Mohon tunggu...
Avrila Zalzabila
Avrila Zalzabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Padjadjaran

Mahasiswa program studi Ilmu Politik di Universitas Padjadjaran angkatan 2021.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Intervensi Local Strongmen terhadap Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) dari Persepektif DPRD Provinsi Jawa Barat

31 Desember 2023   02:06 Diperbarui: 31 Desember 2023   05:59 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perubahan yang terjadi di Indonesia setelah era Rezim Soeharto atau Orde Baru menggambarkan transisi paradigma penting dari sistem sentralisasi menuju desentralisasi. Ini sejalan dengan semangat reformasi yang bertujuan untuk mewujudkan demokratisasi yang lebih inklusif. Saat Orde Baru berkuasa, pemerintahan didasarkan pada ide sentralisasi yang kuat, di mana pembangunan nasional menjadi fokus utama. Kebijakan-kebijakan seperti GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) dan Repelita menjadi pedoman utama dalam mengatur pemerintahan, dengan pemerintah memainkan peran sentral dalam proses pembangunan. Namun, meskipun berhasil meningkatkan ekonomi nasional, sistem ini juga menimbulkan dampak yang kompleks. Meski memberikan manfaat ekonomi yang signifikan, pendekatan sentralistik ini membatasi partisipasi politik rakyat. Dalam sistem ini, masyarakat dianggap sebagai objek pembangunan sedangkan pemerintah daerah hanya memiliki peran terbatas dalam perencanaan.

Ketergantungan daerah pada pemerintah pusat menciptakan kendala bagi otonomi daerah dan pembangunan yang inklusif. Namun, setelah jatuhnya rezim Soeharto, pemerintahan B.J. Habibie berusaha mengubah paradigma sentralisasi tersebut menjadi desentralisasi melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Hal ini memberikan kesempatan bagi daerah untuk memiliki otonomi dalam mengelola wilayahnya, dengan melibatkan penduduk lokal dalam proses pengambilan keputusan. Namun, selain memberikan keuntungan dalam bentuk otonomi yang lebih besar, upaya untuk memperluas wilayah juga memunculkan dinamika politik lokal yang kompleks. Pemekaran wilayah menjadi subjek perdebatan antara pendukung dan penentang, menciptakan ketegangan politik di tingkat lokal. Dalam konteks ini, lembaga DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) muncul sebagai perantara untuk memperbaiki hubungan antara pemerintah pusat dan daerah serta mengurangi kesenjangan antara keduanya. Dasar hukum yang mengatur pemekaran wilayah terdapat dalam Undang-Undang 1945 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 

Dalam membicarakan politik lokal, dasarnya kita membicarakan mengenai hubungan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah, dapat diartikan juga sebagai interaksi aktor-aktor politik dalam suatu wilayah yang kemudian menciptakan dinamika politik di dalamnya. Hal ini juga dimaknai sebagai representasi dari politik pusat dengan mengidentifikasi dua bentuk peran pemerintahan pusat dalam politik lokal yaitu: peran pertama, pemerintah pusat membuat keputusan pembangunan secara langsung melalui kemeneterian di tingkat pusat dan mengawal proyek tersebut untuk kepentingan masyarakat daerah. Lalu, peran kedua, pemerintah pusat mengembangkan bentuk pengaturan sebagai pemegang kekuasaan negara terhadap masalah-masalah yang berkembang di aras lokal. Setelah ada konflik kepentingan antara pusat dan daerah, dinamika politik lokal diwarnai oleh demokrasi langsung dan elit. Politik desentralisasi, juga dikenal sebagai politik lokal, adalah salah satu dasar dari politik sentralisasi yang diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru, yang memiliki karakteristik otoritarianisme. Saat Orde Baru runtuh, Undang-Undang (UU) Pemerintahan Daerah No. 22 Tahun 1999 dibuat untuk memenuhi tuntutan reformasi dan membangun Indonesia baru yang lebih demokratis, adil, dan sejahtera. Hal ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah telah berubah dari model sentralisasi ke model desentralisasi, dengan fokus pada penggunaan kekuasaan pemerintah pusat terhadap daerah untuk meningkatkan pelayanan masyarakat dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi dalam UU No. 22 Tahun 1999 Pasal 144 ayat 1 ini. Contohnya adalah, pertama, demokrasi dan demokratisasi dapat diperlihatkan dalam hal mengenai rekrutmen pejabat Pemda dan yang membawahi soal proses legislasi di daerah. Kedua, dengan mendekatkan pemerintah ke rakyat, titik berat otonomi daerah diberikan pada Daerah Kabupaten dan Kota, bukan kepada Daerah Provinsi. Ketiga, dengan sistem otonomi yang luas dan nyata, Pemda memiliki kewenangan untuk melakukan apa saja yang membawahi penyelenggaraan pemerintah (kecuali lima (5) hal yang berkaitan dengan kebijaksanaan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan negara, moneter, sistem peradilan, dan agama). Keempat, daerah-daerah pada tingkat yang lebih rendah melaksanakan hal-hal yang bersifat residual atau yang tidak diselenggarakan oleh Pemda yang lebih tinggi tingkatannya, hal ini membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya otonomi yang bertingkat. Kelima, pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah harus dibiayai dari APBN atau Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara. Terakhir, keenam, adanya penguatan rakyat melalui DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dilaksanakan melalui proses rekrutmen politik lokal atau dengan pembuatan kebijakan publik di daerah. 

