[caption id="attachment_298928" align="aligncenter" width="576" caption="saat dilakukan terapi lintah oleh Rahman sendiri"]

Badan yang terasa penat dan masuk angin telah kembali pulih untuk beraktifitas, setelah kami mendatangi terapi pijat refleksi. Kami kadang-kadang mendatangi sebuah tempat refleksi di seputaran Srengseng Sawah antara kampus tekhnik tertua (I**N) dan sebuah akademi milik Deperindag (A**). Ada yang berbeda di tempat ini karena terapis dan pelanggan akan ditangani sesuai gender, dan terapis wanitanya berhijab rapat, menurut yang empunya usaha dia melakukan ini demi menjaga stigma yang melekat pada tempat refleksi urut yang melayani wanita dan pria.
Beberapa kali kami datang membuat kami kenal beberapa dari mereka, salah satunya Rahman (19), rata-rata mereka berusia muda, bahkan ada yang 14 tahun (tidak untuk dibenturkan dengan pekerja usia anak-mereka dimanusiakan hak moral dan sosialnya). Dari sikap dan cara bicara yang runtun saya mencermati Rahman cukup santun dan mengerti akan bagaimana memposisikan diri dalam bergaul dan berinteraksi dengan siapapun. Rupanya dia pernah di pesantren dan sampai aktifitasnya terapis sekarangpun dia masih mengikuti kajian keilmuan. Dari sinilah kami jadi tahu akan kondisi yang menghantarkan dia ke tempat ini dan bagaimana dia menjalani pekerjaan ini dengan tekun demi sang Ibu yang menderita tumor ganas di kepala stadium 4.
Saat umur 14 tahun bapaknya meninggal serangan jantung, dan dia pulang sudah berjumpa bapaknya di bawah gundukan tanah pekuburan, karena keterlambatan datang, tidak berselang beberapa tahun ibunya (Supratin-55) yang jadi pedagang kelililing minuman di daerah Mangga Dua Jakarta Kota jatuh sakit. Dan di rawat pulang kampung daerah Bulak Amba - Brebes.
Rahman yang mulai remaja memaksa berfikir dan mengambil arah kendali rumah tangga untuk bekerja apa saja, sebelum jadi terapis sempet jadi buruh di pabrik. Namun dalam waktu bersamaan, satu-satunya kakak perempuan mengalami depresi karena gagal menikah hingga kini. Terpaksa rahman memboyong ibu dan kakaknya di sebuah kontarakan gang di pintu belakang kampus tekhnik tertua di Jakarta (I**N). Dari hasil terapis inilah dia menopang kehidupan Ibu dan kakaknya. Di tambah peluangan waktu ekstra karena ketidakpedulian kakaknya pada kehidupan sekitar, termasuk membantu saat ibunya butuh melakukan kegiatan private layaknya kita. Sehingga Rahman harus menyadiakan semudah mungkin segala hal yang mudah di jangkau oleh Ibunya saat membutuhkan. Di sela sela rehat dia harus pulang menengok Ibunya, di tambah beban kehidupan kakak, yang seharusnya bisa berbagi tanggungjawab harus Rahman tangani semua.
Miris dan tergugah kami, juga menghentak perasaan kami di saat usia belia dia harus berjibaku menopang dua orang tercintanya, belum termasuk hak hidup dirinya sendiri. Coba kita bandingkan arogansi dan gaya hidup yang berefek kepada kekerasan dan kekejaman kepada orang-orang yang kita cintai di sekeliling dan ini akibat kurangnya perilaku dan respon orang tua terhadap anak, juga akibat gaya hidup sosialita yang berlebih, lemah dari tanggung jawab hidup dan kemampuan life skill, hidup di isi dengan virtual dan animasi vandalis dan serba instan, sehingga melewatkan kearifan dalam interaksi dan perasaan serta moralitas memanusiakan manusia.
Dalam pekan ini kami akan membawa Ibunya ke rumah sakit, silahkan kawan-kawan jika ada rezeki untuk membantu selama di rumah sakit dan pasca pengobatan japri ke saya atau ke Rahman langsung, atau bisa hadir di tempatnya Pijat Refleksi (Cahaya) di Srengseng Sawah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI