa dengan seenaknya menampar orang?" Kuberanikan untuk berkata. Tapi aku tak berani menatap wajahnya. Aku hanya melihat samar-samar dari sudut mataku, matanya mendelik tajam ke arahku.
Rupanya perkataanku tadi membuat dia semakin marah. Rambutku dijambaknya. Akh... Sakit! Aku ditariknya. Aku tak mampu melepaskan cengkraman tangan laki-lakinya.
Aw... Kepalaku dibentur-benturkannya ke dinding. Pandanganku seperti berkilat-kilat seiring dengan suara benturan. Aku mulai merasakan ada cairan lengket dibelakang kepalaku. Tapi benturan tidak juga berhenti, malah semakin menggila.
"Aku putra Ahmad Soleh, hey pelacur...!
Mampus kau pelacur...!
Mampus kau pelacur...!"
Semakin lama benturan itu tidak terasa sakit lagi. Makian pun hanya terdengar seperti suara bisik-bisik. Aku mati rasa. Aku mati.
Sony, ternyata kau memang pelacur yang melacuri pelacur. Hanya itu yang ingin aku katakan meskipun bicaraku tak bersuara lagi.
Kini aku benar-benar tak melihat kilatan itu lagi, benar-benar tak mendengar makian itu lagi, dan benar-benar tak merasakan sakit lagi. Semua terasa beku. Menggelap pekat di lorong jalan yang belum pernah kukenal.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H