[caption id="attachment_277951" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi-Dokter/Kompasiana (shutterstock)"][/caption] Yup....saya heran kenapa masih banyak anak lulusan SMA yang ketika saya tanya ternyata ingin menjadi dokter. Terlepas dari beragam hal yang mendasari mereka memilih cita-cita tersebut, saya hanya ingin menceritakan bahwa menjadi dokter itu bukan segalanya. Ini tulisan sequel bagi yang telah menghubungi saya secara pribadi lantaran tulisan saya tempo dulu: Tips Masuk Kedokteran juga Surat Dokter untuk Sahabatnya Kenapa Harus Jadi Dokter? Ketika anda memutuskan untuk menjadi dokter, itu artinya anda sudah memutuskan bahwa sebagian besar hidup anda sudah tidak akan seperti biasanya lagi. Sebagian besar dunia anda akan terisi dengan dunia bernama "pasien". Bahkan tidak jarang waktu tidur anda tersita, hanya dapat memejamkan mata sejenak atau malah tidak boleh terkantuk sama sekali, seperti yang pernah mama saya bilang. Bahkan anda dilarang marah loh jika anda menjadi dokter karena sekalinya anda marah maka dapat dipastikan pasien akan kecewa. Padahal sebagian besar "marahnya dokter" itu untuk kebaikan pasien sendiri.  Selain itu, anda juga harus siap untuk sakit dan mendengar pernyataan "iih...kok dokter bisa sakit sih" ketika anda demam lantaran terlalu capek bekerja. Malah, jika anda ditempatkan di daerah pelosok seperti saya, anda dapat saja mengalami musibah yang lebih parah daripada sekadar demam. "Ah...gak papa sakit...kan ada asuransinya" eiit...tunggu dulu sebelum berbicara asuransi seperti di atas. Hampir sebagian besar tenaga kesehatan yang hidup dan mati di Indonesia raya ini tidak terlindungi oleh asuransi kesehatan. Pernah mendengar kisah seorang dokter yang sakit dan bermalam di rumah sakit tempat dia bekerja, dia hanya mendapat potongan uang jasa antar dokter karena di antara "sejawat" ada peraturan tidak tertulis mengenai hal tersebut namun untuk biaya nginap dan obat dia masih harus bayar. Miris bukan... "Ah...jadi dokter kan bisa kaya" waaak apalagi kalau alasan klise yang satu ini. Tunggu dulu....kalau yang anda lihat dokter-dokter berumur 40-50 tahunan jelas saja mereka sudah berada pada posisi mapan karena mereka sudah berjuang selama 20 tahunan lebih dalam profesi dokter. Namun, dibandingkan dengan profesi lain, jelas dokter bukan pilihan menarik untuk menjadi kaya. Saya bahkan tidak ingin anak-anak saya nantinya menjadi dokter kecuali jika itu dari hati mereka yang terdalam.  Menjadi dokter tidak semudah membalikkan telapak tangan apalagi yang dicari menjadi kaya dengan cepat. Masih harus ada beragam ujian dan boleh jadi anda tidak langsung lulus ujian tersebut. Saat ini yang masih dipergunakan adalah Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI). Bagaimana nasib yang tidak lulus? yah terkatung-katung seperti ini. "Tapi kan jadi dokter itu mengabdi" yaah kalau ini alasannya masih boleh lah meneruskan tetap masuk ke FK tapi harus siap dengan segala konsekuensinya. Kedokteran itu unik, dibilang biaya mahal memang iya karena nyatanya hingga detik ini masih ada yang memberikan "uang sumbangan" sebesar 650 juta hanya untuk masuk awalan di Kedokteran Umum.  Tidak perlu disebut siapa yang pasti orang tuanya berkelas lah. Saya bisa bilang begini karena kejadiannya baru saja terjadi di pembukaan kedokteran 2013. Namun, dibilang murah juga bisa karena nyatanya masih ada saja yang berhasil mendapatkan beasiswa dan masuk tanpa membayar sepersepun di Kedokteran Umum. Konon asasnya sih katanya hingga detik ini masih "saling subsidi" jadi sah-sah saja yang mempunyai kemampuan finansial berlebih untuk menyumbang banyak agar lebih banyak lagi yang terbantu. Toh nyatanya saya merasakan, memang belajar kedokteran membutuhkan nominal yang tidak sedikit karena dituntut beragam praktikum agar tidak salah ketika bertemu langsung dengan pasien. Jadi selagi otaknya memang mampu, ya semoga finansial tidak memberatkan. Toh kalaupun kaya tidak ada salahnya berbagi lebih untuk yang tidak mampu. Just it. No Offense! Belajar Empati bukan Simpati "Ih...dokter harusnya memberikan pelayanan yang terbaik. Coba bayangkan kalau itu anak dokter, apa dokter mau dia terbaring sakit seperti itu?' kalimat di atas mungkin pernah anda dengar dari orang tua yang tidak sadar telah mengeluarkan makian kepada dokternya. Apapun penyebabnya, dokter diajarkan untuk berempati dan bukan bersimpati. Mungkin anda berpikir kalau dokter sering kali melupakan pasien setelah ada pasien berikutnya, tapi anda salah. Dokter sebenarnya ikut pusing ketika dihadapkan dengan pasien yang parah namun di satu sisi (misalnya) tidak mempunyai kartu pengobatan gratis. Bagai buah simalaka, di dokter pun ikut berpikir bagaimana jalannya. Mungkin si dokter akan menyarankan ke pasien untuk mengurus surat keterangan tidak mampu yang berbelit jalannya sebagai salah satu solusi karena memang tidak mungkin untuk si dokter memberikan kebijakan lait terkait gratis obat dan penginapan yang di luar tanggung jawabnya. Bahkan tidak sedikit dokter yang rela tidak mendapatkan uang "jasa" untuk beberapa kasus sepeti itu, yang tentu saja pasien tidak tahu jika dokternya tidak bilang. Yah, untuk apa juga bilang-bilang ketika berbuat kebaikan. Belajar empati, jujur bagi saya bukan hal mudah.  Belajar bagaimana meringankan tanggung jawab tanpa perlu terpikirkan akan pasien lagi.  Apalagi bagi dokter yang bertugas di remote area atau daerah dengan peralatan terbatas.  Saya pernah semalaman tidak tidur ketika di tugas Sumba karena kecelakaan dan seorang anak lelaki terpaksa saya jahit robekan luka yang cukup besar di kepalanya. Hanya berbekal sterilisasi sederhana sorot senter saja karena memang tidak ada listrik di tempat saya tinggal.  Setelahnya saya memberikan rujukan karena memang anak tersebut harus dirawat di rumah sakit. Sayangnya keluarga hanya bilang iya secara samar-samar dan benar dugaan saya, hingga pagi hari belum ada kabar terkait anak tersebut. Ternyata, dia memang tidak dibawa ke rumah sakit lantaran tidak ada kendaraan dan uang.  Dan saya pun saat itu tidak dapat memberikan lebih setelah semua pertolongan yang saya berikan semalam tidak saya tarik seperspun. Belajar empati tentunya akan mengaduk-aduk perasaan seorang dokter apalagi jika pasien yang ditolong hanya berpura-pura saja menjadi pasien. Yap..saya pernah menghadapi pasien remaja yang kejang lantaran keinginannya dibelikan motor tidak dituruti oleh orang tuanya.  Tentu saja dokter yang lihai akan mudah membedakan mana kejang yang benar dan pura-pura walau ketika kejang mengeluarkan busa sekalipun. Saya acungi jempol deh untuk para pasien seperti ini dan silakan coba casting film siapa tahu beruntung mendapat peran menjadi pasien. Bahkan ketika saya saat ini berada di pegunungan Bromo yang notabene tidak terlalu terpelosok seperti Sumbapun saya masih harus berhadapan dengan lika liku simpati-empati.  Bagaimana ketika seorang ibu meninggal lantaran stroke karena darah tinggi sementara saya masih harus mendamaikan anaknya. Ketika sebagian besar bayi tidak diberikan ASI karena kolotnya orang tua akan adat pemberian pisang membuat saya miris dan sesak napas. Atau ketika datang pasien dengan batuk darah hebat yang akhirnya tidak terselamatkan hanya karena Tuberkulosis alias TBC, padahal anak-anak yang ditinggalkan masih membutuhkan sosok ibu.  Atau ketika anda harus berhadapan dengan berbagai kebiasaan adat yang menyulitkan seperti memberikan kopi untuk mencegah kejang atau malah memilih dukun dalam persalinan?  Atau ketika anda terkejut ternyata di desa ada pasien dengan kadar gula sangat tinggi tapi masih hidup normal? Atau apa yang akan dilakukan ketika pagi buta dikejutkan oleh orang yang mencoba meloncat bunuh diri lantaran terganggu jiwanya? Atau menghadapi pasien gangguan mental yang hamil? Bahkan hingga saya menuliskan ini, Ningrum, begitu namanya, masih selalu dalam komunikasi agar jiwanya selalu stabil. Dan...tetap saja di luar sana, masih banyak pasien miskin yang akan mengaduk-aduk jiwa anda karena saya yakin hampir semua dokter mempunyai jiwa. Selalu Ada Mentari di Pagi Hari Yah...saya selalu berprinsip bahwa kesehatan bukan hanya mengobati namun mencegah. Bahwa bukan hanya orang sakit yang didekati namun orang yang masih sehat agar terus sehat. Dan selalu saja ada harapan baru di setiap tempat yang saya singgahi bahkan separah apapun itu kondisi kesehatannya. Walaupun harus berhadapan dengan perang suku, juga kondisi parah lainnya, saya selalu menyempatkan diri untuk bercengkrama dengan anak-anak kecil yang akrab saya sapa kurcaci.  Dari mereka harapan itu muncul bahwa para kurcaci inilah yang nantinya akan jadi pemimpin Indonesia di masa depan. Jika sekarang saja mereka harus berjuang melawan kekurangan gizi, cacingan juga malaria maka isi otak mereka sebenarnya daapat jauh lebih baik jika mereka tidak harus menderita berbagai penyakit tersebut. Bukan hanya di Sumba, Bromo pun memberi saya harapan bahwa di tempat ini saya pernah bertemu dengan Aji, si arsitek cilik luar biasa yang semoga di kala besar dapat benar-benar menjadi arsitek. Para remaja yang ternyata mempunyai mimpi luar biasa dan saya katakan untuk tidak takut bermimpi.Mimpi gratis jadi perlahan mereka mewujudkan dengan berani mengekspresikan diri salah satunya dengankampanye anti rokok padahal Bromo terkenal dengan perokok hebatnya. Saya pun bertemu dengan makin banyak remaja yang sebenarnya punya cara tersendiri agar teman-teman sesama remaja tidak hamil duluan sebelum selesai SMA.  Lucu mengingat bagaimana saya harus mencari kata-kata yang dapat diserap mereka ketika belajar tentang pangeran sperma menyambangi kediaman putri telur. Selain itu, para guru senantisa membantu kami dalam imunisasi karena kalau tidak saya tidak terbanyang berapa banyak anak berteriak histeris atau menangis lantaran takut jarum suntik. Dan kader kesehatan yang dipilih langsung oleh masyarakat juga pegang peranan penting menyehatkan ibu hamil serta bayi. Memberdayaan kemampuan masyarakat di sekitar tempat kita bertugas sebenarnya menjadi kunci penting jika ingin masyarakat mulai mencegah penyakit. Siap Membuka Diri Yah...bagi yang tetap mau menjadi dokter, silakan saja, tapi saya berharap nantinya akan menjadi dokter yang lebih membuka diri. Tidak hanya terkukung bahwa dokter yang paling baik dan benar di antara tenaga kesehatan lainnya. Memang, tidak dapat diingkari juga bahwa dokter memiliki ego lebih karena sejak di bangku kuliah ajaran etika tidaklah cukup. Hanya berinteraksi antara dokter saja tidaklah cukup untuk membuat para tenaga kesehatan Indonesia bersatu. Ada baiknya jika saling menghargai di antara tenaga kesehatan tercipta sejak di bangku kuliah dimana ada kuliah bersama antara dokter-perawat-bidan-apoteker-ahli gizi-ahli kesehatan masyarakat dan beragam profesi kesehatan lainnya agar ketika sudah  lulus terbangun rasa saling bekerja sama. Hal tersebut penting agar tidak muncul ucapan di kemudian hari bahwa "perawat hanya pembantu dokter" atau beberapa kalimat menyinggung profesi kesehatan lainnya.  Padahal perjuangan untuk menjadi tenaga kesehatan-apapun profesinya-bukan hal mudah loh. Sosok perawat Zuni dan Amri membuktikan perjuangan mereka disini. Selain itu, ketika menjadi mahasiswa kedokteran, jangan hanya disibukkan belajar tanpa memperdulikan masalah sosial di sekitar anda. Ada banyak cara melatih kepekaan jiwa salah satunya dengan memperbanyak aktivitas sosial atau anda boleh bercita-cita menjadi mahasiswa teladan nasional seperti ini. Tidak ada yang tidak mungkin, adik kelas saya, dia menyusul menjadi mahasiswa terbaik tingkat nasional setelah mendengar presentasi saya dan waktu yang dibutuhkan untuk mewujudkan mimpi itu hampir 5 tahun. Dia mendengar di awal tahun saat menjadi mahasiswa dan baru terwujud ketika hampir lulus. Ekspresikan Gayamu! Ada banyak cara mengekspresikan gaya ketika anda ditempatkan di pelosok antah berantah. Menulis dan berbagi tulisan salah satu cara untuk eksis selain hanya sekadar berfoto saja. Sumba, Kalimantan dan Bromo memang sudah saya jelajahi walau tidak semuanya terekam dalam jejak tulisan dan foto. Mempelajari pasien dan kesehatan masyarakat di suatu daerah dapat juga dilihat dari lingkungan sekitar termasuk pariwisatanya. Siapa tahu  pantai-pantai cantik yang ada di Sumba ini dapat menyejahterakan masyarakat sekitar. Di Sumba saya belajar menjadi minoritas dan merayakan natal bersama juga belajar mengenal beragam budaya mereka upacara adat seperti Pasola dan Nyale. Bahkan Bromo juga menyimpan keunikan upacara Kasada disamping memang mempunyai pemandangan luar biasa indah. Saya bahkan dapat berlari di udara jika berada di Bromo. Kapanpun silakan datang berkunjung ke Bromo tapi jangan salahkan saya jika anda tepat datang di hari yang padat pengunjung seperti ini. Dari Bromo anda masih dapat berpetualangan ke taman safari di kawasan Pasuruan. Menutup tulisan ini, saya mengajak sekali untuk merenungkan kalau "rumput tetangga selalu lebih hijau". Silakan dapat dibaca lagi pengalaman saya ketika koas alias masih menjadi mahasiswa kedokteran disini. Berhadapan dengan mayat dan darah juga harus dipertimbangkan. Jangan terlalu memaksakan diri jika memang dirasa akan memberatkan anda di kemudian hari. Masih banyak jurusan di luar sana yang menjanjikan kehidupan lebih luar biasa daripada dokter, tentu saja dengan waktu kuliah yang tidak perlu terlalu lama. Jika anda malah bertambah semangat menjadi dokter lantaran membaca kisah seluruh rangkain perjalanan karir saya sebagai dokter yang (sempat) tertuliskan, itu kebetulan saja yang menguatkan niat anda.  Renungkan lagi, mau jadi dokter seperti apa nantinya. Jangan sampai sudah masuk dan keluar lagi lantaran tidak kuat mengikuti ritme perkuliahan yang padat dan berat. Saya hanya dapat memberikan secuil tulisan ini saja. Salam Dokter Indonesia dr.Hafiidhaturrahmah Pencerah Nusantara Tosari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H