Siang harinya, saat kami berjalan pulang, kami melihat sekelompok pria bersenjata berjalan di semak-semak. Mereka adalah anggota dari Gerakan Aceh Merdeka yang kemungkinan baru pulang dari pertempuran tadi. Pemandangan itu tetap membuatku ngeri. Kami mempercepat langkah, berharap segera tiba di rumah. Tetapi harapan kami sirna tak kala satu truk tentara berhenti tepat di hadapan kami. Salah satu diantara mereka turun dan bertanya kepada kami
"Apa adik-adik melihat sekelompok orang bersenjata?"
Mau jawab jujur nanti kami dianggap "cuak" dan akan mengancam kehidupan kami sekeluarga, namun kalau tidak jujur kami tahu itu berdosa karena itu selalu yang di ajarkan disekolah dan ditempat pengajian kami. Akhirnya aku memberanikan diri untuk menjawab
"Kami tidak melihatnya pak" kataku dengan rasa gugup yang mengerikan. Ini semua demi keselamatan kami dan keluarga kami, terpaksa aku berbohong. Aku hanya takut salah seorang diantara kami yang pada saat itu berjumlah 4 orang mengatakan ada yang melihat, maka "tamat"lah riwayatku. Tetapi untung mereka hanya diam saja.
Sesampainya di rumah, ibu menyambutku dengan senyum hangat. "Bagaimana sekolahmu hari ini, Awal?" tanyanya.
"Baik, Bu. Ada suara tembakan tadi, tapi kami semua aman."
Ibu mengangguk dan mengusap kepalaku. "Syukurlah. Mari kita berdoa agar semua segera berakhir."
Malam itu, setelah makan malam, aku duduk di kamar dan membuka buku harian. Menulis selalu membuatku merasa lebih baik. Aku mencurahkan semua perasaanku di sana, tentang ketakutanku, harapanku, dan mimpiku. Aku menulis:
"Hari ini, aku kembali merasakan ketakutan yang mencekam. Suara ledakan mengingatkanku bahwa hidup kami selalu di ambang bahaya. Namun, aku tahu bahwa aku harus tetap kuat. Aku harus terus belajar, berusaha meraih cita-citaku, meski di tengah konflik ini. Karena aku percaya, suatu hari nanti, perdamaian akan datang. Dan saat itu tiba, aku ingin menjadi seseorang yang bisa membantu membangun kembali tanah kelahiranku."
Selesai menulis, aku menutup buku harian dan menatap langit-langit kamar. Aku tahu bahwa harapan adalah satu-satunya yang bisa aku pegang erat-erat. Di balik riuh konflik, selalu ada harapan untuk masa depan yang lebih baik. Dan aku berjanji pada diriku sendiri untuk terus berjuang, bukan dengan senjata, tapi dengan ilmu dan kasih sayang.
Keesokan paginya, aku kembali ke sekolah dengan semangat baru. Meski ketegangan masih terasa, aku tahu bahwa aku tidak sendirian. Bersama teman-teman dan guruku, kami akan terus berjuang meraih mimpi, sambil berdoa agar suatu hari nanti, perdamaian akan benar-benar datang ke Aceh dan Alhamdulillah perdamaian itu terjadi pada tanggal 15 Agustus 2005.