Secara signifikan, desentralisasi berperan dalam menciptakan good governance dan demokratisasi dengan menjamin partisipasi publik yang lebih besar dalam pembangunan. Biasanya, desentralisasi dinilai dapat memberikan kesempatan yang lebih baik untuk partisipasi komunitas-komunitas lokal dalam pembuatan kebijakan. Namun, dalam situasi ini tentunya kita tidak dapat menutup mata bahwa terciptanya keberadaan elit lokal yang memiliki akses terhadap kekuasaan untuk mengatur dan mengontrol kebijakan pemerintahan demi tercapainya tujuan kepentingan atau komunitas-komunitas tertentu. Desentralisasi dianggap akan memberikan penekanan yang lebih besar pada berbagai kebutuhan lokal dalam proses pembangunan, karena ini mendorong pihak yang berkuasa untuk bertanggung jawab secara lebih langsung kepada komunitas-komunitas setempat. Lebih jauh lagi, desentralisasi memiliki potensi untuk meningkatkan stabilitas politik dan kesatuan nasional. Kontrol lokal terhadap prioritas pembangunan dan alokasi sumber daya merupakan salah satu fokus utama dari program desentralisasi di Indonesia. Desentralisasi dan demokrasi saling mendukung dalam konteks politik lokal. Dalam politik lokal, paradigma demokrasi dan desentralisasi berjalan untuk menciptakan perubahan penting yang memberi dampak positif untuk masyarakat lokal. Namun di beberapa kasus, elit politik malah memberikan dampak negatif, dengan menciptakan kondisi dimana menjamurnya kekuatan-kekuatan elit politik lokal sebagai orang kuat lokal yang menggunakan desentralisasi sebagai arena untuk menyalahi koridor demokrasi. Elit lokal mewakili kelompok spesifik dalam masyarakat dengan memanfaatkan peluang yang dihasilkan oleh desentralisasi, atau bahkan menciptakannya, untuk secara aktif mengendalikan penggunaan kekuasaan yang signifikan dan memobilisasi pendukung untuk tujuan tersebut. Dalam memahami tulisan ini, ada dua hal penting mengenai tipologi elit dalam politik lokal, yaitu: Elit politik lokal adalah individu yang menempati posisi politik dalam pemerintahan eksekutif dan legislatif, dipilih melalui proses demokratis dalam pemilihan umum di tingkat lokal. Mereka menjabat di posisi politik penting di tingkat lokal, yang bertanggung jawab untuk membuat dan melaksanakan kebijakan politik. Mereka adalah Gubernur, Bupati, Walikota, Ketua DPRD dan anggota DPRD dan pimpinan-pimpinan partai politik. Lalu, adapun elit non-politik lokal adalah individu yang menduduki jabatan-jabatan strategis dan mempunyai pengaruhi untuk memerintah orang lain dalam lingkup masyarakat. Elit non-politik ini seperti: elit keagamaan (kiai), elit organisasi kemasyarakatan (NU/MUI/dll), kepemudaan, profesi dan lain sebagainya. 

