Pemilihan umum (Pemilu), sebuah pertarungan politik yang sangat akrab bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, bagaimana tidak, hanya selang beberapa bulan agenda yang orang bilang pesta demokrasi itu dilakukan. Baik di tingkat desa, sampai ke Pilpres. Itulah uniknya negara kita, bahwa pemimpin dipilih langsung oleh rakyat. Harus diakui bahwa 'pesta' satu ini bukanlah ajang berhura-hura, tapi ini adalah pesta yang memiliki resiko paling buruk di dunia, chaos sudah menjadi resiko umum bahkan terkadang berbuntut ke konflik horisontal. Tapi di sini kita tak membahas itu, kita membahas soal pertarungan dan peluang menang serta siapa sebenarnya basis massa kandidat. Langsung saja, bahwa secara teoritik, banyak faktor yang membuat orang ingin memilih. Adalah faktor sosiologis, pemilih yang menetapkan pilihannya karena faktor sosiologis, akan melihat kandidat dari daerah mana, suku apa dan apa agamanya. Faktor ini disebut-sebut memberi pengaruh besar bagi kemenangan kandidat, karena priomordialisme sudah berbicara soal darah, sudah berbicara soal ego. Orang akan cendrung berpihak kepada siapa yang paling dekat dengannya.‎ Saya mencontohkan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi, sebenarnya PAN pengusung Prabowo - Hatta memegang 15 kursi DPRD, menguasai separuh kursi di parlemen. Zumi Zola bupatinya menjadi tim pemenangan, tapi apa mau dikata, ternyata Jokowi-JK menang lebih dari 60 persen, karena apa? Karena JK suku bugis yang menjadi masyarakat mayoritas di Tanjab Timur.‎ Ini disebut massa yang jelas.‎‎ Kemudian faktor sikologis juga membuat orang datang ke TPS untuk memilih. Biasanya mereka akan mendukung karena kandidat itu sangat ia idolakan, bisa karena dia mirip dengan keluarga, mirip dengan bintang film, karena menganggap kandidat yang didukung cerdas, punya kemampuan atau kenal dengan visi-misinya, yang jelas ia merasa senang dan penasaran dengan tokoh tersebut. Ini biasanya yang membuat banyak partai politik memasang artis di pemilihan umum, atau tokoh populer lainnya. Ini juga sangat menunjang kemenangan, tapi ikatannya tak sekuat priomordialisme atau ego kedaerahan/kesukuan. ‎Dan sebenarnya juga tak sebanyak pemilih karena faktor sosilogis. ‎Terakhir, pemilih dengan dasar rasionalitas, mereka yang sangat pragmatis, memilih atau mendukung hanya karena uang, hanya karena kepentingan dan keuntungan. Mereka paling aktif membela kandidat yang didukung, mati-matian membela lewat media sosial, keluar urat leher saat berdebat, sanggup melakukan apapun selagi tetap untung. ‎Tapi harus diketahui, meski koarnya besar, sebenarnya peran mereka di pemilu tidak besar, mereka tak punya basis massa. Tapi kalau kandidat yang didukung jadi, merekalah yang paling besar dapat untung, ketimbang masyarakat jelata. Artinya, pemilih atau pendukung atas dasar faktor sosi‎ologis (primordialisme) adalah pendukung yang paling real untuk menunjang kemenangan, siapa yang bisa menjaga basis massa itu dan menambahnya dari massa ngambang, dia akan keluar sebagai penenang. ‎Namun catatannya, bahwa tak serta merta juga begitu, karena politik uang bisa mematahkan segalanya. Mereka yang satu daerah atau satu suku, bisa mengalihkan dukungan karena uang. Dan itu juga bisa terpatahkan oleh black campaign, sejauh ini kampanye hitam masih menjadi strategi khusus yang digunakan tim kandidat untuk menggerus massa dukungan lawan politiknya. Terbukti di Pilpres, obor rakyat berhasil membuat simpati calon pemilih Jokowi memudar, atau ketika itu Jokowi terancam kehilangan dukungan massa ngambang. Namun ia diuntungkan oleh kata-kata 'sinting' dari politisi PKS‎, sehingga massa ngambang dari kalangan santri atau NU yang ada di Jawa Timur dan dan seluruh Indonesia pada umumnya bisa dilekatkan dengan isu baru. Bahkan banyak yang menyebut, kata-kata 'sinting' itulah penunjang kemenangan Jokowi-JK. Meski begitu, yang harus dicatat bahwa black campaign hampir saja membuat Jokowi-JK 'tersungkur' di Pilpres. Dengan begitu, anda termasuk pendukung kandidat dari golongan mana? Karena suku/daerah, ketokohan atau keuntungan?
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H