Dari sudut jendela kamar kosnya yang sempit, Raka memandang jauh ke luar, menuju cakrawala malam yang membentang hitam di atas kota metropolitan yang gemerlap. Setiap lampu yang berkelip terasa seperti tanda tanya besar dalam pikirannya. Ia sedang berada di tempat yang jauh, dengan harapan besar yang membawanya ke sini sebuah karier yang cemerlang di ibu kota yang sibuk. Namun, malam ini, harapan itu terasa seperti ilusi belaka.
Sekitar satu tahun lalu, di kampung halaman mereka yang tenang, Raka dan Maya, kekasihnya sejak SMA, bercita-cita untuk membangun masa depan bersama. Mereka sering membayangkan kehidupan yang mereka impikan rumah kecil di pinggir kota, kebun bunga, dan mungkin sebuah kafe kecil di sudut jalan. Semua rencana itu tergantung pada Raka yang pergi mencari peluang di kota besar, sementara Maya tetap di desa untuk menyelesaikan kuliahnya.
Raka ingat betapa bahagianya mereka saat terakhir kali mereka bertemu sebelum ia berangkat. Maya memeluknya erat, air mata mengalir di pipinya saat berjanji akan menunggunya. Raka memegang janji itu dengan teguh, percaya bahwa jarak hanya akan membuat hubungan mereka semakin kuat.
Namun, hidup tidak selalu berjalan seperti yang direncanakan. Hari-hari berlalu, dan Raka mulai merasakan jarak yang tidak hanya memisahkan fisik mereka tetapi juga hati. Meskipun ia berusaha keras, sering kali ia merasa terasing dan sendirian di kota yang bising ini. Berita dari rumah semakin jarang, dan setiap kali ia menghubungi Maya, pembicaraan mereka terasa datar dan terputus-putus.
Satu malam, saat Raka memeriksa pesan di ponselnya, ia menerima sebuah pesan singkat dari seorang teman lama di kampung halaman. Isi pesan itu membuat darahnya membeku Maya dan Arief, sahabat baiknya sejak kecil, baru saja mengadakan resepsi pernikahan.
Hati Raka bergetar hebat, seperti dihantam badai. Ia tahu bahwa Arief telah lama jatuh cinta pada Maya, namun ia tidak pernah mengira jika cinta itu akan mengalahkan ikatannya dengan sahabatnya sendiri. Raka merasa seperti hidupnya terhenti sejenak. Ia membayangkan bagaimana kebahagiaan yang pernah mereka rencanakan bersama kini terjalin dalam cerita yang sama sekali berbeda.
Dalam kepedihan dan kemarahan, Raka memutuskan untuk menghubungi Maya. Suaranya tegang dan penuh kesedihan saat ia menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Maya di ujung telepon menangis dan menjelaskan bahwa ia merasa terabaikan oleh Raka, dan perasaannya tumbuh untuk Arief seiring berjalannya waktu. Maya mengakui bahwa ia telah berusaha untuk berbicara dengan Raka tentang perasaannya, namun komunikasi mereka semakin memburuk.
Kepedihan itu semakin membesar ketika Raka mendengar pengakuan bahwa Maya dan Arief telah merencanakan semuanya bersama, dan keputusan untuk menikah datang setelah Raka memutuskan untuk pergi ke kota besar. Maya meminta maaf, namun Raka merasa tidak ada kata-kata yang bisa menghapus luka ini.
Malam itu, Raka duduk termenung di kamar kosnya, meresapi kegelapan yang seakan memantulkan kesedihan dan pengkhianatan dalam hidupnya. Ia menyadari bahwa keputusannya untuk meninggalkan kampung halaman tidak hanya membuatnya terasing secara fisik tetapi juga emosional. Rasa sakit dan kesedihan yang dirasakannya adalah bagian dari harga yang harus dibayar untuk mengejar impian yang mungkin tidak lagi relevan bagi masa depannya.
Namun, di balik semua itu, Raka menemukan sebuah kekuatan baru. Ia menyadari bahwa cinta dan kepercayaan yang telah hilang dapat digantikan dengan kebijaksanaan dan kekuatan pribadi. Dengan rasa sakit yang mendalam namun penuh harapan, ia mulai merangkai kembali hidupnya di kota besar ini, meninggalkan kisah lama sebagai bagian dari masa lalu yang telah ia tinggalkan. Dalam kegelapan malam, Raka menemukan kedamaian dalam kesadaran bahwa masa depan masih menawarkan banyak kemungkinan dan ia siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya, meskipun luka hati masih membekas.