Â
Rerata masyarakat yang ingin mengurus surat keterangan kepemilikan tanah di tingkat desa, atau biasa disebut sporadik, akan dipungut biaya.Â
Per desa memiliki tarif yang berbeda-beda, seperti di Tanjab Barat, Jambi, mulai dari Rp 300 ribu dan ada yang sampai Rp 1 juta, bahkan 10 persen dari harga jual tanah. Di Sarolangun Jambi juga demikian, kono dua sampai tiga persen dari harga tanah.‎
Tahukah anda bahwa praktik ini tidak memiliki landasan hukum apapun, di Tanjab Barat sendiri tidak ada Peraturan Daerah (Perda) soal itu. Karenanya praktik tersebut tindak pidana.
Saya berbincang bersama dosen Hukum Universitas Jambi, Dr. Bahder Johan Nasution‎, SH, SM, M.Hum. Yang pertama kata dia kalau ada penarikan uang terhadap masyarakat harus ada ketentuan hukumnya, tidak bisa dibuat-buat. Tidak bisa main patok-patok tarif saja tanpa ada dasar hukum yang jelas.
Kalau praktik itu terjadi terlebih dilakukan oleh oknum aparat desa, maka secara nyata perbuatan itu tergolong pemerasan, kades bisa dikategorikan melakukan tindak pidana.
Sebab pembuatan sporadik ada ketentuan soal administrasi apa sebenarnya yang harus dibayar (seperti materai), kalau ditetapkan tarif di luar ketentuan itu tidak bisa.
 Ke dua, pria yang buku-bukunya banyak dijadikan referensi oleh penggiat hukum tersebut mengatakan, di dalam Undang-undang Desa yang baru sampai ke peraturan-peraturan pelaksananya, tidak ada diatur kewenangan desa sampai ke sana (memungut biaya dari masyarakat).‎
Untuk itu kalau masyarakat  merasa dirugikan ‎bisa melaporkannya ke aparat kepolisian, atau pada saat masyarakat mengurus pembuatan sporadik, jangan mau membayar, minta dulu ke desa dasar hukum apa yang mereka gunakan.‎
Aturan yang dimaksud, seperti soal pajak dan retribusi‎ ditentukan di dalam Undang-undang Dasar, terusannya Perda. Ada contoh di Sumatera Barat kalau mengelola tanah ulayat harus nyetor dengan trif tertentu, tapi itu tidak masalah karena ada Perdanya yang mengatur.‎
Nah selama belum ada payung hukum soal penarikan biaya tersebut, jangan serahkan uang anda ke kepala desa dalam mengurus administrasi, termasuk sporadik atau biaya jual beli tanah, dengan begitu setidaknya kita sudah berusaha untuk memutus perilaku korup aparat desa.‎