[caption id="attachment_142220" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Minum air putih dan langsung membuka 'hape', itulah kegiatan rutin bangun pagi saya. Supaya tidak sulit, setiap malamnya sudah saya siapkan air putih di botol minuman 600 ml atau di dalam sebuah gelas besar. Taruh di samping tempat tidur dan glek...glek...glek..setelahnya ambil hape sekadar membuka email. Namun sudah sebulan ini aktivitas saya tidak selengkap itu. Bukan karena tidak ada hape di tangan saya namun tidak ada sinyal bagus di sekeliling saya, untuk mengirimkan cerita pengalaman ini saja saya harus menunggu beberapa hari mencari sinyal yang bagus, untuk kemudian minta di postingkan cerita ini (nebeng) oleh seorang teman yang kompasianer juga. Desa Umbu Ngedo di Sumba Barat Daya tempat sebulan ini saya tinggal tidak seindah yang saya bayangkan. Memang sejak awal sebelum menganggukkan kepala menerima tugas berat ini, tim Jakarta sudah menjelaskan keadaan saya di perantauan nanti akan sangat terpencil. Saya bilang, tidak masalah selama masih ada sinyal. Pikir saya, tidak apalah sulit air asal saya tidak gaptek terpisahkan dari hape kesayangan saya. Nyatanya, kesulitan saya bukan hanya air, tapi terpaksa beberapa minggu ini hidup tanpa listrik sempurna. Hanya listrik dari sinar matahari yang disimpan dalam kaca sinar saja andalan kami. Jangankan untuk mengecas penuh hape andalan saya, untuk lampu menyala dari malam sampai pagi saja sudah sulit. Belum lagi ditambah sinyal yang terkadang bikin goyang dombret alias saking kesalnya terkadang saya harus goyang-goyang menghibur diri biar tidak stres. Bila dulu hape selalu menyala musik dan radio, sebulan ini saya harus berpikir hemat baterai. Bagaimana tidak, untuk membuat penuh baterai hape saya butuh waktu setengah jam bermotor menuju ke dusun sebelah yang di dekat jalan raya dan sudah kecipratan listrik. Berbeda memang dari dusun tempat saya tinggal. Jangankan kecipratan listrik, tiang listriknya saja belum dibangun apalagi dipasang kabelnya. Aneh memang, tapi saya masih bersyukur karena bangunan polindes ini masih terbuat dari semen tidak seperti rumah tradisional masyarakat Sumba yang disebut rumah alang. Atapnya terbuat dari tumpukan rumput besar yang disebut alang-alang. Butuh sekitar minimal 300 ikat alang panjang yang dikeringkan untuk sebuah rumah alang kecil padahal persepuluh ikatnya terkadang harus dibeli dengan harga 15.000. Jadi sekitar setengah juta hanya untuk atap begitu saja. Terkadang bisa gratis asal rajin mengumpulkan alang dan mengeringkannya. Belum lagi butuh banyak bambu karena rumah alang mirip dengan rumah tingkat. Wajar saja, masyarakat membutuhkan rumah tinggi supaya bangunan kosong di bawah rumah dapat digunakan untuk tempat ternak mereka. Sapi, kerbau, babi, ayam, anjing bahkan kuda berkumpul di bawah rumah mereka sementara bambu tidak selalu rapat sebagai lantai. Jadi bau kotoran ternak sudah aroma lezat yang mereka tolerir sehari-hari. Ditambah mereka memasak di dalam rumah alang tersebut, seperti terjebak asap tungku kayu dan bau hewan ternak. Sangat sempurna bukan? Tidur mereka pun tidak di atas kasur walaupun mereka punya pohon kapuk di sekitar mereka.Hanya beralaskan tikar pandan yang mereka anyam atau jika beli seharga 35 ribu. Belum lagi untuk air minum mereka rela berjalan berkilometer dengan jalan yang mendaki-daki. Saya sudah pernah mencoba mengikuti jejak mereka menuju sungai besar untuk mengambil air minum dan saya nyaris alergi minum. Sungai besar dengan jalan berliku menukik dan terjal tersebut dipenuhi masyarakat yang mandi, memandikan kerbau, sapi dan kudanya serta mengambil air untuk disimpan minum. Namun, di satu sisi untuk menghargai mereka telah berjalan jauh mengambil air hanya untuk sekadar membuatkan saya minuman jika saya berkunjung ke rumah mereka maka minuman itu tidak pernah bersisa sekarang. Tekniknya adalah minum sekaligus habis tanpa napas dan tanpa berpikir macam-macam. Bahkan terkadang saya bilang pada diri saya sendiri kalau air yang mereka ambil dari tempat yang sangat amat jernih. Walau saya merasa listrik dan air memang susah dan menyusahkan di tempat ini, namun melihat hape mati karena habis baterai dan kalaupun menyala tidak mendapat sinyal ternyata lebih membuat saya miris. Terbiasa hidup dengan peralatan canggih dan mewah dengan listrik 24 jam membuat saya nyaris seperti gila. Bersyukur sebulan ini hidup tanpa gadget membuat saya belajar hal lain. Ketika di luar sana orang sudah mulai modern dengan kecanggihannya ternyata di belahan bumi tempat saya tinggal masih terjaga kelestarian alamnya walau dengan segala keterbatasan yang ada. Menggunakan rumah alang, pelita alami di kala malam, bahkan adat istiadat yang masih kental membuat saya belajar banyak hal dari mereka. Hidup tanpa gadget membuat saya mengerti ternyata masih banyak waktu yang saya miliki tanpa gadget di tangan. Selain memeriksa pasien yang dicurigai terkena malaria, memeriksa darahnya, memberinya pengobatan hingga mengawasinya minum obat, saya masih dapat melakukan rutinitas di luar rutinitas wajib harian saya. Belajar dari alam bersama suku Kodi di Sumba ini membuat saya berhasil menunggang kuda, menaiki kerbau, berkebun hingga menenun kain Sumba. Rasanya luar biasa tidak dapat diungkapkan bahkan walau saya hidup puluhan tahun di kota besar sekali pun belum tentu dapat merasakan kegiatan seperti itu. Belum lagi ketika memandang kaki-kaki kecil itu berlarian tanpa alas kaki menuju sekolah terdekat yang minimal jalan kaki setengah jam. Rasanya ada yang berdegup kencang ketika kaki mungil itu membawa hanya sebuah buku tulis kumal yang mereka selipkan di kantong karena hanya sedikit yang mampu membawa tas. Ah anak-anak itu berhak merasakan indahnya belajar walau sepulang dari sekolah mereka harus kembali membantu orang tuanya kerja di kebun, mengasuh adik mereka yang masih bayi atau bahkan membantu mengambil air minum dengan memanggul ember di kepala. Hidup tanpa gadget ini rasanya seperti menaiki sepeda ontel dan menikmati seluruh pemandangan di kanan kiri saya yang terlihat sangat jelas. Berbeda dengan kehidupan di kala gadget memegang peranan sangat penting dalam keseharian saya bahkan saya lebih rela ketinggalan dompet dibandingkan alat komunikasi saya. Rasanya seperti naik motor dengan kecepatan tinggi, saya hanya merasakan angin menerpa wajah saya tanpa dapat menikmati pemandangan di perjalanan saya. Terkadang perlatan canggih memang dapat mempermudah hidup kita namun ada kalanya alam menyediakan seluruh komponen untuk kita hidup tanpa tergantung pada benda modern bernama gadget. Ada kalanya otak anda dapat lebih termaksimalkan berkerja tanpa bantuan alat canggih tersebut tentunya ketika anda sudah dapat menerima kondisi berpisah dengan sang kekasih bernama gadget. Jujur, saya terpaksa berpisah dengannya karena keterbatasan listrik dan sinyal tapi perpisahan yang membuat saya belajar nilai kehidupan lainnya. Saya belajar komunikasi verbal yang lebih baik dengan masyakarat di sekitar saya. Saya tidak ingat berapa banyak saya mengucapkan kata 'halloo bapa, hallo mama' ketika bertemu penduduk desa yang mungkin tidak akan terlontar ketika saya hidup di tengah masyarakat kota. Terkadang, perlu sesekali kita tidak bergantung pada hal mewah tersebut. Kita adalah bos untuk diri kita masing-masing dan saya yakin anda semua dapat lebih bijaksana dengan alat bermata dua tersebut. Hidup tanpa gadget, siapa takut?.
[caption id="attachment_142192" align="aligncenter" width="640" caption="Memberikan obat malaria (pic. dok pribadi)"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H