Lembaga Kebudayaan Rakyat atau biasa disebut Lekra didirikan atau digagas oleh tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) yaitu Njoto, D.N Aidit, A.S. Dharta, dan M.S. Ashar. Berdirinya Lekra adalah suatu peristiwa penting dimana saat itu keadaan Indonesia sedang terjadi banyak pergolakan karena diterapkannya sistem kabinet parlementer dengan demokrasi liberal. Sistem tersebut dianggap tidak cocok dengan bangsa Indonesia. Karena hal tersebut munculah berbagai pemberontakan di beberapa daerah di Indonesia. Pergolakan ini berhenti sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan kembali menerapkan Undang-Undang Dasar 1945.
Organisasi ini mulai berjalan pada tahun 1961 dengan menerapkan prinsip realisme sosialis serta memiliki slogan “politik adalah panglima”. Namun, menurut Suprapto pada bukunya berjudul Lekra vs Manikebu Perdebatan Budaya Kebudayaan Indonesia 1950-1965 prinsip realisme sosialis tidak pernah disinggung saat Lekra melakukan persidangan untuk membahas keorganisasian. Maka dari itu, sebenarnya paham realisme sosialis tersebut hanya dilekatkan pada Lekra untuk menjadi ideologinya. Lekra dapat menarik beberapa seniman dalam waktu yang singkat. Lalu, setelah itu di Surabaya Lekra menerbitkan majalah Zaman Baru yang dikelola oleh beberapa seniman seperti Njoto, A.S. Dharta, M.S. Ashar.
Meskipun tanpa embel-embel komunis, Lekra tetap memegang prinsip komunisme Marxisme – Leninisme yang sudah dikembangkan lama di Rusia dan Cina. Dalam prinsip ini, komunisme memiliki prinsip atau tujuan yaitu ingin memberikan kesejahterakan bagi rakyat tertindas atau golongan akar rumput. Tokoh-tokoh Lekra seperti Pramoedya Ananta Toer dan Bakrie Siregar juga ikut serta menyumbangkan ide pemikirannya lewat tulisan-tulisan yang mengarah pada ideologi Lekra yaitu realisme sosialis dimana ideologi tersebut berarti seni untuk rakyat.
Pada saat Lekra didirikan, perpecahan sedang terjadi di dalam orang-orang pekerja kebudayaan. Pada awalnya, mereka berada pada satu ikatan yang akhirnya terpecah menjadi beberapa golongan atau kelompok. Tujuan Lekra dibentuk adalah untuk membangkitkan semangat kebudayaan dan menjalankan ideologi mereka yaitu seni untuk rakyat. Dimana pada konteks ini, rakyat yang dimaksud adalah rakyat yang terbatas pada pemikiran dan ideologi mereka sendiri, bukan masyarakat secara umum. Dalam hal ini sudah bisa kita lihat jika berdirinya Lekra tidak terlepas dari PKI dimana dalam mempertahankan ideologinya, mereka membuat kekacauan dimana-mana sambil merusak berbagai kelompok yang dianggap memiliki kekuatan progresif revolusioner. Di lain sisi, Lekra juga mengumpulkan kekuatan dengan berbagai cara untuk menyerang musuhnya. Mereka juga menerbitkan berbagai karya untuk merusak citra para penulis yang bersebrangan pemikiran dengannya.
Kasus yang terkenal pada saat itu adalah tuduhan plagiat yang dilakukan oleh Buya Hamka pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan S. Takdir Alisjahbana serta Idrus yang dituduh kontra revolusioner. Pemerintah juga dituntut oleh Lekra untuk melarang terbitnya karya-karya sastra yang mereka anggap kontra revolusioner. Mereka juga memanfaatkan berbagai lembar kebudayaan untuk memaksakan ideologinya serta memojokkan golongan-golongan yang mereka anggap kontra revolusioner.
Karena Lekra sudah dianggap cukup meresahkan bagi para budayawan yang memiliki pemikiran bersebrangan dengan paham mereka, munculah Manifes Kebudayaan. Manifes Kebudayaan ini merupakan suatu pemikiran atau gagasan sebagai sanggahan atas teror kebudayaan yang dilakukan oleh Lekra. Manifes kebudayaan dideklarasikan pada 17 Agustus 1963 setelah sebelumnya para tokoh yang memiliki pandangan yang berbeda dengan Lekra sudah mulai menentang teror tersebut. salah satu aksi menentang Lekra adalah dengan menerbitkan majalah Sastra dibawah asuhan H.B. Jassin pada Mei 1961.
Setelah pendeklarasian tersebut, Maniifes Kebudayaan mendapat dukungan dari berbagai kalangan yang terancam dengan teror budaya yang dilakukan oleh Lekra. Beberapa kelompok yang mendukung Manifes Kebudayaan adalah masyarakat kebudayaan di Palembang, DPP Ikatan Sarjana Pancasila, Seniman Yogyakarta, sastrawan dan seniman Medan, serta seniman Bandung.
Disisi lain, dukungan tersebut malah memancing Lekra untuk semakin kuat menghancurkan kelompok-kelompok lain yang memiliki pandangan bersebrangan dengan mereka. Lekra menuduh Manifes Kebudayaan adalah sebuah ide atau pemikiran yang anti-Manipol dan kontra revolusioner. Tokoh Manifes Kebudayaan sempat mengadakan Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) di Jakarta hingga akhirnya manifest dibubarkan oleh Presiden Soekarno untuk berkegiatan pada 8 Mei 1964.
Dampak dari dibubarkannya Manifes Kebudayaan ini adalah tokoh-tokoh di dalamnya harus kocar-kacir dan berantakan. Contohnya H.B. Jassin harus melepas jabatannya sebagai dosen luar biasa di Fakultas Sastra Universitas Indonesia selain itu karya-karya dari tokoh serta pengarang dari Manifes Kebudayaan dilarang untuk terbit.
Daftar Pustaka
K.S., Yudiono. 2010. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: PT Grasindo