Menarik kembali dalam konteks pemekaran wilayah, menjadi sentral untuk mengetahui peran yang dipegang dalam hal ini. Pemekaran wilayah diwujudkan sebagai respons terhadap kebijakan sentralistik dari rezim Orde Baru yang mengabaikan kepentingan daerah. Tujuan dari pemekaran wilayah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat setempat. Sebagai contoh, Provinsi Jawa Barat saat ini tengah mengalami proses pemekaran di beberapa wilayahnya, seperti Garut Selatan, Bogor Barat, dan Sukabumi Utara. Hal ini dilakukan untuk mengatasi ketimpangan dalam pelayanan publik yang disebabkan oleh pertumbuhan populasi yang padat dan kurangnya infrastruktur administratif di daerah tersebut. Pemekaran wilayah di Jawa Barat menjadi contoh konkrit dari usaha untuk meningkatkan efisiensi administrasi dan memberikan pelayanan publik yang lebih merata. Langkah ini diharapkan dapat mengoptimalkan kapasitas pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat. Ini tidak hanya dilakukan berdasarkan keinginan semata, melainkan didukung oleh faktor-faktor kuat seperti ketidakseimbangan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Salah satu contohnya adalah pelayanan publik yang belum merata dan tidak menyentuh seluruh lapisan masyarakat di Jawa Barat. Hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan antara jumlah penduduk yang harus dilayani dan jumlah instansi pemerintah yang tersedia. Akibatnya, masyarakat di daerah terpencil tidak mendapatkan pelayanan publik yang optimal dan efisien. Jawa Barat, dengan populasi sekitar 48 juta jiwa dan hanya 27 kabupaten/kota, lebih padat dibandingkan dengan Jawa Timur dan Jawa Tengah yang memiliki jumlah kabupaten/kota yang sebanding dengan jumlah penduduknya. Meskipun demikian, dalam alokasi bantuan dana dari pemerintah pusat, Jawa Barat mendapatkan bantuan yang lebih sedikit daripada Jawa Timur dan Jawa Tengah. Faktor-faktor ini menjadi pertimbangan penting dalam upaya menciptakan keseimbangan antara kapasitas dan kemampuan pemerintah daerah untuk melayani masyarakat di tingkat kabupaten/kota. Sebagai contoh, Kabupaten Garut memiliki rencana untuk membentuk Kabupaten Garut Selatan sebagai contoh nyata pembentukan daerah otonom baru. Luas wilayah Garut, sekitar 306.519 km2, dihuni oleh 2,6 juta orang yang tersebar di 42 kecamatan, 21 kelurahan, dan 421 desa. Pemerintah daerah Kabupaten Garut tidak mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada warganya karena wilayahnya yang luas dan jumlah penduduk yang besar, terutama di wilayah selatan. Warga Garut Selatan juga menghadapi kendala dalam jarak tempuh yang jauh ke pusat kota dan akses yang terbatas terhadap sarana umum karena luasnya wilayah tersebut. 

Dari sisi DPRD Provinsi Jawa Barat, proses pemekaran wilayah atau pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) yang sekarang berganti menjadi CDPOB (Calon Daerah Persiapan Otonom Baru) melewati beberapa tahapan. Berdasarkan hasil wawancara yang didapatkan dari salah satu staff di Komisi I DPRD Provinsi Jawa Barat, Ibu Yunie Anila Sari, berikut skema proses pengusulan atau pemekaran tingkat daerah yang bisa sedikit menjelaskan peran DPRD serta elit lokal atau Local Strongmen dalam pembentukan CDPOB atau Calon Daerah Persiapan Otonom Baru. Proses dimulai dari daerah yang mengajukan usulan, didukung oleh penjaringan aspirasi, pembentukan tim teknis, pengajuan kelayakan, upaya lobbying, dan dialog politik di daerah persiapan. Usulan tersebut berbentuk proposal yang telah melibatkan pertimbangan-pertimbangan serta kajian ilmiah, sehingga ketika proposal rencana pemekaran wilayah tersebut diajukan ke DPRD kabupaten/kota dan selanjutnya ke tingkat provinsi, dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku. DPRD Jawa Barat memiliki peran penting di tingkat Provinsi untuk menyetujui usulan daerah. Prosesnya meliputi serangkaian agenda seperti rapat kerja, kunjungan, konsultasi, dan Rapat Dengar Pendapat yang melibatkan Komisi I Bidang Pemerintahan DPRD Jawa Barat serta Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Provinsi Jawa Barat. Setelah mendapat persetujuan dari Gubernur, proposal tersebut kemudian disampaikan kepada Pemerintah Pusat lalu diserahkan kepada Kemendagri untuk dikeluarkan surat keputusan mengenai status sebagai CDPOB atau tidak. Proses setelah ini mengalami perubahan dari skema pengajuan Daerah Otonom Baru yang sebelumnya. Menurut skema lama, setelah surat keputusan dari Kemendagri dikeluarkan, daerah yang disetujui langsung menjadi bagian dari Daerah Otonom Baru. Namun, dalam skema baru, setelah surat keputusan dikeluarkan, daerah pengusul akan dianggap sebagai CDPOB dan harus melewati uji coba selama tiga tahun. Dalam masa uji coba ini, evaluasi dilakukan untuk memastikan kemampuan daerah tersebut untuk beroperasi secara mandiri, termasuk penilaian terhadap aspek keuangannya seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selama masa percobaan tersebut, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, termasuk daerah induk dan provinsi, memberikan dukungan finansial. Jika daerah tersebut berhasil melewati uji coba, maka akan diakui sebagai Daerah Otonom Baru. Lalu dimana Local Strongmen ini berperan? Mengikuti skema pembentukan DOB sebelum berubah menjadi CDPOB yang lama, organisasi masyarakat menjadi Local Strongmen dalam konteks ini. Mereka disebut sebagai presidium yang mempunyai peranan untuk menyiapkan segala persyaratan yang harus dipenuhi juga melakukan lobby-lobby politik di era sebelum CDPOB. Contohnya, seperti Papua yang menjadi DOB karena mendapatkan dorongan dari presidiumnya. Sebenarnya, secara aturan sekarang Presidium tidak memiliki peran karena sekarang diurus pemerintah ke pemerintah, dan pada akhirnya pun prosesnya peran pembinaan dari provinsi ke daerah, jadi untuk peran Presidium sekarang adalah sebagai penggerak masyarakat untuk melaksanakan CDPOB dan tidak memiliki peran yang tertulis secara konkret atau legitimate.  Tetapi di setiap pembahasan selalu melibatkan presidium, karena sejarahnya, Presidium ini yang memperjuangan untuk pembentukan DOB selama berpuluh-puluh tahun. Pada akhirnya pun, di beberapa daerah, para Presidium ini mempunyai kedudukan di setiap daerah. 

REFERENSI

Afandi, M. N. (2013). Peluang Dan Tantangan pembangunan Daerah Otonom Baru Di Indonesia (Studi Kasus Kabupaten Pangandaran Provinsi Jawa Barat). Jurnal Ilmu Administrasi: Media Pengembangan Ilmu dan Praktek Administrasi, 10(2), 275-296.

Firdaus, Enang. (2013). Pembentukan Daerah Otonomi Baru Kabupaten Pangandaran Provinsi Jawa Barat. (Skripsi Sarjana, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Haboddin, M., & Afala, L. O. M. Formation of Local Elite Power Base in Local Politics:“The Emerging” and “The Surviving”. Jurnal Politik, 8(2), 3.

Ridho, M. Z. (2023). LOCAL STRONGMAN DI BANGKALAN: KUASA POLITIK “BLATER” DALAM DEMOKRASI LOKAL 2008-2018. Kajian, 25(2), 123-144.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun