Perang antara suku Dani dengan suku pendatang
Saat menuliskan ini, saya masih berada di Timika dimana sejak Rabu (14/8) situasi Timika lebih mirip kota mati dibandingkan biasanya. Beberapa bulan yang lalu saya mulai terbiasa melihat dan berada di situasi perang antar suku asli Papua namun perang suku kali ini terasa berbeda. Pasalnya kali ini sudah perang yang melibatkan suku pendatang dan suku asli Papua. Hasilnya, beberapa hari kegiatan dihentikan.
Saya tidak akan membahas mengapa perang muncul karena dari pihak yang berwajib telah menangani kasus tersebut. Namun suasana mencekam dimulai ketika Rabu kemarin ditemukan korban meninggal yang diduga kepala suku Dani, satu dari tujuh suku asli Papua yang ada di Timika. Kabar cepat sekali berhembus sehingga tidak menunggu ganti hari sudah ditemukan lagi mayat dari suku Bugis. Lalu menyusul beberapa suku berikutnya turut menjadi korban. Hingga situasi mencekam semakin menjadi ketika suku pendatang mulai berkumpul, Kei-Madura-Jawa-Timor-Bugis dan masih banyak lainnya. Hingga terakhir delapan orang meninggal lantaran perang ini, itu yang sudah ditemukan dan mungkin masih banyak yang masih di hutan-hutan.
Tiap malam semua berjaga-jaga membawa parang, golok, samurai sementara kubu Papua membawa panah. Aneh memang, peperangan sudah tidak mengenal lawan dan kawan lagi. Beberapan korban jika dilihat tidak berhubungan dengan asal muasal perang namun karena mereka beda suku dan berada pada situasi dan tempat yang salah maka mereka meninggal dengan mengenaskan dan menyisakan dendam. Beberapa tetangga yang suku Papua asli mengungsi di rumah Jawa yang masih berkekerabatan begitu pula sebaliknya. Entah dari suku mana pun...ketika perang, semuanya jadi khawatir. Selama Rabu malam, tidak ada yang dapat memejamkan mata dengan nyenyak. Beberapa suku pendatang memilih mengungsi di Lapangan Udara yang telah dijaga oleh aparat keamanan.
Tidak terhitung berapa letusan senjata apa dikeluarkan untuk mendamaikan dua kubu yang bersengketa. Bahkan jika bala pasukan tentara bantuan terlambat datang lima menit saja di lokasi pertikaian maka bisa dipastikan malam lalu menjadi malam berdarah bagi Timika. Pasalnya jumlah suku pendatang yang berkumpul lebih banyak dan dalam keadaan penuh emosi.
Saya sendiri hanya menyaksikan dan memantau semua dari rumah dinas dokter dimana dalam tiga hari muncul peringatan untuk tidak beraktivitas ke kota. Melihat dan mendengar suara orang berlarian, suara senjata bahkan tangisan anak-anak yang ketakutan.
Bersyukur dalam dua hari kedua pihak memutuskan untuk berunding dan menandatangi perjanjian perdamaian pada Jumat siang. Walau belum banyak pertokoan dan aktivitas di jalanan namun Jumat dan Sabtu kota Timika tidak semencekam Rabu kemarin.
PERANG DAN TANGIS
Pikiran saya ketika berada di dalam suasama mencekam ternyata melayang jauh hingga ke Gaza. Lalu saya teringat akan perang suku pula yang pernah saya alami ketika di Sumba dulu. Apapun penyebabnya, perang akan terus menimbulkan luka dan menoreskan dendam baru bahkan tidak jarang perang membunuh banyak nyawa tak bersalah.
Timika hingga detik ini menjadi salah satu kota yang sering sekali pecah lantaran perang suku entah karena permasalahan keluarga, sengketa tanah bahkan perselingkuhan. Tidak jarang berhembus isu bahwa perang mungkin sengaja diciptakan oleh kelompok tertentu yang berkepentingan tergantung momen politiknya apa.
Ah, tak peduli apapun yang melatarbelakangi peperangan, saya merindukan suasana damai. Bayangkan betapa banyak anak dan bayi yang tidak dapat diimunisasi hanya karena perang lalu posyandu tidak dapat dilaksanakan. Atau berapa banyak pasien bayi yang seharusnya mendapatkan pengobatan malaria namun tidak bisa lantaran perang. Betapa anak takut ke sekolah dan guru memilih meliburkan sekolah hingga batas waktu yang aman. Dan entah kerugian ekonomi lainnya. Masih banyak energi yang dapat dialihkan untuk membuat Papua maju daripada memuaskan dendam terbalas dalam perang.
Bagi saya perang lebih kejam daripada virus Ebola yang sudah membunuh lebih dari seribu korban di Afrika. Karena bagaimanapun perang menimbulkan korban yang mengalami gangguan psikologis. Bagaimanapun anak-anak akan menyimpan semua memori teriakan ketakutan juga percikan senjata api hingga mereka dewasa.
Saya teringat kedamaian di Bromo dimana tiga agama dan berbagai keanekaragaman budaya dapat melebur menjadi satu dalam cinta kasih. Jika saya dapat diberikan kekuatan membuat make a wish, saya berharap untuk menyebarkan cinta kasih sehingga orang dapat memaafkan dan menerima. Jika kita membuka hati untuk itu, maka perang tidak akan berkepanjangan.
MERDEKA SESUNGGUHNYA
Saya percaya bangsa saya sudah 69 tahun merdeka namun kemerdekaan yang sesungguhnya ada dalam setiap individu. Ketika kita dapat menjaga diri untuk tidak terpancing emosi maka kita sudah merdeka. Ketika kita dapat mengoptimalisasikan semua daya upaya yang kita miliki maka kita juga akan merdeka. Dan yang tersulit adalah ketika kita sudah dapat memaafkan perbuatan orang yang telah menyakiti maka itu bagian dari kemerdekaan. Bagaimanapun penjahat yang paling sulit dilawan adalah diri kita sendiri.
Terima kasih untuk rekan-rekan yang sudah mengkhawatirkan kondisi saya di Timika paska menonton tanyangan di televisi.Beberapa stasiun tv yang merekam dapat dicari di link youtube Timika Rabu lalu. Fisik saya baik-baik saya hanya batin saya terluka melihat banyak korban berjatuhan entah transmigran yang kebetulan tukang ojeg ataupun anak baru lulus. Juga beberapa penduduk Papua yang tidak tahu apa-apa. Terlebih mendengar jeritan anak-anak dari para bidan atau perawat yang juga ketakutan.
Saya berdoa semoga Timika yang dijuluki TIap MInggu KAcau ini berubah jadi lebih baik. Untuk seluruh kerabat yang kehilangan keluarga terkasihnya semoga selalu diberikan kesabaran dan dihilangkan rasa dendam berkepanjangannya dalam keikhlasan menerima.
Salam damai untuk kita semua
Selamat HUT RI ke-69
Dr. Hafiidhaturrahmah
Peneliti Muda Malaria
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H