Bagi NETIZEN yang sudah apriori terhadap tingkah polah para pejabat, baik di daerah mau pun di kota, Jokowi adalah antitesa dari gambaran para pejabat yang korup, gila harta dan suka pamer kemewahan. Sehingga wajar orang seperti dia diketengahkan ke publik, sebagai alternatif pejabat lain yang sudah terkontaminasi virus kerakusan
Itu sebuah fakta yang tidak bisa dimanipulasi. Bagai Jokowi dan NETIZEN, PDIP tidak lebih hanya kuda tunggangan, dan Megawati tidak lebih dari ibu-ibu komplek yang lupa umur dan lupa zaman telah berganti. Jualan nama Soekarno sudah tidak laku, bahkan buat para pemulung di Bantar gebang tempat dia dan Prabowo mendeklarasikan mimpi bertahun lalu, tidak mau lagi dikibuli. Ditempat itu Megawati dan Prabowo kalah telak.
Para NETIZEN hampir sebagian besar adalah non partisan, Mereka orang-orang melek informasi yang memandang partai politik, DPR, Polisi dan berbagai aparatur pemerintah sebagai organ-organ paling korup di negeri ini. NETIZEN bukan sekelompok orang dungu yang mau membebek begitu saja menerima cuci otak para pemilik tivi yang kebelet jadi penguasa. NETIZEN memandang korupsi adalah kanker ganas. Dan obat mujarab yang paling mereka percaya saat ini untuk menumpas kanker itu hanya KPK DAN PPATK, tok, bukan yang lain.
Namun sekarang kedua lembaga ini sedang diserang habis-habisan. Para petingginya, baik yang masih berdinas mau pun yang sudah mantan dikriminalisasi dengan pasal-pasal yang bagi nalar kita seperti sampah yang berusaha dijejalkan ke dalam otak kita.
Sebagai mana orang-orang dekat Soekarno yang sudah memperingatkannya kemana arah pembantaian simpatisan PKI, saya juga melihat kriminalisasi bukan tujuan, melainkan sebuah proses panjang dan terselubung. Ketika Jokowi terkesan membiarkan kriminalisasi KPK dan Yunus Husein sebagai mantan petinggi PPATK terus berlangsung, maka pelan tapi pasti simpati para NETIZEN kepada Jokowi mulai tergerus.
Plus ditambah dengan keadaan ekonomi yang mulai morat-marit, IHSG yang melemah, harga bahan poko yang kian melambung tinggi dan rupiah yang kian rontok, semakin menjadi energi tambahan bagi para bromocorah menikam dari belakang.
Tidak terasa, perlahan namun ketidak sukaan mulai menggumpal. NETIZEN sebagai basis utama kekuatannya, perlahan mulai mengambil jarak dan mengambil kesimpulan bahwa Jokowi sama saja dengan para begundal disekelilingnya. Dan ketika momentumnya tiba, jokowi akan mudah digoyang. Dan ketika Jokowi dibantai habis para lawan politiknya, NETIZEN hanya akan menjadi penonton.
"Emang gue pikirin."
So, apakah Jokowi akan melakukan kesalahan yang sama dengan Soekarno? Terjungkal oleh delusinya sendiri soal kecintaan rakyat dari mengukur masih banyaknya orang-orang yang masih mau mengajaknya selfie ketika dia blusukan?
Wallahu a'lam bissawab. Hanya allah yang maha tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H