Mohon tunggu...
Dokter Avis
Dokter Avis Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Anak

Saya dr. Hafiidhaturrahmah namun biasa disapa Avis, dokter umum dari FK Univ Jenderal Soedirman, dokter anak dari Univ Gadjah Mada. Awardee Beasiswa LPDP-PPDS Angkatan 1. Saat ini bekerja di RS Harapan Ibu Purbalingga. Monggo main di blog saya www.dokteravis.net

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Bu Sutinah, Pejuang Kanker yang Tangguh dari Bromo

3 Agustus 2013   08:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:41 1284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bu Sutinah, perempuan luar biasa yang sekarang menjadi orang tua tunggal lantaran suaminya meninggal tiga tahun lalu ini tanpa malu menceritakan kisahnya pada saya. Walau hanya berbekal pekerjaan sederhana sebagai penjual makanan di pasar desa lain yang jaraknya sejam dari tempat beliau tinggal, tidak tersirat gurat keluh sedikitpun di wajahnya. Bahkan Bu Sutinah terkadang tetap memaksakan diri bekerja demi sesuap nasi apalagi ketika anak lakinya mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN) bulan lalu. Berbeda memang dengan beberapa pasien kanker yang pernah saya temui dan bergelimang kesedihan, Bu Sutinah terlihat lebih tegar. Bukan karena masalah kankernya sudah usai namun lebih disebabkan karena beliau tidak ingin orang-orang di sekitarnya ikut bersedih. "Ya sebenarnya sedih tapi kalau sayanya sedih terus nanti kasian anak-anak tambah kepikiran" begitu ujarnya. [caption id="attachment_279116" align="aligncenter" width="512" caption="Bu Sutinah bersama dua anak yang menemaninya di rumah"][/caption] Kanker Dapat Menyerang Siapa Saja Tanpa saya minta, Bu Sutinah menjelaskan kisahnya. Berawal dari 14 tahun yang lalu, Bu Sutinah merasakan benjolan kecil seperti koin di payudara kanan.  Saat itu dia tidak terlalu ambil pusing dengan benjolan kecil tersebut dan baru bergerak ke rumah sakit 3 tahun yang lalu.  Saat itu, Bu Sutinah masih beruntung karena mendapatkan kartu pengobatan gratis lewat Jamkesda (Jaminan Kesehatan daerah) namun itupun tidak membuat Bu Sutinah menyelesaikan kemoterapinya. "Waktu itu saya harusnya dikemoterapi hingga enam kali tapi saya berhenti di kemo keempat. Ya...gimana ya dok...memang gratis disana tapi wira wirinya itu uangnya yang saya gak cukup. Disana itu harus bawa orang karena kan sayanya sakit. Ngurus surat macem-macemnya kadang minta tolong sama orang lain. Kalau pas ada keluarga yang nemenin saya juga harus saya pikirkan makannya karena satu hari penuh di rumah sakitnya. Kalau pas repot semua ya terpaksa beli orang" "Beli orang gimana ibu?" "Ya bayar orang yang ada disana dok, kayak calo jasa gitu yang nanti bantu ngurus surat macem-macemnya. Saya yang sakit ya cuma duduk nunggu aja sampai dipanggil kemo" saya mengangguk mengerti. "Karena beli orang ya harus nyiapin uang lagi. Kadang bisa 30 sampai 50 ribu gitu. Kadang kalau saya sampai sore ya menyiapkan uang makan mereka juga" Perjuangan panjang Bu Sutinah tersebut berakhir karena tidak ada cukup uang untuk transportasi. Dan tepat ketika saya bersama tim Pencerah Nusantara datang serta melakukan sosialisasi tentang SADARI (Periksa Payudara Sendiri), penyakit Bu Sutinah mulai terdeteksi lagi. Saya masih mengingat jelas pertemuan pertama dengan Bu Sutinah di arisan ibu PKK.  Perlahan, semua ibu PKK yang hadir saat itu belajar mendeteksi kanker payudara.  Dan...saat itulah Bu Sutinah menceritakan kisahnya yang sudah berakhir.  Namun, ternyata salah. Justru SADARI tadi menjadi awal mula teraba kembali benjolan di payudaranya. Kembali Mengira Hanya Benjolan Biasa Yah, kali ini saya hanya menghela napas ketika Bu Sutinah menemui saya setelah 3 bulan berlalu dari SADARI pertama di PKK. Saya terkejut karena kanker yang dulu sudah diobati tersebut ternyata tumbuh lagi. Kali ini malah payudara kanan membesar hampir seukuran kelapa ditambah mulai mengeluarkan darah dan nanah. Bahkan lengan kanan Bu Sutinah juga mulai membengkak dan sulit digerakkan karena teraba pula benjolan di ketiak kanannya.  Benjolan lebih kecil seperti koin juga mulai dirasa muncul di payudara kiri. Saya benar-benar tidak tahu harus bicara apa karena kali ini kanker berkembang dalam waktu cepat. "Sebenarnya waktu itu saya merasa ada benjolan kecil di ketiak tapi masa sih kanker saya kumat lagi. Ya saya gak langsung ke ibu tapi makin lama makin besar sampai sekarang seluruh payudara kiri membesar total" Percuma saya kesal karena beberapa kali saya masih datang ke arisan PKK tersebut namun Bu Sutinah tidak pernah sama sekali mengeluhkan penyakitnya ini. Akhirnya, kami mencari solusi bersama. Luka yang mengeluarkan darah juga nanah perlahan saya kurangi dengan beberapa obat baik minum maupun oles. Saya tahu, obat yang saya berikan hanya mengurangi gejalanya saja dan Bu Sutinah harus kembali ke rumah sakit untuk diobati hingga tuntas. Masalahnya, kali ini Bu Sutinah tidak lagi terdaftar dalam jaminan kartu kesehatan gratis. Kami pun mulai mengurus beragam syarat untuk mendapatkan pengobatan gratis namun apa daya hingga sebulan harus menunggu tanpa kepastian. Mitos Salah Tentang Kanker Beragam mitos yang belum benar dan belum teruji kebenarannya sering kali saya temui seiring dengan perjalanan saya bertugas di daerah terpencil.

  1. Masyarakat dengan mudah percaya kepada orang yang mampu mengangkat benjolan apapun itu, dimanapun tempatnya, asal menurut masyarakat benjolannya hilang maka itu sudah cukup. Padahal, sering kali benjolan yang diangkat tersebut bibit kanker sehingga setiap benjolan yang diangkat harusnya dilakukan oleh ahlinya yaitu dokter bedah agar dapat diketahui jinak atau ganasnya benjolan. Maklum, di desa ini ada memang yang dapat mengangkat berbagai macam benjolan tersebut. Saya sering miris, pasien dari sana menjadi parah dan datang ke puskesmas dalam kondisi sudah sangat amat terlambat.
  2. Masyarakat sering percaya berbagai herbal tanpa mau menunjang diri dengan memeriksakan ke dokter yang lebih berwenang. Memang beberapa herbal konon sudah diteliti dapat mengurangi atau malah mencegah kanker namun alangkah baiknya jika hendak mengkonsumsi herbal tersebut dibarengi dengan kontrol ke dokter untuk tahu stadium kankernya. Karena tidak sedikit masyarakat yang benjolannya makin membesar dan tetap tidak memeriksakan diri. Salah satu pasen di rumah sakit yang pernah saya temui sudah mengkonsumsi beragam herbal dengan biaya besar namun dia mengatakan "memang harus ke dokter". Kan kasian
  3. Masyarakat sering mengira "itu" hanya  "borok" yang nantinya akan sembuh sendiri. Pasien kanker pertama saya di Bromo yang saat ini sudah dalam "penanganan dokter", saya temui pertama kali di rumahnya yang hanya petakan triplek dengan luka berbalut dedaunan. Parahnya lagi, dia bertahan dengan cara itu selama bertahun-tahun termasuk rela (maaf) payudaranya dikerubuti lalat setiap hari. Saya yang melihat pertama kali bahkan tak kuasa menahan miris sekaligus air mata. Kemana aja yang lain kok pasien begini bisa tidak ketahuan, keluarganya pun acuh tak acuh karena konon katanya sudah berobat ke beragam dukun. Weleeeh...bahkan entah sudah diapakan saja borok itu oleh orang-orang sebelum saya. Lagi-lagi, pasien tersebut saya obati luka borok luarnya dengan penanganan intensif selagi menunggu kabar selanjutnya. Lagi-lagi, tidak mendapat kartu kesehatan gratis sehingga harus putar otak.
  4. Penderita kanker sering membuat aturan "pantangan" diri sendiri tanpa berkonsultasi ke dokter terlebih dahulu. Bahkan Bu Sutinah menceritakan bahwa dia dulu menjauhi semua makanan enak termasuk ikan, daging, telur karena takut amisnya akan membuat nanahnya tambah bau. Wah, salah kaprah sekali pemahaman seperti itu. Jika dia menghindari MSG dan beragam pengawet tentu itu benar. Saya coba jelaskan kembali bahwa penyebab nanah amisnya bukan karena menghindari beragam makanan di atas. Justru beliau harus menjaga badannya agar tidak drop dengan banyak makan makanan bergizi, tentu saja yang sudah tidak ada pengawetnya.
  5. Mitos terakhir adalah "kanker tidak dapat disembuhkan" yang membuat orang dengan kanker (apapun jenisnya) putus asa sebelum berjuang. Memang banyak cerita tentang kanker yang berakhir pada kematian namun seluruh kasus tersebut tidak dapat dilihat sekilas dan harus dianalisis lebih dalam. Salah satu penyebabnya adalah berkembangnya stadium kanker yang cepat dan tidak dirasakan oleh penderitanya. Padahal jika kanker dideteksi lebih dini dengan cara lebih "perhatian" ke diri sendiri maka saya yakin kanker dapat diatasi sebelum menjalar semakin cepat.

Perjuangan Tanpa Lelah Mengetahui dirinya terserang kanker untuk kedua kalinya di tempat yang sama membuat Bu Sutinah saat ini berjuang untuk mengikuti pengobatan hingga tuntas agar si kanker tidak lagi kembali.  Beruntung ada Sedekah Rombongan yang dapat memfasilitasi pengobatan tersebut sehingga Bu Sutinah tidak perlu menunggu terlalu lama kartu permintaan pengobatan gratis yang sedang diurusnya. Bidan saya, Feny Mariantika menjadi penghubung yang membawa Bu Sutinah dapat terlayani bersama Sedekah Rombongan. Kali ini, Bu Sutinah menjadi pasien kanker kedua dari Bromo yang dilayani oleh Sedekah Rombongan. Selain menyediakan rumah singgah agar pasien tidak terbenani biaya perjalanan bolak balik ke rumah sakit, Sedekah Rombongan juga menanggung kebutuhan dasar seperti makan minum bagi keluarga pasien yang ikut serta menginap.  Biasanya keluarga ini berperan untuk membantu pasien mengurus berbagai macam pemeriksaan yang harus dilewati mulai dari pemeriksaan darah, rontgen bahkan penentuan stadium kanker. Keluarga inilah yang nantinya akan mendampingi pasien selama di rumah singgah bahkan hingga bolak balik ke rumah sakit. Dukungan Keluarga Terlepas dari perjuangan berat Bu Sutinah melawan kanker, dukungan keluarga adalah hal multak. Semenjak menjadi orang tua tunggal bagi ketiga anaknya (dua laki-laki, satu perempuan), Bu Sutinah terkadang menomerduakan penyakitnya demi mencari nafkah bagi keluarga. Berkenalan dengan anak-anak Bu Sutinah membuat saya mengerti bahwa perjuangan untuk sehat ini dia lakukan demi keluarga. Anto, anak kedua yang baru saja lulus SMA ini memutuskan untuk menunda meneruskan kuliahnya karena ingin berkonsentrasi merawat ibunya. Bagi saya, sosok Anto ini luar biasa. Saya ingat di bulan pertama menginjakkan kaki di Bromo, Anto sudah menjadi pasien saya yang datang dan terpaksa dirawat karena pingsan. Ternyata salah satu pemicunya adalah karena masih terbayang kepergian bapaknya sehingga merasakan beban berat hingga pingsan. Tekanan darahnya waktu itu sangat rendah namun beruntung Anto segera pulih. [caption id="attachment_279120" align="aligncenter" width="339" caption="Anto dengan medali berhasil menyelesaikan putaran Bali Marathon"]

1375491776188802112
1375491776188802112
[/caption] Tidak mau menjadi biasa-biasa saja, itu yang saya tangkap dari Anto. Dia bahkan rela berlatih lari mengelilingi desa berkilometer jauhnya demi mengikuti Bali Marathon. Bersama 10 anak desa Tosari lainnya, mereka berlatih di bawah bimbingan Shane, guru Bahasa Inggris yang dikirim dari Amerika. Hingga akhirnya perjuangan Anto sampai di tanah Bali dan itu pertama kalinya dia ke Bali. Berlari dan terus bertahan hingga menyelesaikan putaran 21,5 kilometer bukan sesuatu yang mudah baginya. Bukan kemenangan yang dia kejar melainkan menaklukkan rasa takut, rasa pantang menyerah. Bahkan dalam setiap langkah lari, dia sematkan nama ibunya. Sebuah medali sederhana dia persembahkan untuk ibunya. Kecil memang, tapi lomba marathon ini menjadi bukti dorongan semangat Anto agar ibunya terus berusaha untuk sembuh. "Saya ingin jadi AL kak. Kemarin sudah lihat pendaftaran tapi kasian ibu kalau ditinggal sendirian gak ada yang jaga. Tahun depan saya akan kuliah. Saya janji" saya tentu saja tidak dapat melupakan sejenak ucapan Anto. [caption id="attachment_279121" align="aligncenter" width="512" caption="Bali Marathon"]
1375491874381754504
1375491874381754504
[/caption] [caption id="attachment_279123" align="aligncenter" width="339" caption="Perjuangan tanpa lelah juga dibuktikan oleh Anto di Bali Marathon"]
13754919691855330187
13754919691855330187
[/caption] Bantu Pejuang Kanker Lainnya Kini, perjuangan Bu Sutinah melawan kanker dimulai lagi dari nol bahkan setiap bulan sudah dijadwalkan untuk menjalani kemoterapi dengan rutin. Beruntung tidak seperti tiga tahun lalu yang dijalani hingga muntah dan rambut rontok, kali ini Bu Sutinah terlihat lebih baik. Ada cara  mudah jika ingin membantu Bu Sutinah dan ribuan para pasien kanker di luar sana yang tidak atau belum mendapatkan pengobatan.  Follow twitter Sedekah Rombongan di @SRbergerak yang bekerja sama dengan STIMUNO FORTE yang mengadakan Ketupat Kebaikan di @dayatahantubuh. Setiap satu KLIK teman-teman di sini maka bernilai 5.000 rupiah dan dapat membantu beragam pasien yang kekurangan. Mari berbagi kebaikan di bulan penuh berkah ini. Dan bantu orang-orang di sekitar anda yang sakit. Salam Kebaikan dr.Hafiidhaturrahmah Pencerah Nusantara Tosari [caption id="attachment_279127" align="aligncenter" width="533" caption="Bersama Perawat Naele di rumah Bu Sutinah"]
137549244396920052
137549244396920052
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun