Mohon tunggu...
Avrila Zalzabila
Avrila Zalzabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Padjadjaran

Mahasiswa program studi Ilmu Politik di Universitas Padjadjaran angkatan 2021.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Analisis Dinamika Antara Wakil dan Terwakil: Relasi DPR Dengan Konstituen Dalam Pelaksanaan Demokrasi Prosedural

26 Desember 2022   05:39 Diperbarui: 26 Desember 2022   05:45 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Konsep demokrasi berasal dari dasar pemikiran Abraham Lincoln yang menyatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Representasi proses demokrasi menjadi hal yang sangat penting dalam konteks sistem perwakilan politik yang ada di Indonesia. Berangkat dari keruntuhan rezim Soeharto yang menjadi penanda runtuhnya juga kekuasaan Orde Baru, mengubah persepsi hubungan antara wakil dan konstituen secara dramatis. Pada masa Orde Baru, lembaga perwakilan mengalami kemunduran, hal ini terjadi karena lembaga perwakilan didominasi oleh kekuatan politik yang sangat pro pemerintah sehingga tidak memiliki daya kritis terhadap pemerintah atau lembaga eksekutif. Lalu setelah itu adanya reformasi di tahun 1998, sistem pemerintahan bergerak ke arah yang aspiratif dan kehidupan politik menjadi lebih terbuka, lembaga perwakilan mengalami perubahan yang drastis kearah yang lebih baik, baik secara kelembagaan ataupun secara fungsi, tugas, dan kewenangan yang dimilikinya.

Di dalam sistem demokrasi perwakilan, perwakilan yang dipilih oleh rakyat dalam pemilihan umum mempunyai ikatan yang kuat dalam tata kelola pemerintahan. Sistem perwakilan menjadi suatu hal penting yang tidak terpisahkan dari politik Indonesia. Mengapa begitu? Adanya gagasan mengenai demokrasi langsung atau direct democracy, ‘memaksa’ para masyarakat untuk terlibat langsung dalam pembuatan keputusan dan kebijakan yang kemudian menemui beberapa kendala di perjalanan implementasinya. Wilayah Indonesia yang luas dan tentunya diisi dengan jumlah penduduk yang semakin banyak setiap harinya dan sangat beragam dari setiap wilayahnya mengharuskan masyarakat dari berbagai golongan tersebut untuk menyalurkan pendapat, aspirasi, dan keinginannya melalui sebuah lembaga atau badan yang berisikan orang-orang yang mereka pilih dan melalui lembaga perwakilannya tersebut juga masyarakat dapat berpartisipasi dalam penentuan masalah-masalah kenegaraan. Dalam konsep ini, demokrasi langsung tadi berkembang menjadi demokrasi perwakilan atau indirect democracy yang dimana masyarakat terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang mewakili atau yang disebut sebagai wakil dan kelompok yang diwakili atau yang disebut sebagai terwakil. Kelompok wakil tersebut memiliki tanggung jawab atau kewajiban untuk berbicara dan mengambil tindakan atas nama terwakil.

Di dalam demokrasi perwakilan, merupakan hak-hak rakyat untuk dapat menentukan haluan negara yang dilakukan oleh sebagian kecil dari seluruh rakyat yang menempati lembaga legislatif yang disebut parlemen, yang dipilih melalui proses pemilihan umum atau pemilu. Pemilu menjadi pranata terpenting dalam negara demokrasi. Pranata ini yang berfungsi untuk memenuhi tiga prinsip pokok demokrasi, yaitu kedaulatan rakyat, keabsahan pemerintahan, dan pergantian pemerintahan secara teratur. Pemilu sebagai bentuk terlaksananya demokrasi,yang memungkinkan untuk terselenggarakannya mekanisme pemerintahan yang tertib, teratur, berkesinambungan. Jika mekanisme dalam pemilihan wakil rakyat pada lembaga legislatif berjalan sebagaimana mestinya, makan akan mewujudkan prinsip keabsahan pemerintah. Keabsahan pemerintah berarti mengharuskan untuk dilaksanakannya pemilihan umum atau pemilu, dengan begitu terjadinya pergantian pemerintah secara teratur. Robert Dahl membuat rumusan dengan melihat tinggi rendahnya partisipasi warga negara dalam pelaksanaan keputusan politik untuk melihat bagaimana hubungan demokrasi dengan pemilhan umum. Dengan itu, para ilmuwan politik membagi tingkatan status demokrasi menjadi empat. Ada demokrasi procedural demokrasi agregatif,demokrasi deliveratif, dan demokrasi partisipatoris. Demokrasi prosedural merupakan persaingan partai politik yang berusaha meyakinkan rakyat atau konstituen untuk memilih mereka sehingga mereka dapat menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan, khususnya yang dikaji adalah dalam pemerintahan lembaga legislatif atau lembaga perwakilan.

Lembaga perwakilan sendiri memiliki beberapa istilah, yaitu seperti legislature, assembly, dan parliament. Lembaga legislatif atau legislature mencerminkan salah satu fungsi utama dari lembaga perwakilan tersebut yaitu yang merujuk pada pembuatan undang-undang (legislasi). Lalu istilah parliament yang berasal dari kata parler (bicara), yang kemudian berkembang menjadi parlemen yang dianggap sebagai tempat bicara untuk merundingkan masalah-masalah kenegaraan. Hadirnya perwakilan politik sangat diperlukan agar segala aspirasi, keinginan, dan kemauan masyarakat dapat terakomodasi dalam bentuk kebijakan publik. Diiringi dengan perubahan politik yang terus terjadi, badan legislatif dituntut untuk terus memperhatikan aspek hubungannya dengan konstituen, terlebih lagi memperhatikan apakah wakil rakyat yang telah dipilih mampu bekerja demi kepentingan rakyat atau tidak. Partisipasi konstituen dalam menilai dan memutuskan atas persaingan dari partai politik untuk duduk di kursi pemerintahan legislatif menjadi unsur yang sangat penting dalam demokrasi. Demokrasi negara terbatas pada partisipasi warga negara yang berhak untuk memilih dan menentukan wakil rakyat melalui pemilihan umum.

Bagaimana suatu negara dapat menjalankan prinsip-prinsip demokrasi secara universal sangat mempengaruhi keberhasilan sistem demokrasi di negara tersebut. Hal yang dimaksud adalah setiap wakil rakyat sebagai representasi dari indirect democracy harus bisa menjadi garda terdepan dalam perumusan sebuah kebijakan publik, pemerintahan yang tetap melibatkan dan melindungi kedudukan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi menjadi tolak ukur pemerintahan yang demokratis. Pola hubungan antara wakil dan konstituen didasari dari kemunculan konsepsi tentang representasi yang demokratis. Wakil rakyat berperan sebagai agent rakyat yang diharapkan untuk dapat mendengar, mengartikulasikan, dan mengagregasikan kepentingan konstituen yang diwakilinya. Lalu konstituen yang berperan sebagai principal dapat melakukan pengawasan terhadap kinerja dari wakil. Konstituen memberikan mandate kepada wakil untuk agregasi dan artikulasi kepentingan, lalu wakil membutuhkan konstituen untuk memenuhi jumlah suara yang harus diraih untuk dapat menduduki kursi di lembaga legislatif, dari ini bisa dilihat adanya hubungan timbal balik yang masing-masing memiliki kepentingan satu sama lain dan saling bergantung satu sama lain.

Perwakilan berarti adanya para wakil yang bertindak sebagaimana kepentingan dari orang-orang yang diwakilinya. Perwakilan dalam politik harus tergambarkan dalam hubungan perwakilan yang disusun dalam suatu lembaga atau badan perwakilan, di wakil bertindak sebagai wakil bagi rakyat yang diwakilinya. Hubungan ini menunjukan keterikatan antara wakil dan terwakil. Adanya lembaga perwakilan menjadi sebuah wujud dari realisasi demokrasi di Indonesia, yang dimana negara demokrasi harus menempatkan rakyat sebagai bagian terpenting sebagai bentuk kedaulatan rakyat yang sebenarnya. Bentuk dan dinamika ini yang nantinya akan menentukan perjalanan transisi demokrasi atau proses demokratisasi. Hubungan wakil yang erat dengan konstituennya menempatkan posisi konstituen secara signifikan, aspirasi konstituen menjadi hal yang harus diperjuangkan oleh wakil. Ketersediaan mekanisme atau sistem bagi konstituen untuk membentuk dan menjalin komunikasi dengan wakilnya akan mengurangi kemungkinan untuk terjadinya oligarki perwakilan atau distorsi aspirasi seperti yang sering terjadi di dalam lingkungan mekanisme sistem demokrasi perwakilan.

Kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan konstituen berdasar pada prinsip pelayanan publik. Konstituen adalah warga negara yang diwakilkan oleh perwakilan yang terpilih dalam pemilu, fungsi dan tugas dari perwakilan adalah melayani konstituen dengan mewakili kepentingan dari konstituen lewat lembaga legislatif dan menyediakan hubungan dengan pemerintah eksekutif. Hubungan antara wakil dan konstituen menjadi aspek penting dalam tugas dan fungsi dari wakil itu sendiri. Hubungan perwakilan dengan konstituen melibatkan adanya komunikasi dengan konstituen yang kemudian perwakilan dapat mempelajari apa yang menjadi masalah mereka dan berusaha untuk membantu konstituen dalam menyelesaikan masalah tersebut. Hal ini yang dimaksud sebagai hubungan politik antara perwakilan dan konstituennya. Secara dilematis, dinamika dalam kedudukan perwakilan politik tidak dapat berpisah dari pro-kontranya. Clifford Geertz berpendapat bahwa konsepsi demokrasi dan integrasi merupakan hal yang saling bertentangan, tetapi di waktu yang sama, kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari satu sama lain.

Kedudukan wakil dan konstituen yang selaras dan saling berkesinambungan menjadi wujud dari keberhasilan demokrasi. Apabila wakil dari konstituen dapat selalu untuk menjaga kepercayaan rakyat sebagai konstituen, otomatis legitimasi dari rakyat dalam posisi terwakil meningkat. Didukung dari teori mandate yaitu wakil memegang kekuasaan dalam pemerintahan berdasarkan mandat yang diberikan oleh kelompok yang diwakili yaitu rakyat sebagai konstituen. Konstituen berperan sebagai pemegang mandat dan perwakilan yang terpilih berperan sebagai agen yang menjalankan mandat.

Teori mandat sendiri dibagi menjadi tiga bentuk yaitu, teori mandate imperative, teori mandate bebas, dan teori mandate perwakilan. Teori mandat imperatif adalah kondisi dimana seorang wakil yang ada dibawah lembaga perwakilan harus mengambil tindak yang sesuai dengan intruksi atau perintah yang diberikan oleh yang diwakilinya. Jika ada hal-hal atau masalah baru yang tidak terdapat di dalam perintah atau instruksi tersebut, maka wakil harus mendapatkan instruksi atau perintah baru dari konstituen. Teori mendukung bahwa adanya perbedaan pandangan antara wakil dan konstituen dapat mengakibatkan terjadinya turunnya reputasi dan legitimasi wakil, namun jika wakil sangat terikat, adanya kemungkinan wakil akan mengalami kelambatan dalam gerak politiknya. Lalu ada teori mandate bebas yang artinya wakil dapat bekerja atau mengambil tindakan tanpa bergantung dari perintah atau instruksi dari kelompok yang diwakilinya, hal ini bisa dilakukan karena wakil sebagai orang-orang terpilih yang dipercayakan oleh konstituen, memiliki kesadaran hukum sehingga sang wakil dipercaya dan dimungkinkan dapat bertindak atas nama konstituen. Teori ini beranggapan, wakil telah mendapatkan kepercayaan penuh dari konstituen. Meskipun wakil dapat bertindak dan mengambil keputusan dengan bebas tanpa harus mengikuti perintah dari konstituennya, tentunya tindakan dan pengambilan keputusan ini tetap harus didasari dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat sebagai pihak terwakil. Yang terakhir, teori mandate representative. Di teori ini dijelaskan bahwa wakil yang tergabung dalam lembaga perwakilan, yang artinya konstituen memilih wakilnya dan memberikan mandate kepada lembaga perwakilan, sehingga secara individu, wakil tidak ada hubungannya dengan konstituen dan konstituen tidak dapat meminta pertanggung jawaban khusus terhadap individu tersebut tetapi dapat meminta pertanggung jawaban kepada lembaga perwakilannya. Dalam praktisnya, hubungan antara wakil dan konstituen yang berlaku di Indonesia, cenderung menggunakan gabungan antara teori mandate imperative dan teori mandatebebas yang dimana wakil dapat bertindak dengan atau tanpa perintah dari konstituen.

Dewan Perwakilan Rakyat adalah adalah satu lembaga perwakilan yang mewakili seluruh lapisan masyarakat dalam pemerintahan di Indonesia. Anggota DPR adalah wakil rakyat yang mengembann Amanah konstituen. Anggota DPR tentunya sudah selayaknya untuk membentuk dan menjalin hubungan konstituen secara intensif, berkesinambungan, dan sistemik. DPR yang secara aktif melibatkan konstituen dalam pelaksanaan tugasnya membentuk hubungan yang erat antara wakil dan terwakil. Dengan terlibat langsung, DPR dapat menunjukan secara langsung kemampuan pemerintah untuk menangani dan memecahkan permasalah dan dan persoalan yang ada di masyarakat dan memberikan manfaat yang dapat langsung terlihat oleh konstituen yang mereka wakili. Lalu dengan mendengar dan menyampaikan masalah dan persoalan yang ada di masyarakat kepada partai politik dan lembaga eksekutif, DPR dapat terlatih untuk membentuk dan mengubah kebijakan-kebijakan yang berpengaruh kepada masyarakat secara nyata. Anggota DPR menjalankan fungsinya sebagaimana yang sudah tercantum dan diatur dalam Undang-undang No. 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Dalam pasal 71 disebutkan bahwa DPR mempunyai tugas dan wewenang untuk menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.

Dalam menjalankan fungsi dan peran dan tugasnya di realitanya sebagai wakil rakyat lembaga perwakilan tersebut dinilai belum bisa memberikan sumbang asih yang besar terhadap kepentingan masyarakat. Bukti jelasnya adalah seringnya kebijakan-kebijakan yang dibentuk dan dijalankan oleh para pemangku kebijakan tersebut, tidak berpihak dan tidak sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masyarakat sebagai konstituen dan lebih mengarah kepada kepentingan elit pusat. Isu akuntabilitas para anggota dewan menjadi isu yang perlu disorot, hal ini tidak hanya menyangkut para wakil itu sendiri tetapi menyangkut dengan konstituen juga. Pada realitanya, rakyat sebagai konstituen seringnya tidak memiliki informasi yang cukup mengenai kinerja dari para wakilnya, konstituen tidak “dipaksa” untuk mengenali dan mempelajari jejak rekam kandidat karena adanya kecenderungan yang dimiliki elit partai politik untuk mempertahankan oligarki partai politik yang mendorong konstituen untuk memilih simbol partai politik, padahal hal ini merupakan hal yang penting untuk konstituen sebagai pemilih dapat berpikir secara rasional untuk menentukan pilihan wakilnya. Seringnya banyak dari anggota dewan yang merupakan ‘titipan’ elit dan para calon kandidat perwakilan lebih memilih untuk melakukan pendekatan kepada elit partai politik ketimbang calon pemilih, mungkin dengan harapan dan dugaan dapat memudahkan dirinya untuk mendapatkan kursi di lembaga legislatif. Hal yang juga menjadi masalah dalam hubungan antara wakil dan konstituennya adalah jarak yang dijalin keduanya menjadi renggang atau tidak terlalu kontras yang bisa dilihat melalui hubungan wakil dan yang diwakilinya. Konstituen seringnya merasa wakil tidak menghiraukan aspirasi dan kepentingan, lalu wakilnya tidak melakukan pendekatan secara efektif. Wakil dan konstituen tidak memiliki hubungan yang sistemik, setelah pemilu dan wakil sudah terpilih, hubungan antara keduanya menjadi terputus. Lalu akhirnya demokrasi hanya dimaknai menjadi hanya sebagai memilih wakil rakyat yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan kebijakan publik yang dibuatnya. Adapun indikasi bahwa anggota badan perwakilan belum berpihak kepada konstituen, dengan adanya ketidakberpihakan para perwakilan terhadap konstituen menjadi bukti jelas keterputusan mandat dari rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun