Mohon tunggu...
Awaluddin Jamal
Awaluddin Jamal Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Belajar Merangkai Kata, Lulusan D-IV STKS Bandung, Abdi Negara, Penyuka Wanita, Wija To Luwu.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Money Ball, Money Politics dan Pilkada

8 Agustus 2015   09:30 Diperbarui: 8 Agustus 2015   09:30 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

'Money Ball' yang saya maksud disini adalah judul sebuah film. Dibintangi oleh Brad Pitt, film ini diangkat dari kisah nyata seorang William Lamar Beane III atau yang dikenal dengan nama Billy Beane.

Film ini menceritakan perjalanan Billy Beane saat menjadi GM klub baseball Amerika, Oakland Athletics, dan membawanya meraih 20 kemenangan berturut-turut di liga baseball Amerika musim 2002. Sebuah rekor yang cukup sulit untuk dipatahkan.

Menariknya, karena metode yang digunakan oleh Beane saat itu tidak biasa. Dia menggabungkan antara olahraga dan statistik. Sesuatu yang saat itu belum digunakan oleh klub olahraga manapun.

Penggunaan statistik oleh Beane, bukanlah tanpa sebab. Pasalnya, keinginannya untuk membawa klubnya menjadi juara, tidak dibarengi dengan keadaan finansial yang memadai.

Dengan statistik, Billy Beane berhasil mengumpulkan sejumlah pemain non-bintang dan buangan yang berharga murah, tapi punya statistik yang bagus. Walhasil, Oakland Athletics sampai saat ini masih tercatat sebagai salah satu klub baseball yang pernah sukses dengan biaya yang paling minim di Amerika.

Di Indonesia, tahun 2015 ini, akan digelar Pilkada serentak di 9 provinsi dan 268 kabupaten/kota. Lalu, apa hubungannya dengan Money Ball? Setelah membaca sinopsis singkat tentang Money Ball, anda pasti sudah bisa menebak apa hubungan dari kedua hal ini.

Pemilihan kepala daerah (Pilkada), dari waktu ke waktu, selalu identik dengan pengeluaran dana besar-besaran dari para calon. Seolah, menggelontorkan dana besar akan berbanding lurus dengan jumlah perolehan suara besar-besaran.

Berbagai metode pengeluaran dana pun diterapkan, mulai dengan kampanye besar-besaran hingga yang paling ekstrim dan tercela, membeli suara masyarakat.

Parahnya, hal seperti ini oleh sebagian orang dianggap sebagai hal yang lumrah. Seorang teman pernah mengatakan hal ini kepada saya; "Ya kalau tidak mau keluar uang, jangan mau jadi bupati,".

Mengeluarkan uang yang dimaksud teman saya itu, tentu bukanlah mengeluarkan uang seadanya, sekedarnya atau sewajarnya. Tetapi, mengeluarkan uang untuk membeli suara rakyat.

Dari pilkada ke pilkada, menukar suara rakyat dengan materi seolah menjadi satu-satunya cara agar bisa dipilih. Pemaparan program dan kawan-kawannya seolah tidak penting lagi. "Toh rakyat lebih suka dengan yang pasti daripada hanya diberi janji," ujar seorang tukang ojek di daerah saya saat pilkada walikota dua tahun lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun