Ujian Kompetensi Kedokteran Indonesia (UKDI) semakin menua banyak pro-kontra yang hingga kini masih belum usai. Ujian yang menjadi wajib harus diikuti oleh seluruh dokter yang sudah dinyatakan lulus oleh setiap fakultas kedokteran ini masih menyisakan banyak dokter yang belum berhasil melewati UKDI. Dokter Retaker, begitulah kami menyebut para rekan sejawat ini yang sudah berulang kali mengikuti UKDI namun belum juga berhasil. Berbeda dengan kebijakan para dokter gigi dimana ujian serupa digelar dan jika belum lulus maka ujian ketiga kalinya dipastikan lulus, UKDI dinilai oleh para dokter retaker tidak adil.
Menurut dokter retaker tidak adil jika mereka kuliah 6 tahun nasibnya ditentukan hanya dalam waktu 200 menit dengan 200 soal.  Ini suatu pelanggaran terhadap hak azasi manusia dan hak-hak profesi. Para dokter rateker mempunyai hak yang sama untuk ikut mengabdikan diri untuk kemanusiaan, bangsa dan negara. Untuk itulah pemerintah diharapkan harus mampu mencari solusi bagi sekitar 4200 dokter retaker yang saat ini belum jelas nasibnya. Pada  pertemuan yang diadakan di gedung STOVIA (20/6/2013 Pukul 10-12 WIB) digagas Asosiasi Dokter Indonesia (ADMIN) dan difasilitasi oleh PB IDI, dihadiri oleh sekitar 300 dokter reteker dari berbagai fakultas kedokteran dari perguruan tinggi  negeri maupun swasta di Indonesia, mulai dari Aceh sampai Papua. Pertemuan ini bertujuan untuk menuntut kejelasan nasib mereka yang hingga saat ini belum jelas, padahal pemerintah sudah membuat kebijakan baru dengan menghapus uji kompetensi dokter.
Bahkan Gregorius , dokter dari Papua rela menempuh perjalanan jauh untuk memperjuangkan haknya. Semangat altruism masih terpancar kuat didalam semangat tekad para dokter refrakter lainnya. Â yang memang putra daerah Papua ini bahkan rela bekerja dua tahun tanpa dibayar di pedalaman Papua tanpa dibayar hanya karena dia belum lulus uji kompetensi dan tidak punya STR.
Perjuangan para dokter yang berada di pedalaman untuk mengikuti UKDI tentu saja bukan hal mudah. Terkadang mereka harus berurusan dengan lemahnya sinyal dalam mengakses layanan internet karena memang pendaftaran UKDI secara online dan belum lagi harus mempersiapkan segala tiket penerbangan yang tidak murah untuk meluncur ke tanah Jawa karena tidak semua daerah timur sudah tersedia tempat UKDI. Â Di satu pihak, keberadaan mereka yang sudah resmi lulus dari universitas tempat mereka belajar merupakan dilema ketika mereka tidak dapat mengabdikan diri segera untuk masyarakat yang membutuhkan.
Dilema yang tiada henti memang apalagi dalam mensukseskan program MDGs, perlu banyak tenaga medis untuk mengurangi angka kematian ibu melahirkan dan angka kematian bayi. Pemerintah saat ini masih kekurangan tenaga dokter namun nasib para dokter refrater tidak pernah ada kejelasannya, padahal jumlahnya tidak sedikit.
"Jumlah 4200 lulusan dokter yang siap mengabdikan diri untuk negara itu bukan jumlah yang sedikit. Bayangkan butuh minimal 6 tahun bahkan lebih  untuk menunggu para negara mencetak 4200 dokter. Pemerintah seharusnya bisa memberdayakan mereka dan untuk segera memberikan pengakuan kompetensi serta  memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengabdi kepada negara walaupun harus ditempatkan di daerah terpencil sekalipun. Mereka tidak berbeda dengan dokter lainnya. Tidak lulus UKDI itu bukan karena mereka tidak kompeten kok, banyak faktor. Bayangkan saja rekan dokter dari Papua harus menempuh perjalanan panjang hanya untuk ujian dan ketika kondisinya tidak fit tentu dapat mempengaruhi hasil" dr. Iqbal Mubarak, alumni FK Abulyatama Aceh sebagai Ketua Aksi Gertak Retaker (Gerak Aksi Taktik dan Rencana Strategis Dokter Layanan Primer). Iqbal juga menegaskan tidak ingin ada pemutihan, uji kompetensi harus tetap dilakukan karena persoalan harga diri. Rizqi ketua panitia pelaksana yang juga alumni FK Unimal mengharapkan ada solusi terbaik bagi para retaker dan segera bisa diluluskan.
Dengan diterbitkannya surat Dirjen Dikti nomor 88/E/DT/2013 tanggal 1 Februari 2013 tentang Uji Kompetensi Dokter Indonesia sebagai Exit Exam, semakin memperjelas bahwa uji kompetensimerupakan bagian dari proses pendidikan dan bukan lagi menjadi kewenangan Komite Bersama Uji Kompetensi Dokter Indonesia (KBUDKI). Dengan kebijakan exit exam, maka PB IDI segera membekukan keberadaan KBUDKI melalui melalui surat PB IDI nomor: 1103/PB/A/.3/05/2013 tanggal 17 Mei 2013, dan akan segera dimintakan pertanggungjawaban terhadap uji kompetensi yang selama ini dilakukan dan juga pertangungjawaban pengelolaan keungan. Dalam pertemuan tersebut Ketua PB IDI, dr. Zainal Abidin, MH berjanji akan mencari solusi dan menjamin sertifikat kompetensi yang akan diterbitkan tanpa harus membayar biaya apapun. Namun bentuk ujiannya seperti apa yang akan dilakukan bagi retaker, masih dalam pembahasan di PB IDI dan kolegium.
Ketua Konsil Kedokteran Indonesia Prof. Menaldi Rasmin, dr, Sp.P. turut hadir pada pertemuan akbar tersebut, nenegaskan bahwa sesuai dengan Undang Undang Nomor 29 tentang Praktik Kedokteran, uji kompetensi sebagai prosedur yang harus dilakukan untuk menerbitkan Sertifikat Kompetensi. Sertifikat Kompetensi tersebut sebagai dasar bagi Konsil Kedokteran Indonesia menerbitkan Surat Tanda Registrasi (STR). Kedudukan KKI adalah sebagai lembaga negara dan STR adalah jaminan oleh negara akan kompetensi sorang dokter untuk menjalankan praktik kedokteran di Indonesia. STR juga merupakan jaminan perlindungan dan kepastian hukum tidak hanya bagi pasien dan masyarakat tetapi juga bagi dokter itu sendiri. KKI beberapa kali meminta PB IDI dan kolegium untuk segera menyelesaikan persoalan ini. Walaupun uji kompetensi bukan dalam ranah dan kewenangan KKI, tetapi KKI sebagai rumah bagi profesi akan siap membantu untuk mencari solusi bagi para retaker.
[caption id="attachment_269740" align="aligncenter" width="574" caption="Para dokter refrakter menuntut keadilan"][/caption]
[caption id="attachment_269743" align="aligncenter" width="614" caption="Perwakilan 300 dokter refrakter memperjuangkan nasib 4200 dokter lainnya"]
Menurut keterangan para dokter retaker yang hadir ada yang 3 kali hingga 20 kali uji kompetensi belum lulus. Para Dekan Fakultas Kedokteran semestinya ikut bertanggung jawab terhadap mutu dokter yang diluluskannya, demikian ditegaskan Ketua KKI. Apakah ada persoalan ketika recruitment saat penerimaan mahasiswa atau proses perkuliahan. Hasil uji kompetensi sebaiknya dipublikasikan kepada publik sebagai bentuk akuntabilitas publik, sehingga masyarakat tidak salah menetukan pilihan. Jika outputnya kurang baik, tidak menutup kemungkinan fakultas kedokteranpun perlu dilakukan pembinaan.
Para dokter retaker sangat menyayangkan ketidak hadiran Dirjen Dikti, Ketua KBUDKI, dan Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI). Jika keinginan para dokter retaker yang jumlahnya ribuan tersebut tidak ada solusi yang baik, maka akan ada agenda lain untuk melakukan aksi demo ke DPR untuk menuntut penyelesaian nasib mereka yang tidak pasti selama ini.
Dokter adalah salah satu profesi strategis dan sebagai unsur ketahanan nasional. Dengan memberi kesempatan kepada dokter retaker untuk mengabdikan diri kepada negara, akan menjadi solusi bagi kegagalan distribusi dokter, mensukseskan program MDGs, meningkatkan nasionalisme dan kebanggaan menjadi sebagian dari rakyat Indonesia terutama rakyat di daerah terpencil dan perbatasan, memeratakan pelayanan kesehatan yang menjadi hak seluruh rakyat Indonesia,
Semangat berjuang untuk rekan sejawat.Tidak ada kata BERHENTI sebelum perjuangan ini BERHASIL.
Salam
Kolaborasi antara Subur Widodo, SKM (Mahasiswa S2 FISIP UI, Jur : Adm. Kebijakan Publik) dan dr.Hafiidhaturrahmah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H