Di ujung Agustus, mentari beranjak malas,
Menyusuri langit yang perlahan berwarna abu,
Seperti perasaan yang rindu tetapi tak berbalas,
Menggenggam harapan yang tersisa pada daun-daun layu.
Mentari mengintip dari balik awan tipis,
Menghangatkan tanah yang mulai dingin oleh gugur dedaunan,
Seakan tahu betapa rindu ini tak pernah habis,
Menanti sentuhan hangat yang dulu pernah terasa di tangan.
Pada akhir Agustus, waktu seperti berlari,
Menyisakan kenangan dalam setiap desah angin,
Mengingatkan hati pada perjalanan yang telah pergi,
Saat matahari membakar, saat malam-malam begitu dingin.
Mentari di akhir Agustus, engkau seperti janji,
Yang belum terpenuhi, yang selalu dinanti,
Membawa serta kabar tentang musim yang berganti,
Menyapa setiap jiwa yang mencari dan menanti.
Ku lihat engkau menggeliat di ujung langit sore,
Mengintip malu-malu, sebelum akhirnya tenggelam,
Seperti rahasia yang tak pernah selesai diucapkan,
Seperti perasaan yang tak pernah menemukan jalan.
Di akhir Agustus, kau bersinar dengan warna pudar,
Namun tetap indah, dengan segala keterbatasan,
Seperti cinta yang tetap bertahan meski waktu beredar,
Seperti jiwa yang tetap hidup meski dunia mulai kelam.
Mentari, kau ajarkan pada hati yang resah,
Bahwa setiap akhir adalah permulaan yang tertunda,
Bahwa di setiap senja, ada pagi yang tak pernah patah,
Menanti saatnya untuk kembali membawa cahaya.
Dan di akhir Agustus ini, kupegang erat makna,
Bahwa hidup adalah menanti dan menyambut,
Meski hari kian singkat, meski malam kian lama,
Kau selalu hadir, meski hanya dalam sejumput.
Kau mentari di akhir Agustus,
Yang tetap setia menghangatkan, meski sebentar,
Yang tetap mencintai, meski harus pergi,
Dan aku, akan selalu menanti.
Py Laba, 31 Agustus 2024