Mohon tunggu...
Adhi Kurniawan
Adhi Kurniawan Mohon Tunggu... -

seorang biasa yang ingin memberikan sesuatu yang luar biasa untuk Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Lost in Baduy: Belok kiri, Cibeo !

3 Desember 2010   04:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:04 1157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah sekian lama menunggu, perjalanan ke Badui terwujud juga. Akhir pekan lalu kami berkesempatan mengunjungi kampung suku yang masih teguh mempertahankan adatnya. Jumat, 2 Juli 2010, jam 20.30 kami berangkat dari Jakarta naik kereta ekonomi lokal dari Stasiun Pondok Ranji. Kereta luar biasa penuh. Sampai di Stasiun Rangkasbitung jam 23.00, kami segera menuju alun-alun kota untuk istirahat. Sekedar melepas penat dan menghabiskan beberapa bungkus pecel lele dimakan bersama. Karena Masjid Agung dikunci, kami tidur menggelandang di pendopo terbuka alun-alun. Pagi menjelang, setelah solat subuh di Masjid Agung Al-A’raaf, kami berjalan-jalan di sekitar alun-alun kota. Di sekeliling alun-alun terdapat beberapa kantor penting pemerintahan Kabupaten Lebak. Suasana pagi di kabupaten yang menjadi setting buku legendaris Max Havelaar karya Douwes Dekker itu cukup menyenangkan. Sabtu, 3 Juli 2010, jam 07.30 kami berangkat menuju Ciboleger, terminal terakhir sebelum masuk perkampungan Badui. Sepanjang perjalanan tampak sawah menghijau luas terhampar, dibelah kelokan sungai lebar beraliran deras. Di kejauhan barisan bukit berdiri berlapis, membatasi hamparan sawah dengan batas pandang kita. Wajar jika Multatuli, begitu Douwes Dekker menyamarkan namanya, menulis Max Havelaar. Sebuah buku tentang sistem tanam paksa di jaman kolonial Belanda dulu. Sebuah buku yang mampu membuka mata kaum terpelajar pribumi tentang apa yang sesugguhnya terjadi di negeri mereka sendiri. Bagaimana mungkin rakyat Lebak hidup serba kekurangan dan menderita sementara tanah ulayat mereka begitu subur dan alam melimpah. Jam 09.00 kami tiba di Ciboleger, disambut oleh beberapa rekan yang sudah sampai sehari sebelumnya. Mereka ditemani enam orang pemuda Badui Dalam yang menjadi pemandu kami selama perjalanan. Setalah beristirahat sebentar dan packing ulang, kami menuju rumah kepala desa Badui Luar untuk meminta izin masuk ke perkampungan Badui. Dipimpin oleh Juli, sahabat Badui Dalam kami, tim masuk kampung Badui jam 09.30. Jarak dari Ciboleger ke Cibeo, kampung Badui Dalam yang akan kami kunjungi, adalah sekitar 12 km yang akan ditempuh dalam 6 jam. Jalur naik turun bukit dengan track licin sehingga waktu yang dibutuhkan pun lebih lama. Setengah jam jalan, kami masuk ke perkampungan Badui Luar. Ada sekitar 6 kampung Badui Luar dengan jumlah rumah 40-80 rumah dalam satu kampung. Tata ruang kampung Badui Luar unik. Mereka bisa membangun perkampungan di daerah datar, di lereng bukit, bahkan di tebing sungai. Susunan tersebut membentuk kombinasi yang luar biasa. Rumah mereka berbentuk rumah panggung berlantai bambu yang dibelah menyerupai lembaran papan kayu. Didingnya berupa anyaman bambu. Atapnya terbuat dari daun kelapa atau aren yang disatukan lalu dipasang berlapis-lapis. Saat kami lewat, mereka sedang melakukan aktivitas keseharian seperti biasa. Beberapa pria menjemur cengkih dan membelah kayu, kaum ibu kebanyakan sedang menenun atau menumbuk padi atau kopi. Anak-anak Badui Luar cenderung pemalu, mereka melihat rombongan kami dari balik pintu rumah masing-masing dan segera masuk ketika kami mengarahkan kamera kepada mereka. Satu jam kemudian, kami sampai di tepi sungai besar. Kejutan pertama. Suku Badui adalah salah satu insinyur hebat. Dalam keterbatasan, mereka mampu membuat jembatan bambu sepanjang hampir 20 meter tanpa sebatang paku pun. Jembatan itu menghubungkan dua kampung yang dibelah aliran sungai besar. Jembatan dibuat dengan menambatkan lonjoran bambu ke empat batang pohon besar, dua batang di masing-masing sisi sungai. Jembatan berbentuk segitiga sama kaki dengan tepi sungai sebagai kaki-kakinya. Struktur segitiga diperkuat dengan bambu yang dipasang vertikal menyatukan sisi-sisi segitiga. Tidak ada paku, beton, besi, atau semen dalam jembatan itu. Hanya ada bambu dan jalinan ikatan ijuk. Setelah dari jembatan, kami jalan menyusuri tepi sungai lalu mendaki ke bukit-bukit terjal. Trek terjal diperparah dengan guyuran hujan yang lumayan deras siang itu. Jalan setapak tanah merah yang biasa dilalui penduduk Badui itu sempit berkelok dengan lapisan batu di beberapa bagian. Juli dan anak-anak Badui lainnya tampak sama sekali tidak mengalami kesulitan melewati jalur tersebut. Sementara kami, jatuh bangun terpeleset, kadang meluncur bebas di jalur tersebut. Selepas dhuhur, kami sampai di jembatan bambu kedua yang merupakan batas antara Badui Luar dengan Badui Dalam. Setelah menyeberangi jembatan, kami akan menginjakkan kaki di tanah adat Badui Dalam. Di sini diberlakukan aturan adat yang lebih ketat. Satu setengah jam dari batas jembatan, jam 14.30 kami sampai di kampung Cibeo, kampung Badui Dalam terdekat dari Ciboleger. Kampung Badui Dalam berikutnya adalah Cikeusit, 12 km dari kampung Cibeo. Di Cibeo kami menginap di rumah Juli, sebagian lagi menginap di tetangga Juli. Lelah dihajar trek yang ekstrim dan basah kuyup oleh hujan, kami terkapar di lantai bambu rumah panggung Badui, tertidur pulas untuk beberapa saat. Menjelang magrib, kami berkumpul di rumah Juli. Sambil menunggu rekan-rekan cewek menyiapkan makanan, kami berbagi cerita dan pengalaman dengan Juli sekeluarga dan beberapa orang Badui Dalam lain. Sambil mengobrol, kami disuguhi talas rebus yang disajikan dengan gula merah. Sekeranjang besar pisang dan beberapa botol air putih. Air putih disimpan dalam botol beling coklat besar, bekas wadah larutan kimia di laboratorium, diminum menggunakan mangkuk putih kecil, seperti minum arak Cina. Suku Badui Dalam hidup dalam kesederhanaan, apa adanya, dan menolak modernisasi. Mereka dilarang menggunakan alat elektronik, menggunakan bahan kimia dalam kehidupan sehari-hari, dan anak-anak tidak boleh sekolah. Kehidupan Badui menyandarkan sepenuhnya pada alam. Seharian mereka bekerja di ladang, menanam padi di tegalan (sawah kering). Hasil panen disimpan di lumbung di luar kampung. Pada bulan kawolu (kedelapan) menurut penanggalan Badui, mereka mengadakan pesta besar-besaran selama 3 bulan berturut-turut. Saat itu Badui Dalam tertutup untuk tamu dari luar selain suku Badui. Kebanyakan orang Badui menikah muda, sekitar usia 15-18 tahun. Mereka tidak bisa memilih jodoh sendiri, mereka harus mengikuti pilihan orang tua mereka. Setelah menikah, mereka masih boleh tinggal serumah dengan orang tua, tetapi untuk urusan dapur harus terpisah. Pasangan yang telah menikah harus hidup mandiri. Suku Badui tidak mengenal agama, mereka menganut kepercayaan Sunda wiwitan. Namun, entah mengapa, mereka menyebut Tuhan mereka dengan sebutan Gusti Alloh. (cerita dari Kang Harja). Kepala desa Cibeo, Pak Fuan, dikenal memiliki ilmu kebatinan tingkat tinggi. Rumah Pak Fuan sekeluarga agak terpisah dari rumah-rumah lain. Menurut cerita penduduk setempat, Pak Fuan sering dikunjungi pejabat penting dari Jakarta yang katanya ingin minta “nasihat” dari Pak Fuan. Selanjutnya giliran Juli yang menjadi bintang dalam percakapan kami. Jangan disangka suku Badui Dalam benar-benar terasing dari kehidupan luar. Justru Juli ternyata lebih jagoan menjelajahi Jakarta dibandingkan kami. Dia beberapa kali ke Jakarta menemui teman-teman yang pernah berkunjung ke rumahnya di Cibeo. Saat di Jakarta, tidak main-main, dia “hang-out” ke ice skating di Mal Taman Anggrek, mampir ke Apartemen Ambasador, hadir dalam acara di gedung Kementerian Pendidikan Nasional, atau singgah di beberapa hotel berbintang di kawasan Sudirman. Hmm, sebuah paradoks, saat penduduk kampung Cibeo menolak modernisasi, pemuda seperti Juli haus akan pengetahuan dan informasi. Meskipun begitu, Juli tetap memegang teguh aturan Badui Dalam. Misalnya, dia tetap jalan kaki dari Cibeo ke Jakarta karena orang Badui memang tidak boleh naik kendaraan. Juli punya adik yang usianya 12 tahun. Saat ditanya namanya siapa, dia menjawab singkat : “Armani”. Weww, dapat inspirasi dari mana coba bapaknya Juli memberi nama anaknya “Armani”. Jangan-jangan ketika ditanya siapa nama lengkapnya, Armani akan bilang “Giorgio. Giorgio Armani”. Untunglah, nama orang Badui hanya terdiri dari satu kata. Penduduk desa Cibeo hampir mencapai 1000 orang, cukup banyak memang. Ketika ada keluarga baru yang akan mendirikan rumah, mereka memperluas kampungnya dengan membangun rumah di tepi desa sehingga lama-kelamaan desa akan meluas. Menu makan malam sekaligus rapelan dari makan siang kami malam itu adalah nasi putih ala Badui sayur sawi dan irisan jagung manis, dengan lauk tempe goreng dan irisan nugget. Tidak ada lampu dan acara televisi seperti biasanya, hanya temaram lilin dan lampu minyak di ruang tengah keluarga Badui Dalam. Suasana istimewa yang tidak akan kami temui jika kami tidak mau berjalan jauh menembus hutan, untuk sebuah pelajaran penting tentang hidup dalam kesederhanaan dan rasa syukur dalam keadaan apa pun. Setelah makan malam, kami lanjut ngobrol-ngobrol lagi. Beberapa rekan yang kelelahan mulai tertidur, tinggal kami berempat yang terjaga. Entah mengapa, rasanya nikmat sekali saling bercerita, berbagi pandangan tentang hidup di tengah gelap malam dan kesunyian Badui Dalam. Suasana di sana memang terasa mistis, seperti ada aura tertentu yang sukar kami menjelaskannya. Saat yang tepat untuk berkontemplasi, rehat sejenak dari rutinitas hidup dan mengevaluasi diri. Meluruskan kembali tujuan sebenarnya dalam kehidupan kami. Tentang pentingnya bersyukur dan saling memberi. Orang-orang Badui Dalam mengajari kami tentang kesederhanaan. Kita, orang yang mengaku hidup dalam kemajuan, mengaku terpelajar, justru terjebak dalam pola piker kita sendiri. Kita cenderung untuk memperumit masalah dan mempersulit diri sendiri. Mudah mengeluh dan sukar bersyukur. Tapi orang Badui, yzng hidup dalam keterbatasan, mereka justru mampu lebih menikmati hidup. Mereka bangun ketika matahari mulai terbit, berangkat ke ladang bersama anak mereka. Bekerja keras mengolah ladang, pulang ke rumah saat tengah hari lalu makan bersama keluarga, menikmati talas rebus dan ikan asin yang suidah disiapkan istri atau ibu mereka. Sederhana, tapi indah. Keesokan harinya, Minggu 4 Juli 2010, setelah makan pagi dan packing, kami meninggalkan Cibeo jam 08.30. Sebelumnya kami berpamitan dengan keluarga Juli, terima kasih atas pengalaman hidup yang luar biasa. Kami kembali ke Ciboleger dipandu Juli dan si “Giorgio” Armani. Perjalanan pulang relatif lancar dan relatif cepat karena tidak hujan. Jam 13.30 kami sampai di Ciboleger, istirahat dan beres-beres sejenak. Jam 14.00 kami meninggalkan Ciboleger langsung menuju Rangkasbitung untuk mengejar kereta kembali ke Jakarta jam 15.45. Begitulah, tidak ada sesuatu yang kebetulan. Semua sudah tercatat rapi dalam lembaran Lauhul Mahfudz. Setiap kali kita melakukan “perjalanan”, pasti ada hal-hal penting yang bisa kita pelajari agar kita mampu menjadi orang yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi orang lain. Alam sudah menyediakan ilmunya, tinggal kita “baca” lalu ambil hikmahnya. Badui, sebuah perjalanan hati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun