Mohon tunggu...
Dokter Avis
Dokter Avis Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Anak

Saya dr. Hafiidhaturrahmah namun biasa disapa Avis, dokter umum dari FK Univ Jenderal Soedirman, dokter anak dari Univ Gadjah Mada. Awardee Beasiswa LPDP-PPDS Angkatan 1. Saat ini bekerja di RS Harapan Ibu Purbalingga. Monggo main di blog saya www.dokteravis.net

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pecel Lele Dokter Muda, Pedes tapi Nikmat

14 Oktober 2012   11:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:51 1806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya menatap kembali rangkaian gambar, tentang masa di mana saya pernah dipanggil "dokter muda" yaitu masa koas. Menatap satu persatu teman saya dan menyapa kembali satu persatu dari mereka melalui media sosial maupun telepon genggam. Koas biasanya kami singkat menjadi Kumpulan Orang Apes dan Salah (KOAS) karena memang apa yang dilakukan selalu saja jadi sasaran kesalahan.  Namun, dibalik singkatan yang menyeramkan itu, sebenarnya dunia koas sangat menyenangkan karena dua tahun belajar langsung dengan menyentuh pasien.  Tanpa pasien, sungguh kami para calon dokter saat itu tidak mungkin dapat menjadi dokter seperti sekarang ini.  Bayangkan saja, mana mungkin orang sehat datang kepada kami dan mau dibedah-bedah tubuhnya.  Berbeda dengan orang sakit dimana saat datang kami harus menghilangkan kesakitannya dan sungguh itu bukan perkara mudah. Tubuh manusia selalu berubah-ubah setiap saat sehingga akan seperti apa nantinya kesembuhan pasien tidak dapat diperkirakan dengan tepat.  Nah...saat koas inilah kami dibimbing untuk belajar semua materi yang harus dikuasai dokter umum. Mulai dari bayi baru nongol hingga usia tua, mulai dari penyakit yang terlihat jelas hingga harus membutuhkan operasi, mulai dari pasien yang dapat bekerja sama hingga tidak sama sekali. [caption id="attachment_217905" align="aligncenter" width="300" caption="Koas berdedikasi tinggi *pejamkan mata dimanapun berada :)"][/caption] Saya pribadi sangat menikmati dunia koas tersebut karena sempat tertunda setahun lantaran kebanyakan "main" dan menimba pengalaman di bidang lain. Akhirnya, ketika koas, saya janji untuk benar-benar serius bahkan hampir sebagian besar waktu saya habis di rumah sakit.  Rasanya menyenangkan bahkan saking senangnya saya orang termudah yang bisa dilobi untuk urusan tukar menukar jadwal jaga. Bahkan tidak jarang dalam seminggu saya hanya pulang sekali karena menggantikan jadwal jaga sejawat saya.  Hampir semua bagian saya jalani seperti itu. Saya orang yang paling suka jaga malam. Tapi ada tidak enaknya juga keseringan jaga malam.  Kantong mata saya seperti panda karena saking jarangnya tidur. Efek samping lainnya adalah mata yang terus menutup kala pagi hari. Yah...sistem dunia perkoasan memang ada jaga malam dimana paginya kita tetap harus masuk rumah sakit lagi untuk mengikuti rutinitas pagi.  Tidak jarang ritme tidur berubah drastis. Hati-hati alarm kesabaran harus selalu dipasang jika menjalin hubungan dengan yang non dokter karena memang ritme kerja yang bertolak belakang ini sering kali menjadi pemicu keretakan rumah tangga "pacaran" koas.  Tapi belum tentu juga hubungan dengan sesama sejawat dapat berlangsung harmonis karena lagi-lagi rasa lelah luar biasa dan godaan makhluk ketiga ada di setiap stase. [caption id="attachment_217906" align="aligncenter" width="300" caption="Masih unyu-unyu ketika bantu operasi...senyum terus walau mata merah :)"]

1350214060291428307
1350214060291428307
[/caption] Nah...urusan ritme tidur yang berbeda itulah yang terkadang membuat saya dapat memejamkan mata tanpa bersalah dimana pun dalam posisi apapun.  Saya berlatih tidur dalam posisi duduk, satu tangan bahkan berdiri sekali pun.  Saling mencuri waktu untuk tidur dapat dilakukan jika memang kelopak mata sudah tidak dapat diajak kompromi.  Puncaknya adalah saat koas di stase saraf. Hari Minggu yang terpaksa digunakan untuk simulasi ujian praktek menggunakan sistem OSCE (kasus dan langsung bertemu pasien) membuat saya beserta rombongan harus belajar giat. Namun saking giatnya, saya tertidur dan melewatkan satu putaran kasus pasien sampai akhirnya ada teman saya yang menyadari ketiadaan saya. Dia berhasil menemukan saya tergeletak tidur di ruang ibadah. Hasilnya, bukan dimarahi, muka saya merah padam karena residen saraf yang menjadi penanggung jawab tertawa terguling-guling. Sampai sekarang, kisah saya menjadi kisah utama residen saraf tersebut hahaa. Saya mengulang ikut putaran selanjutnya untuk latihan ujian tersebut sambil tidak hentinya menahan malu. Yah...mau gimana lagi. [caption id="attachment_217907" align="aligncenter" width="300" caption="Atraksi ketiduran diabadikan dalam foto dan lihatlah semua menahan tawa sampai terkencing-kencing "]
1350214230864796564
1350214230864796564
[/caption] [caption id="attachment_217909" align="aligncenter" width="300" caption="Bersama residen saraf saat itu dan sekarang dr.Yovita, Sp.S"]
13502143541443282249
13502143541443282249
[/caption] [caption id="attachment_217910" align="aligncenter" width="300" caption="Saya sampai gak bisa konsentrasi karena masih saja diabadikan ketika harus mengejar ketinggalan ujian :)"]
13502144691768728711
13502144691768728711
[/caption] Dan yang paling saya sukai saat koas adalah suasana malam.  Melihat pasien bisa memejamkan mata beristirahat adalah hal terindah karena sebagian besar pasien kumat penyakitnya saat malam.  Oleh karena itu operan jaga malam sering dirasa berat bagi yang tidak suka.  Malam harilah saat yang tepat melihat bagaimana sebenarnya situasi rumah sakit karena "wajah aslinya" akan muncul. Rekor yang ada saat jaga malam adalah berturut-turut selalu jaga ketika hari lebaran datang. Koas tahun pertama saya di bagian kandungan yang sudah terbayang bagaimana beratnya namun ternyata koas tahun kedua saya dapat kenikmatan lagi. Saya jaga malam di bagian bedah lebih tepatnya bedah saraf yang mana rekor visit 70 pasien kecelakaan pagi harinya dengan semalaman sebelumnya menemani sang bedah saraf operasi. Pengalaman luar binasa yang selalu terngiang dan nyaris membuat saya ingin jadi dokter bedah saraf. Bahkan residen bedah saraf saya dari UI yang sangat friendly masih mau berbagi ilmunya hingga sekarang walau saat ini beliau sudah menyelesaikan pendidikan spesialisnya dan kembali ke RSPAD Jakarta. [caption id="attachment_217911" align="aligncenter" width="300" caption="Saya berperan sbg "sutradara" yang kejam membuat Niluh menangis darah. Parah banget sampai niat telepon ke seluruh bagian di RS :)"]
1350214572978558417
1350214572978558417
[/caption] Dari semua memori koas, saya merasa bukan koas sempurna yang tidak pernah melakukan kesalahan sama sekali tapi dari berbagai kesalahan itulah saya belajar: Tidak mudah menjadi dokter apalagi bertanggung jawab atas hidup orang lain.  Yah...hampir di setiap bagian saya menorehkan kisah unik.  Dua minggu berada di ruangan neonatus atau ICU nya bayi tanpa boleh keluar sama sekali membuat saya berpikir ulang "apa benar saya bisa jadi spesialis anak?".  Saya selalu mendapat jatah memberikan bantuan napas tambahan pada bayi-bayi tersebut menggunakan ambubag (alat pompa dengan sungkup oksigen). Tidak tanggung-tanggung saya selalu jadi orang yang terakhir memompa oksigen hingga akhirnya bayi tersebut sudah tidak dapat dipertahankan. Keterbatasan peralatan mesin ventilator membuat kami para koas harus rela memberikan bantuan secara manual berjam-jam.  Saya pernah harus memompa dari sore sampai pagi buta dengan terkantuk-kantuk ketika malam datang namun mendadak mata saya membuka lebar ketika mendengarkan suara aneh. Yah...ruangan bayi merupakan ruangan penuh mistis yang ketika malam menjadi semakin menakutkan.  Saya terus memadangi bayi yang saya beri bantuan napas dan seperti berdialog sendiri dengannya. Betapa saat itu saya merasa tidak banyak melakukan hal yang dapat menolong bayi-bayi mungil itu. Betapa jika bayi tersebut bertahan hidup maka berapa banyak kemampuan otaknya yang kekurangan oksigen dapat bertahan menjadi manusia Indonesia yang lebih baik. [caption id="attachment_217912" align="aligncenter" width="300" caption="Selalu mengikhlaskan diri alias mengalah ketika punya waktu bermain-main. "]
1350214671732765399
1350214671732765399
[/caption] Dan....perlahan tapi pasti, kematian menjadi hal yang selalu saya lihat. Hampir setiap hari selalu saja ada pasien yang meninggal dunia.  Melepas nyawa dan saya harus menjadi saksi bahkan penolong terakhir yang tetap tidak dapat membuat nyawa tersebut masih tetap di raga.  Dari merasa sangat takut melihat kematian hingga menjadi terbiasa menemani ajal menjemput. Namun entah mengapa dari semua kematian, saya merasa kematian bayi adalah yang paling mulia. Makhluk tanpa dosa tersebut begitu nyamannya menutup mata berbeda dengan kematian lain yang selalu terlihat menyiksa, bahkan untuk mengucap asma Tuhan terakhir kalinya saja sulit. Saya tidak pernah melihat kematian khusnul khotimah selama di rumah sakit, entah karena penyakit membuat kematian seseorang menjadi lebih sulit atau memang masa lalu orang tersebut yang kurang baik. Entahlah, saya bukan hakim yang memutuskan baik buruk hanya saja batin saya terkoyak. Rasanya perih ketika memberikan bantuan terakhir di sisa penghujung nyawa tanpa bisa membantu dan mendengarkan tuntunan ayat suci. [caption id="attachment_217913" align="aligncenter" width="300" caption="Bersama rekanan sejawat dari UPN Jakarta pula di bagian ANAK...tak terlupakan pokoknya :)"]
13502147421791178058
13502147421791178058
[/caption] [caption id="attachment_217914" align="aligncenter" width="300" caption="Akhirnya perjuangan ini ditutup dengan pakaian yudisium dan sumpah :)"]
13502148001491372642
13502148001491372642
[/caption] Mengenang kembali masa koas, memang tepat jika pepatah mengatakan "KOAS adalah masa terindah tapi tidak untuk diulang". Saya berterima kasih dengan para pasien yang ikhlas menjadi guru kami. Juga untuk para konsulen dari segala macam bagian, saya bangga pernah menjadi murid dan saya tahu mengapa dokter harus menuntut ilmu sepanjang hayat. Juga teruntuk seluruh staff rumah sakit dimana saya bertemu dengan bidan, perawat, analis, labotoris, farmasis baik yang senior maupun masih junior, andai hubungan harmonis itu bisa muncul dari setiap kami dokter muda pastilah ritme kerja dunia kesehatan akan makin baik.  Saya beruntung bertemu dengan mereka yang mengajarkan "kebersamaan" dan tidak mengkotak-kotakkan diri berdasarkan bidang masing-masing. Dan sekarang...saya kembali melangkah mengabdikan diri melalui Pencerah Nusantara. Bahwa tanpa mereka semua yang saya temui saat koas, saya tidak mungkin akan mencapai titik ini. Pencerah Nusantara hanya awal untuk kembali membaktikan diri setahun ke depan di kaki gunung Bromo dan saya tahu....suatu hari nanti saya akan mengelilingi Indonesia sampai pulau terluar dengan keilmuan saya dan singgah ke Afrika (Rwanda the most I want!). Berbagi kisah tentu hal yang selalu ingin saya jaga konsistensinya.  Ikuti terus petualangannya dokter pencari pecel lele ini yak, biar pedes tapi nikmat kan :) dr. Hafiidhaturrahmah @avista_nada Salam Pencerah Nusantara

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun