Mohon tunggu...
Awalia Amanda
Awalia Amanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mereka yang Terpandang Wajib Bersanding dengan yang Sejajar

3 Oktober 2023   06:00 Diperbarui: 3 Oktober 2023   07:07 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adalah unggah ungguh budaya Jawa yang diterapkan oleh keturunan darah biru atau keturunan ningrat dan priyayi kelas atas secara turun-temurun. Hal itu mencerminkan status sosial seseorang untuk mempertahankan citra serta kedudukan. 

Pada tahun 1.800an masih kental sekali budaya patriarki yang diterapkan terutama pada lingkungan kerajaan. Aturan demi aturan berlaku, seperti aturan "laku dodok" atau jalan duduk yang dilakukan oleh orang yang lebih muda, yang lebih rendah status sosialnya (pribumi) ketika menghadap raja. Budaya pingitan terus diterapkan kepada anak gadis yang memiliki garis keturunan darah biru, anak patih (priyayi kelas atas), budaya ini diberlakukan sejak pertama kali ketika anak gadis tersebut telah mengalami datang bulan. 

Selama proses pingitan, tidak diperkenankan meninggalkan keraton dan hanya di perbolehkan melakukan aktivitas di dalam keraton seperti: memasak, menyajikan makanan, melayani suami, membatik, bersolek, belajar unggah ungguh, menari dan menembang jawa. Jarang sekali perempuan pada kala itu diberi akses untuk belajar ilmu pengetahuan, karna hal itu dianggap tabu dan dapat menyaingi derajat serta pemikiran kaum lelaki. Berakhirnya proses pingitan ditandai ketika mereka dewasa ketika ada seseorang yang melamar gadis pingitan tersebut sampai gadis itu menikah, saat itulah berakhirnya masa pingitan.

Kaum darah biru dan priyayi kelas atas tidak diperkenankan menjalin hubungan dalam hal pernikahan dengan seseorang yang tidak memiliki status sosial yang jelas. Hal itu dianggap merusak budaya yang diterapkan secara turun-temurun. Banyak sekali perempuan pada kala itu dijadikan istri yang kesekian kalinya dari seorang atau pangeran, perempuan dikala itu tidak bisa memilih dengan siapa mereka akan jauh cinta. 

Di satu sisi ketika para perempuan yang tidak memiliki status sosial itu jatuh cinta pada seorang bangsawan, tak jarang mereka mau dijadikan selir. Seorang selir tidak berhak atas hak raja dalam hal yang menyangkut keraton, selir terkadang bisa di posisikan sebagai babu istana yang tak jarang melakukan kegiatan kotor seperti menjadi tukang masak atau tukang bersih-bersih. 

Terkadang selir ada yang di beri hak istimewa yaitu diberi tempat tinggal diluar yang jauh dari keraton dan diberi biaya hidup. Akan tetapi seorang yang mau dijadikan selir, harus sanggup merahasiakan dengan siapa ia menikah. Selir tidak diperkenankan memberi tahu bahwa dia adalah istri seorang Raja dan akan terus begitu selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun