Mohon tunggu...
Awang Praing
Awang Praing Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Fakultas Teologi UKAW Kupang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tuhan Tidak Pernah Bermain Dadu

21 November 2013   15:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:51 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan adalah takdir? Aku bukanlah orang yang mempercayainya. Kehidupan bukanlah takdir tetapi predestinasi Allah. Aku ada di sini karena Dia yang menyertaiku dan apa yang aku lakukan sekarang adalah bagian dari pilihanku dan rencana Allah akan pilihan yang aku buat. Aku tahu, seperti Albert Einstein bilang, Allah tidak pernah bermain dadu. Aku tahu itu, karena aku telah mengalaminya.

Tahun 2002 lalu ketika kakiku menyentuh Dermaga Waingapu bersama kedua anak dan istriku, aku masih mengingat ketika tangan-tangan melambai dan wajah-wajah yang berlinang air mata mengantar kepergian kami ke Kupang. Berat hatiku ke Kupang, karena batin dan raga ku sudah sangat nyaman bersama orang-orang ini, jemaat yang Tuhan percayakan untuk aku gembalakan.

Semua yang aku butuhkan telah Tuhan penuhi di sini, tidak seperti di tempat pelayananku yang sebelumnya. Di jemaat kecil di Sumba Barat (sekarang Sumba Tengah), di kampung halaman ibuku sendiri, secara otomatis mereka adalah sanak keluarga ku sendiri. Tetapi aku diperlakukan tidak seperti saudara. Ya, genaplah kata Alkitab bahwa nabi Tuhan akan di tolak di kampung halamannya sendiri.

Ketika aku dipanggil ke Jemaat Maujawa, jemaat terakhir yang aku layani, hatiku berat untuk pergi. Tetapi hati nurani berkata bahwa inilah panggilan Allah. Aku pun mengikuti dorongan ini. Dan sadarlah aku bahwa inilah predestinasi Allah. Inilah mega plan Allah dalam hidupku. Di sini ada yang perlu di bentuk dan ada yang perlu di hilangkan. Di samping itu aku turut dibentuk oleh kerasnya medan layan dan karakter masyarakat.

Kini ketika aku merasa berat untuk pergi dari tempat itu, suara hati yang sama yang mengantarkan aku mengambil keputusan untuk menerima panggilan alamamaterku untuk menjadi pengajar dan ikut mengambil bagian dalam pembentukan abdi-abdi Allah.

Ketika kaki ku menginjakan Kupang setelah 10 tahun menjadi pendeta jemaat Sumba, yang aku lihat adalah kehidupan yang jauh dari kreatifitas seorang pendeta. Tidak ada yang bisa aku bentuk dengan ide-ide cemerlang yang ada di kepalaku. Yang bisa kulakukan hanyalah membentuk agen-agen Allah yang baru untuk menjadi dapat berkreatifitas di ladang Allah. Ya, merekalah penerus tongkat estafet pelayanan gereja.

Tiga bulan pertamaku menjadi dosen di Kota Kupang benar-benar menyebalkan. Bayangkanlah, apa yang bisa di buat oleh aku di tengah kota ini tanpa gaji hanya oleh masalah internal mereka yang duduk di pucuk pimpinan lembaga pendidikan itu. Belum lagi anak laki-laki kebanggaanku, harus ku masukan ke sekolah bermutu yang tentunya biayanya tidak murah. Aku dan keluargaku pun harus hidup serumah dengan sahabatku yang juga dosen di almamater kami. Untunglah, pamanku mau membagikan sedikit rejekinya untuk membantu kehidupan kami di kota ini. Hatiku sedikit lega, paling tidak aku bisa menafkahi keluargaku. Di sini tidak seperti di jemaat desa. Aku mungkin tak punya cukup uang, tetapi kekayaan alam, tanah subur yang luas, laut yang kaya, dan Sumber Daya Manusia yang memadai cukup ku poles dengan kreatifitasku untuk menghasilkan hal yang positif dan berguna bagi banyak orang dan tentunya cukup untuk memenuhi kebutuhanku sepanjang waktu.

Setelah tiga bulan yang menyebalkan itu, ekonomi kami mulai membaik. Tak lama setelah itu Gereja Kristen Sumba yang mengutus aku untuk mengajar di sini mengontrakan sebuah rumah sederhana untukku dan keluargaku selama 2 tahun hingga kami mengkredit sebuah rumah tipe 36. Dengan modal pinjaman dari bank, kami mengembangkan rumah itu menjadi lebih besar sehingga tidak terlihat sempit. Tetapi karena waktu itu gajiku masih kecil, potongan yang besar dari bank membuat kami benar-benar pailit. Sampai pernah pada suatu titik di mana kami hanya makan nasi kosong dan jagung. Ironis benar kehidupan aku sebagai dosen, sehingga kadang-kadang aku menyebut diri ku doi sen (bahasa kupang = uang recehan)bukan dosen karena kehidupanku yang tidak mencerminkan kehidupan seorang dosen. Pernah aku menyatakan keinginanku kepada atasanku yang aku anggap seperti bapakku sendiri bahwa aku ingin pulang, tetapi beliau malah berkelakar, katanya aku seperti bangsa Israel yang sudah dibebaskan oleh Allah tetapi mengeluh dan ingin pulang ke Mesir, tanah perbudakan. Akhirnya aku mengurungkan niatku, karena aku tahu maksud dari perkataan itu, ia mau bilang bahwa aku tidak tahu berterima kasih dengan apa yang Tuhan sudah berikan padaku.

Tahun demi tahun kami lewati di kota karang ini. Perlahan-lahan kehidupan kami membaik. Dan kini aku melihat anak laki-lakiku ingin mengikuti jejakku menjadi seorang abdi Allah. Ia benar-benar kebanggaanku. Aku melihat bahwa apa yang telah kutinggalkan akan diteruskan olehnya. Ia benar-benar sama denganku, wajahnya, gayanya, hobinya, pemikirannya, dan bahkan keras kepalanya.

Sudah sangat nyata bagiku, Tuhan tidak pernah bermain dadu. Apa yang aku alami sekarang dan sudah-sudah adalah bagian dari mega plan Allah. Bayangkan apa yang terjadi jika aku dijamah dan disambut dengan gaji di awal bulan dan rumah dinas yang bisa kutempati sendiri, mungkin aku belum memiliki rumah sendiri seperti sekarang ini. Bayangkan jika aku tidak pernah merasa kekurangan dan hidup dalam citra dosen yang katanya beruang banyak, aku mungkin akan menjadi orang yang sombong dan merasa diri hebat. Bayangkan jika aku tidak pernah merasakan kesulitan, Allah tidak mungkin bisa menunjukkan kebesaranNya dalam hidupku. Dialah Allah yang menjadikan ku, ia tahu yang terbaik buat ku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun