Mohon tunggu...
Ruly Gati
Ruly Gati Mohon Tunggu... profesional -

Belajar menulis...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kami Pernah Berikhtiar Merintis Sekolah Alternatif

7 November 2013   14:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:29 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kegelisahan dan kegalauan akan system pendidikan di Indonesia akibat kuatnya gelombang kapitalisasi yang merambah hingga ranah pendidikan menyebabkan HARUM - lembaga kemanusiaan yang kami dirikan pada tahun 2005 di Kota Malang, Jawa Timur - terus mengupayakan langkah kongkret yang lebih dari sekedar mengkritik atau malah hanya memendam rasa. Mengamati kondisi anak-anak di komunitas HARUM baik yang ada di perkotaan maupun di LKSA makin menguatkan tekad HARUM agar lebih serius memikirkan jalan keluar agar hak memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas benar-benar bisa mereka rasakan.

Akibat system dan pola pendidikan yang ada menyebabkan kreatifitas dan kemandirian anak makin terpasung dan terbelenggu. Masyarakat dan guru terjebak pada penilaian sempit yang mengukur kecerdasan dan potensi anak hanya didasarkan atas capaian dan nilai pembelajaran akademik (baca : nilai rapor dan hasil UAN). Sementara bagi kita (orang dewasa) yang telah menempuh pembelajaran dasar hingga menengah selama 12 tahun (dari SD hingga SMA) secara jujur harus mengakui bahwa hasil pembelajaran yang sangat lama ini hanya sebagian kecil saja yang benar-benar digunakan dalam kehidupan nyata. Anak-anak pelajar sampai sekarang masih ‘dipaksa’ mempelajari terlalu banyak hal-hal yang tidak penting dan tidak relevan dengan persoalan dan keadaan nyata yang dihadapi mereka dan lingkungannya. Akibat pemaksaan yang berlangsung lama inilah yang mengakibatkan ‘matinya’ kreatifitas dan kemandirian anak-anak padahal secara fitrah atau naluri setiap anak oleh Allah SWT diberikan rasa dan daya KEINGINTAHUAN (Curiosity) yang luar biasa. Oleh karena itu yang senyatanya : tidak ada anak yang bodoh, setiap anak adalah cerdas, setiap anak selalu memiliki rasa ingin tahu, setiap anak memiliki potensi. Namun akibat system pendidikan yang berlangsung seperti saat ini, saat nilai rapor kurang dari 7 atau kurang dari 6, maka anak akan dianggap bodoh, malas dan tidak punya masa depan.

Kesalahan ini tidak cukup disadari hingga saat ini, bahkan sekolah-sekolah telah menjelma menjadi perusahaan jasa layanan pendidikan dimana mereka memperlakukan siswa dan orang tua siswa sebagai pasar yang harus membayar agar bisa menikmati jasa layanan tersebut. Makin mahal mereka (orang tua siswa) berani membayar makin ‘wah’ pula kualitas layanan yang akan mereka terima. Pola inilah yang melahirkan diskriminasi terhadap mereka yang tidak berpunya, mereka akan kesulitan memperoleh akses pendidikan yang layak dan berkualitas. Mereka harus menerima pelayanan pendidikan yang serba minimalis: guru yang yang tidak kompeten dan tidak berdedikasi, fasilitas pembelajaran seperti buku yang sudah usang, gedung yang reot, perlengkapan dan sarana penunjang lainnya yang seadanya saja.

Apalagi carut marut pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak menunjukkan tanda-tanda membaik bahkan cenderung sebaliknya. Kisruh kurikulum 2013, kebijakan UAN (Ujian Akhir Nasional) yang dibatalkan Mahkamah Agung (MA) tapi tetap saja dilaksanakan, sertifikasi yang justru membuat orientasi guru-guru makin kabur dan kehilangan ruh pengabdian adalah sebagian contoh yang menggambarkan carut marutnya situasi tersebut. Pendeknya, persoalan pendidikan di Indonesia dari hulu ke hilir benar-benar rumit dan kusut.

Saat bersama anak-anak di komunitas, HARUM mengamati situasi mereka sekaligus mendengarkan kegelisahan tentang anak-anak yang putus asa dengan dirinya karena terlalu sering dicap tidak mampu dan bodoh. Sebagian anak-anak ini telah diijinkan orang tuanya untuk tidak melanjutkan ke SMP dan akan membantu orang tuanya berjualan. Sementara itu, anak-anak yang hendak selesai SMA dan harus purna dari pengasuhan di LKSA (d/h Panti Asuhan) sebagian besar benar-benar belum memiliki skill yang memadai guna menghadapi kehidupan nyata dan kemampuan kongkret yang bisa mereka sumbangkan untuk lingkungannya. Bagaimana mungkin anak-anak yang telah menghabiskan waktu hampir 12 tahun di sekolah tetapi belum mempunyai produk dan output yang bisa memberikan kemanfaatan kepada diri mereka dan orang lain kecuali hanya beberapa lembar ijazah? Ini belum termasuk anak-anak di komunitas yang orang tuanya kebingungan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk melanjutkan sekolah, karena pendidikan gratis masih sekedar janji manis pemerintah dan politisi.

Pada bulan Juli tahun 2013 atau bersamaan dengan tahun ajaran baru, HARUM bersama rekan-rekan yang memiliki keprihatinan dan kepedulian atas kondisi pendidikan sebagaimana telah diuraikan diatas merencanakan mendirikan sebuah sekolah alternative, sebuah sekolah yang ramah anak dan mengupayakan mengakomodasi serta memfasilitasi pengembangan minat dan bakat anak-anak didiknya. Guna memperoleh gambaran sebuah aktifitas komunitas belajar dalam wadah sebuah sekolah alternative tersebut pada tanggal 30 Maret hingga 1 April yang lalu, HARUM melakukan silaturahmi ke Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah atau KBQT di Salatiga Jawa Tengah. Silaturahmi ini dalam rangka melakukan observasi atau mengamati secara langsung proses pembelajaran di KBQT. Walaupun HARUM melewatkan salah satu kegiatan rutin yang cukup penting yaitu Gelar Karya (GK) anak-anak anggota komunitas belajar KBQT yang merupakan salah satu bentuk evaluasi hasil belajar yang cukup unik, akan tetapi HARUM banyak memperoleh informasi yang sangat bermanfaat melalui diskusi langsung dengan Pak Bahrudin atau yang akrab dipanggil Pak Din – pendiri KBQT, para pendamping KBQT, anak-anak KBQT yang melakukan berbagai aktifitas mulai dari ‘Upacara’, Forum Tawasiy, tilawah Al Qur’an hingga diskusi tematik.

Sayang ikhtiar kecil melawan ketidakadilan akses pendidikan ini belum di ijabah oleh Allah SWT, kami harus bersabar mewujudkannya. Kami akan mengupayakannya kembali tahun 2014, dan tetap berharap dukungan moril, spiritual dan materiil segenap komunitas HARUM sehingga Indonesia masih bisa berharap lahirnya generasi pemimpin yang bisa memperbaiki keadaan lingkungan, bangsa dan tanah airnya. Wallahua’lam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun