Beberapa waktu lalu Presiden Jokowi di sebuah acara yang diselenggarakan di istana negara menyampaikan pidato yang (menurut saya) sangat menarik. Ya, menarik sekali karena di dalam pidato tersebut beliau menyampaikan beberapa hal yang sangat relevan dengan karakter bangsa ini dan juga situasi dan kondisi negara ini. (Lihat videonya disini)
Diantara poin-poin pidato beliau (yang saya ambil) tersebut adalah:
1. Presiden Jokowi menjelaskan hal seperti ini terjadi karena bangsa ini terlalu berkutat (secara konsisten) dengan hal-hal yang lingkupnya hanya “rutinitas” kita sendiri, tanpa ada hasrat untuk “mengembangkan diri”.
Kurangnya karakter kritis (juga rasa apresiatif) dan “up to date” bangsa ini terhadap hal-hal yang terjadi pada lingkup global, khususnya dalam bidang pengembangan dan implementasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
Saya sependapat dengan Presiden Jokowi. Sebagai seseorang yang berasal dari suku Jawa dan kalangan santri, dari kecil saya diajarkan untuk istiqomah(konsisten) dalam segala hal terkhusus dalam belajar maupun bekerja. Dengan meminjam adagium Bahasa Arab al-istiqomah khoiru min alfi karomah (kekonsistenan lebih baik dari seribu “kebaikan”) secara tidak langsung diajarkan karakter untuk berlaku konsisten.
Akan tetapi dalam benak saya sendiri “agak” merasa kurang sreg(cocok) dengan laku konsistenyang biasa dipraktikkan oleh sebagian masyarakat, khususnya dari sebagian kalangan Jawa. Saya beri contoh, sebut saja Mbah Suto (bukan nama sebenarnya), salah satu tetangga saya, entah sudah berapa tahun usia beliau (saya pernah menanyakan usia beliau tapi saya lupa hitungannya), beliau bermata pencaharian sebagai penjual nasi pecel di depan rumahnya sebagai menu sarapan di pagi hari, dari masa saya belum lahir hingga usia saya hampir menikah (hingga saat ini) beliau masih berjualan nasi pecel dan tentunya masih di depan rumah. Di samping itu juga Mbah Suto tak begitu peduli dengan apa yang terjadi di masyarakat baik secara lokal, nasional maupun global.
Konsisten? Ya, sangat konsisten sekali. Suatu hal yang patut dipuji dan diteladani jika dilihat dari sudut pandang etos kerja beliau, tetapi tidak dalam hal kekonsistenan beliau dalam pekerjaannya (tanpa ada perkembangan apapun semisal membangun warung makan atau menambah menu untuk menaikkan omset penghasilan).
Terlepas dari karakter “acuh tak acuh” Mbah Suto dalam menyikapi hal yang terjadi di sekitarnya maupun usia dan kepercayaan beliau terhadap ajaran “harta maupun kekayaan dunia tidak akan dibawa ketika mati”.
Hal di atas adalah salah satu contoh yang dapat saya paparkan tentang laku konsistenyang seringkali dipraktikkan oleh sebagian masyarakat.
2. Karakter bangsa ini yang terlalu “seperti anak kecil” atau kekanak-kanakan, mudah terprovokasi, mudah ditipu dengan ajaran palsu, terlalu serta selalu mementingkan keuntungan bagi “golongan”nya sendiri, mudah percaya dengan pemberitaan HOAX yang seringkali muncul di media-media internet serta mudah terpancing untuk melakukan sesuatu yang bersifat merugikan baik bagi masyarakat umum maupun bagi diri mereka sendiri.
Presiden Jokowi menjelaskan bahwa karakter bangsa seperti yang sebutkan di atas dapat menjadi penghambat dalam pembangunan nasional. Bukannya menjadi bangsa yang berkembang dari sudut pandang global kita malah menjadi bangsa yang masih berkutat dengan hal-hal yang bersifat “kepentingan golongan”. Bukannya bekerjasama untuk maju, bangsa ini malah bekerjasama (dengan golongan-golongan yang memiliki tujuan dan kepentingan sama) untuk “saling menjatuhkan” yang lain (yang tidak sesuai atau tidak sependapat).