Mohon tunggu...
aldiles dimedjo
aldiles dimedjo Mohon Tunggu... -

terkadang menginginkan kebebasan, terkadang tak mengerti apa itu kebebasan; terkadang gelisah, terkadang tak mengerti mengapa gelisah... tp yang jelas sebaik-baik manusia adalah yg bermanfaat bagi orang lain...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Titik

27 Juli 2010   09:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:34 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sebuah dan tentang titik. Ya, kalimat pertama tulisan ini pada akhirnya diakhiri dengan titik dan seterusnya hingga sampailah ia pada kalimat terakhir. Sebuah titik kadang merangkai sebuah pengertian. Kadang pula merangkai sebuah kesadaran, bahwa ia harus berhenti; pada sesuatu, untuk sesuatu, atau bahkan hanya untuk sesuatu saat. Ia bukan sekedar hasil dari sentuhan tinta dengan kertasnya, tapi karena ia ada, dan sudah seharusnya ada, kita bisa mengambil nafas untuk melanjutkan mengeja, membaca dan meresapi hingga seterusnya dan berjumpa lagi dengan titik. Kadang kali ia dibuat begitu banyak dan berjajar. Mungkin isyarat untuk sejenak jeda lebih lama, bahwa ada seterusnya yang, tidak bisa di tuliskan mungkin, hingga perlu berjajar dan beramai-ramai untuk benar-benar mengetahui ada makna apa dibalik hidupnya kata-kata sebelumnya.

Titik, dan dari sanalah konon semuanya bermula. Ia berpegangan rapat-rapat, hingga bisa dibentuk huruf, kata dan kata-kata. Kata dan kata-kata berhimpun dan jadilah sebuah kalimat. Dari sana muncul makna-makna, kadang sederhana, tapi kadang mendalam hingga berasa begitu nikmat meresapinya. Dan pada akhirnya kalimatpun harus juga diakhiri dengan titik.

Titik bukan koma, yang merupakan isyarat untuk berhenti sejenak, dan titik tidak bisa menjadi koma. Begitu pula sebaliknya, koma tidak bisa menjadi titik karena itu bisa mengacaukan. Mengacaukan intonasi, mengacaukan susunan, dan yang lebih parah mengacaukan makna.

Sebuah titik tidak selamanya identik dengan berhenti. Justru dari sanalah kadang sebuah perjalanan bermula; mengakhiri sebuah makna, untuk kemudian melanjutkan dengan makna yang lebih baru, lebih dalam semoga, dan jangan sampai ia hanya jadi penyimbolan untuk berakhirnya sesuatu untuk sekedar sesuatu. Kalau hanya ini yang ada, bisa-bisa prosa yang penuh dengan titik dan titik-titik ini menjadi hambar dan tiada bernilai.

Dalam sebuah prosa kehidupan yang dipenuhi dengan titik, dengan inilah prosa itu bisa terangkai dan pada akhirnya bisa dialurkan. Titik menyambung untuk kemudian menyatukan, dan bahwa saat sesuatu harus terhenti, seringkali kemudian ia tersambung lagi, yang karenanya ia ada, alur itu menjadi indah. Kadang tak terduga, tidak direncanakan, muncul tiba-tiba hingga menjadi indah pada waktunya. Disinilah, kata orang, titik (kalau tahu ada titik tentunya) merubah yang tak menyenangkan menjadi menyenangkan; mengubah yang tak indah menjadi indah; dan bisa menjadikan yang hitam jadi putih sekalipun.

Titik bukanlah bintang-bintang yang berserak dilangit, yang meskipun berwujud titik dengan mata kita melihat; bercahaya dan beraneka warna, ia hanya bisa dinikmai keindahannya. Tak bisa kita mengatur warna bintang, karena ia ada memang begitulah adanya. Tapi dengan titik, kita bisa mewarnanya sesuka hati kita, entah hijau, putih, merah, bahkan hitam, asal ada pena tentunya.

Titik tetap saja titik. Kecil, dan seringkali tidak dianggap ada saat terlalu asik menikmati alur. Diumpat saat ia dianggap mengakhiri sebuah akhir sedih. Dihina saat dianggap hanya mampu mengadili tapi tak mampu member solusi. Tapi kadang ia dipuja, karena mambuat sempurna sebuah akhir bahagia. Sederhana, dalam dan memberi makna, hingga pada akhirnya, seperti yang telah dijanjikan diawal, tulisan kecil ini pun harus diakhiri dengan titik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun