Ini salinan surat yang saya tulis dengan pena. Ketika mendapatkan listrik, naru saya salin dan simpan dalam bentuk online. Seluruhnya dikerjakan ketika mengabdikan diri di pedalaman Sumba Barat Daya dimana listrik termasuk konsumsi mewah. Surat ini ternyata panjang sekali (saya baru sadar sekarang) dan saya ambil penggalan yang berhubungan dengan hari AIDS dunia. Surat ini saya publikasikan sebagai rasa rindu saya akan para sahabat-sahabat yang telah mendahuli saya karena HIV/AIDS. Mereka adalah sahabat terbaik yang pernah saya punya. Saya dedikasikan tulisan ini untuk Komunitas Dukungan Sebaya (KDS) BHAWOR yang pernah ada di Purwokerto dari 2007. Terima kasih kepada tim VCT RSUD Margono Soekarjo yang telah banyak memberikan bimbingan selama saya bersama BHAWOR.
Pantai Ratenggaro
17 Oktober 2011
17.06
Apa kabar de?
Baru saja aku buka HP setelah menitip kawan unutk mengecesnya.Ternyata salah satu isinya adalah permintaanmu untuk menuliskan kisahku. Tidak tahu isinya akan menarik atau tidak tapi jujur ini tepat satubulan aku berda di tempat asing yang terpelosok, jauh dari fasilitas kota.Bahkan ketika kamu ingin mengetahi kisahku dari email atau sambungan internet lainya, jujur itu tidak akan membantu.
Mengharapkan sinyal disni sama beratnya seperti mengharapkan hujan turun membasahi tanah Sumba jadilah saat ini aku berada di tepi pantai untuk menuliskan kisahku.
Ini bagian dari kisahku ketika masih bekerja di ibu kota negara. Entah ke berapa kalinya datang pasien dengan motif yang sama, menggugurkan kandungan.Rasanya miris bukan ada yang tega membunuh janin yang sedang berkembang hidup dalam rahim.Apa mereka tidak perrnah berpikir panjang dari perbuatan bodoh mereka? Itulah sebanya mengapa saya sering keluar masuk SMP dan SMA untuk memberikan penyuluhan reproduksi yang hasilnya malah banyak curhatan dari mereka.Mau bagaimana? Melarang mereka berpacaran di luar batas sementara itu hal mustahil. Mau membentengi mereka dengan agama sementaara mereka sedang imabok cinta.Yang dapat dicegah adalah kebobolan dan terkena penyakit kelamin, salah satuny dengan menggunakan kondom.
Jangan kira hal itu mduah namun menyarankan mreka untuk berbuat aman lebih baik daripada kita tidak melakukan apa pun untuk menghentikan perilaku mereka. Bagi setiap yang memiliki niatan untuk menggugurkan kandunganya, selalu saya katakan untuk bertobat dan tidak menambah runtutan dosa lagi.Setidaknya boleh jadi anak yang sedang mereka kadung dapat menjadi penebus dosa kedua orang tuanya bila nantinya menjadi anak sholehah.Ceramah massal semacam ini tidak dapat diterima oleh orang yang akal pikirannya hanya ada kata "gugurkankandungan" namunn ini prinsip saya.Menggugurkan kandungan artinya membunuh nyawa yang sedang berkembang dan menentang sumpah Hipokrates dimana saya harus menghargai kehidupan mulai dari janin.
Dari berapa pasangan yang datang dengan satu tujuan tersebut, saya dipertemukan dengan gadis belia bernama Melati (nama samaran), dia datang bersama pacarnya. Beruntung pacarnya mau bertanggung jawab dan siap menikahi gadis yang baru saja tamat SMA itu. Namun Melati tetap bersikeras itidak mau hamil lantaran takut menghadapi kedua orang tuanya.
Saya hanya dapat menyalurkan semangat melindungi janinnya dan siap untuk menjadi ibu dalam usia muda.Saya katakan bahwa setiap orang tua pasti terkejut dan marah ketika tahu anaknya melakukan perbuatan salah apalagi ini hamil di luar nikah.Minta maaf dan berlututu pada orang tua dan berjanji untuk hidup lebih baik, niscaya kemarahan mereka hanya sekali itu saja.Selebihnya mereka akan terus mendukungmu mengandung cucu terkasih mereka. Yang diperlukan memang hanya keberanian untuk mengakui kesalahan dan kekuatan untuk memperbaiki diri.Saya berikan nomer kontak agar mereka simpan dan bila mereka berubah pikiran membutuhkan konsultasi dengan saya, kapan pun, saya siap.Saya selalu memberikan waktu untuk mereka mengeluarkan isi hati karena saya tidak ingin merek amencari jalan sendiri dengan melakukan aborsi yang tidak steril. Tidak lupa, saya berikan vitamin untuk si gadis karena memang di masa awal kehamilan penting kebutuhan vitamin agar janin lahir sempurna.
Hasilnya dari sekian banyak pasangan yang mendapatkan "ceramah saya", pasangan ini dibukakan hidayah untuk tidak menggugurkan kandungannya.Selang beberapa hari mereka menghubungi saya dan menyatakan sedang menjalani persiapan menikah.Orang tua Kania memang marah besar karena aib terlarang telah mencoreng muka mereka namun amarah itu perlahan hilang danmereka tidak memperlakukan Kania dengan kejam. Aku dapat memahami bagaimana orang tua ingin anaknya selalu berada direl kereta, yaitu jalan yang lurus namun orang tua yang bijaksana akan menghadapi "kenakalan" anaknya dengan bijaksana pula. Bagaimana aku tahu orang tua hanya akan marah sebentar saja? Sahabatku sudah menjalanina bahkan ketika aku maish SMP, dia sudah harus menjadi single parents bagi anak lelakinya.Beruntung orang tua yag awalnya marah masih memberikan dia ruang untuk tidak menggugurkan kandungannya.Saat ini, sang anak yang nyaris digugurkan atas permintaan si lelaki "tidak bertanggung jawab" itu sudah berada di bangku SMA.Apa jadinya jika dulu orang tua tidak mendukung sahabatku , mungkin dia kan dirundung penyesalan seumur hidup karena menggugurkan janinnya aku bersyukur pula mengenal wanita tangguh yang tidak malu mengakui kesalahannya dan tidak menggugurkan janinnya.
Mengenal Melati dan keputusannya untuk tetap mempertahankan janin itu suatu anugerah tersendiri bagiku di tengah maraknya praktek aborsi ilegal.Bahkan karena menulis kisah Kania inilah membuatku kembali membuka nomernya yang lama tidak ada kabar.Terkahir dia mengabari dan berkonsultasi tentang nyeri pinggangnya yang semakin terasa karena perutya makin membesar.Juga sempat curhat karena suaminya lebih suka melirik gadis lain yang lebih sexy lantaran tubuh sexynya hilang karena hamil.Pasangan muda yang terkadang membuatku tertawa sendiri.Bagaimana mungkin Tuhan titipkan benih di pasangan yang masih sangat muda terebut sementara sahabatku lainnya yang dengan pernikahan resmi hingga 7 tahun belum dikarunia momongan? Hal yang tidak akan pernah bisa kujawab kecuali oleh waktu, Dia yang akan menjawab batas kesabaran manusia.
Jakarta memang menyimpan banyak pengalaman tersendiri bagiku.Bahkan dari saat matahari tenggelamkemarin hingga matahari terbit lagi, kisahnya belum usai kutulis semua.Tanganku terus menulisdan masih banyak kisah lebih seru lainnya tentang ku di daerah terpencil ini.
***
Saya tersenyum sendiri membaca sms balasan dari Melati.Anaknya sudah lahir baru saja tiga hari yang lalu.Seorang laki-laki imut dan Kania bahagia menjadi ibu.Refan Oktavian nama bayinya dan dia terpaksa dikeluarkan melalui operasi Sesar karena beratnya 3,3 kg dengan pawakan Melati yang juga imut.
Mungkin kalau saya tidak menuliskan kisah ini maka nama Kania tidak mungkin muncul lagi dari daftra phonebook memory HP saya.Rasanya menyenangkan di kala ucapan sederhana kita membuat orang berubah untuk tidak jadi menggugurkan kandungannya.Jangan pernah bosan mengajak orang dalam kebaikan atau minimal menghindari dari dosa berlipat lainnya.Meskipun nantinya mereka tidak mengikuti saran kita, yang terpenting adalah kita sudah menyampaikan yang seharusnya disampaikan.
saya ingat ketika masih koas dan menghabiskan waktu di kota kecil saya, kebanyakan yang curhat adalah pemuda pemudi usia SMP hingga kuliah.Bersama sahabat saya yang menjadi single parents untuk anaknya yang sudah SMA itulah saya menjalani biro konsultasi "Cuma-Cuma".Bahkan karena saya bermain dengan si "Ibu Gaul" maka komunitas nongkrong saya juga merambah ke ibu-ibu seperti orang arisan saja.Berkenalan dengan komunitas ibu berkecenderungan menyukai wanita pun membuat saya melongo.Untung saja mereka tidak ada yang jatuh cinta pada saya, bisa berabe nanti. Belum lagi bertemu dengan para tante girang dan beberapa ibu dengan kisah rumah tangga hancur-kelam-bobrok.Mulai ibu muda dengan kecantikan luar biasa sampai yang biasa saja tampangnya membuat saya berpikir kejadian buruk dapat menimpa rumah tangga siapa pun, tanpa pandang bulu kamu orang yang beragama sekali pun. Wow…seram.
Saya beruntung pernah masuk dalam berbagai komunitas bersama dengan teman-teman yang divonis HIV/AIDS.Bagi saya, penyakit itu tidaklah terlalu menyeramkan karena terkadang bukan HIV yang membunuh mereka melainkan sikap mengucilkan merekalah yang akhirnya membuat mereka putus asa untuk hidup.
Rasanya aneh bila mengingat masa-masa itu dimana saya terkadang harus melakukan penjagaan ketat supaya sahabat saya tidak nyimeng lagi (pakai ganja).Hebatnya para pecandu adalah mereka tetap dapat secara sembunyi melakukan aktivitas "mencandunya"walaupun sudah diawasi ketat.Saya kehilangan satu sahabat saya karena dia over dosis.Kematiannya menimbulkan duka mendalam karena Tuhan memanggilnya di saaat dia sedang memperbaiki diri.Pernikahannya hanya seumur jagung padahal kami semua menjadi saksi bagaimana dia berjuang dengan HIVnya untuk menikahi gadis polos yang memang sungguh mencintainya karena menerima segala status si lelaki.Perjuangan terberatnya adalah ketika harus jujur terhadap gadis yang dicintai tersebut bahwa dirinya mengidap penyakit HIV.Bahkan saya masih harus membuat si gadis akrab terhadap dunia HIV/AIDS dengan mengajaknya dalam berbagai penyuluhan supaya tidak terkejut ketika si lelaki memberitahunya secara langsung.Dan akhirnya fase itu pun berlalu dengan jawaban si gadis yang membuat kami meleleh.Dia benar-benar mencintai sahabat saya dan siap menjalani kehidupan bersama walau suaminya nanti HIVsekali pun.Giliran saya pun tiba dimana saya meminta si gadis dengan sukarela mengunjungi kilinik VCT untuk lebih banyak belajar.
Saya jelaskan bahwa orang normal yang menikah dengan orang yang masih dapat mempunyai anak keturunan.Penularan terhadap virus tersebut pun masih dapat dihindari.Bahkan jika keduanya HIV sekali pun masih dapat diusahakan untuk mendapatkan keturunan yang tidak HIV juga tentunya dengan berbagai teknologi.Penjelasan saya dimengerti dengan cukup baik karena si gadis memang mencintai si lelaki tulus.Yah…saya dapat melihat itu dari sorot matanya.Sayang, kebersamaan mereka dalam pernihakan tidak lama.
Dua hari sebelum kematian sahabat laki-laki saya itu, dia bersama istrinya masih singgah di rumah saya, duduk di sofa cokelat, posisi pojok seperti biasa.Tidak ada yang aneh kecuali dia menanyakan kapan jadwal pengajian papa saya karena dia ingin sekali mengaji.Selebihnya dia tanya kapan saya menyelesaikan gelar dokter saya dan memeriksa istrinya jika hamil nanti.
Kelakar yang sempurna, pikir saya dan setelah dia ditemukan terbujur kaku, saya tidak habis pikir ini amanat terakhirnya agar saya menjaga istrinya.Bagi kami, kehilangan sosok dia sama dengan kehilangan sosoksahabat terbaik saya.Kami pernah mengendarai motor bersama hingga ke kabupaten tetangga yang jaraknya dua jam perjalanan hanya untuk mencari rumah kakek yang mengantarkan dua cucunya memeriksakan diri di VCT tempat saya belajar.Orang tuda dari cucu tersebut meninggal karena HIV dan hasil cucunya pun positif hanya saja sang kakek tidak pernah lagi mau membawa cucunya berobat.Entah alasan sosial atau ekonomi, untuk itulah kami mencari rumah si kakek.Sesampainya di rumah dengan pencarian yang melelahkan, kami bertemu si kakek.Tidak semua anggota keluarga si kakek tahu penyakit si cucu dan si kakek pun sepertinya tidak mengerti dengan jelas.Dia hanya tidak ingin isi desa geger karena orang rumah sakit sering mendatangi dirinya padahal ini kali pertamanya kami datang dan itu pun dengan pakaian orang awam.Kami mencoba menjelaskan lagi, minimal agar si kakek membawa cu cunya kontrol.Miris rasanya, di Swedia waktu saya mendapat kesempatan untuk belajar sejenak mengenai HIV, anak-anak yang terkena HIV dikumpulkan dalam suatu perkemahan dimana tidak ada aktivitas memotret, merekam atau pun publikasi apa pun terhadap wajah si anak.Undangan kemah tersebut pun tidak menggunakan embel-embel si anak "HIV". Mereka sengaja melakukan untuk melindungi si anak adan agar si anak menganggap dirinya sama seperti orang lain yang tidak HIV.Dalam perkemahan tersebut akan diperkenalkan anak lainnya sehingga mereka termotivasi.Di negera saya, wah…jangankan mengurusi anak yang terkena HIV, mengurusi orang dewasa HIV saja masih harus penuh dengan perbaikan sistem di sana sini.Kami tidak memaksa si kakek karena keadaan ekonominya juga tidak mendukung untuk si kakek membawa cucunya rutin ke kota kami.Lagi-lagi, walaupun pengobatan gratis, tetap saja biaya transportasi masih menjadi kenadala sehari-hari. Hingga detik ini saya menuliskan kisah si kakek, dan cucunya sudah berada di sekolah dasar (seharusnya), saya masih kehilangan kontak tentang kabar cucunya.Semoga baik-baik saja.
Bersama sahabat saya itu juga kami menempuh perjalanan terjal hanya untuk menemui mantan TKW yang masih berada di kota si kakek.Sederhana, saya masih ingat awal-awal perjuangan kami saat itu terasa berat karena harus meyakinkan kawan-kawan yang diketahui HIV positif untuk mau minum obat.Rasa tidak menerima atas penyakit yang dideritanya bahkan mungkin bukan karena kesalahan dia membuat orang banyak memilih untuk tidak minum obat.Namun kami terus mendampingi mereka hingga akhirnya mereka melewati masa sulit di awal-awal proses minum ARV.Termasuk teman saya tersebut.Cukup terkejut ketika saya menemuinya dalam keadaan lemas, hanya berbalut kulit.Dia nyaris menyerah minum obat karena rasanya lemas dan ingin muntah.Beberapa obat memang ada yang menimbulkan efek seperti itu dan untuk itulah kami mengontrol sembari memberinya semangat.
Bekerja sama dengannya sangat menyenangkan karena kami berbagi energi positif selalu.Walau saya bukan OHDHA (Orang Hidup dengan HIV/AIDS), hidup bersama mereka bukan hal yang tabu.Bagi saya, mereka sama seperti orang normal pada umumnya. Tidak akan ada yang mengira kalau lelaki ganteng dengan badan sixpack di hadapan saya ini positif HIV.Melihat orang HIV sama seperti melihat diri kita di hadapan cermin, kita melihat diri kita sendiri alias tidak dapat diketahui mana orang sebelum dilakukan tes darah.
Saya ingat pertama kalinya bertemu dengan HIV ketika saya membantu teman saya di LSM HIV untuk memeriksa komunitas yang menggunakan NAPZA di kota lain.Waktu itu saya iyakan saja karena toh dari awal saya sudah mengenal beberapa pengguna NAPZA sebelumnya.Hingga akhirnya di hadapan saya muncul lelaki yang saya ceritakan tadi, ganteng bertubuh ideal.Tidak ada tanda-tanda dia seperti pengguna NAPZA dan saya tetap memeriksanya dengan detail sampai akhirnya saya merasa ada sesuatu yang menyentuh tangan saya.
Yah, lelaki di hadapan saya itu menyentuhkan telapak tangannya di tangan saya.Saya terkejut, namun ucapannya selanjutnya lebih membuat saya terkejut.
"Saya HIV loh.Kalau saya sentuh tangan saya seperti ini bagaimana?"
Aih…saat itu saya masih duduk di bangku kuliah kedokteran dan semua teori HIV sudah saya tahu.Menyentuhkan tangan, berenang, makan bersama, menggunakan toilet bersama tidak akan menularkan karena HIV hanya menular melalui kontak sexual atau darah.Saya tahu teorinya tetapi dihadapkan pada kejadian yang sangat amat mendadak membuat saya terdiam sejenak.
"Yah tidak ada masalah" akhirnya saya menjawab.
"Ah masa tidak takut nanti ketularan HIV dari saya" dia masih memancing saya. Rupanya lelaki di hadapan saya ini termasuk ODHA yang super Pede karena dia jelas-jelas memproklamirkan dirinya HIV di hadapan saya.Jika banyak orang akan menyembunyikan status HIVnya maka lelaki di hadapan saya ini beda.Bagi dia, HIV atau tidak sama saja, tetap terlihat seperti orang normal.
"Tenang saja, tidak ada luka di tanganmu kan" begitu ujar saya kemudian walaupun saya mencoba mengingat-ingat ada tidak luka kecil di tangan saya tadi. Maklum, virus HIV itu super kecil sehingga luka kecil sekalipun jika bersentuhan dengan luka penderita HIV yang mengandung darah maka boleh menjadi ajang penularan juga.
Setelahnya, lelaki itu menjadi salah satu sahabat saya dalam dunia HIV juga. Mengajari saya banyak hal tentang kebiasaan orang HIV dan macam-macamnya.Minimal, saya sudah melewati terapi HIV saat itu bukan.
Bersama dia, dan juga si "ibu gaul", kami mendirikan komunitas dukungan terhadap orang yang HIV.Kami menjadi pendamping beberapa pasien HIV di VCT saya.Saya dengan badan subur smeentara si ibu gaul dengan badan kerempeng. Kami berdua sering sekali dijadikan perbandingan oleh dokter yang menangani HIV. Pernah sekali kami mengunjungi pasien HIV yang dirawat inap di RS tersebut.Kondisi pasien sudah parah, hanya tinggal tulang saja dan lemah. Masih beruntung dapat bicara walau terbatas karena ada jamur yang tumbuh di mulutnya.Dia sempat menolak minum obat karena seperti biasa, penolakan terhadap penyakitnya.
Saya dan sahabat saya pun kerap menjadi pendamping di VCT. S aya dengan badan subuir dan sabat saya dengan badan kerempeng.Pernah sekali waktu, pasien HIV positif sudah menunjukkan gejala AIDS.Badannya sudah hanya tulang belulang berbalut kulit saja. Wajahnya tirus sekali nyaris seperti mayat hidup apalagi ditambah semangatnya yang mulai pudar.Dengan terbata dia mendengarkan penjalasan dokter untuk minum ARV.
"Kalau saya minum obat, saya bisa seperti dia?" saya terkejut ketika telunjuk tinggal tulang itu menunjuk pelan pada tubuh subur saya.Nyaris saja kami terbahak-bahak karena memang seiring dengan seringnya saya berinteraksi bersama mereka, sampais aya lupa bahwa badan saya bisa dijadikan contoh.Tapi memang benar, wanita kurus itu termasuk semangat dalam minum obat.Saya nyaris tidak mengenalinya ketika dua bulan kemudian dia kontrol di VCT. Wow, perubahan luiar biasa menurut saya dari berbalutkan tulang menjadi sedikit "berisi".
Namun, saya tidak dapat melupakan wajah dek Mawar (bukan nama yang sebenarnya).Saya menemuinya malah ketika saya bertugas sebagai dokter muda di bagian anak.Setiap dokter muda nharus bertanggung jawab terhadap beberapa pasien dan dek Mawar bukan pasien tanggung jawab saya.Menatapnya pertama kali ketika kunjunganbesar pasien oleh dokter spesialis aak membuat saya berpikir ada penyakit lain dalam dirinya.Ternyata benar, selalin menderita TB Paru, gizi buruk, dek Mawar juga divonis HIV positif dari orang tuanya yang TKW dan sudah meninggal.
Setiap sore saya menyempatkan diri memasuki kamar khususnyayang terisolasi.Memberinya buku bacaan dan dek Mawar termsuk cerdas karena keesokan harinya sudah dapat menceritakan kembali isi ceritanya.Lebihd ari 20 hari dek Mawar dirawat karena gizi buruknya harus mendapatkan tambahan nutrisi ketat sementara dia paling tidak dapat mengunyah makanan.Slelang makanan pun terpaksa dimasukkan dari lubang hidung hingga langsung ke lambungnya.Menyakitkan memang, lebih dari sekadar dipasang infus tapi tidak ada cara lain lagi.Ketika sudah dapat mulai mengunyah karena jamur di lidahnya sudah berkurang, selang makanan pun kami lepas.Beberapa LSM juga sempat datang untuk memberikan dukungan materiil.Saya selalu ingat tatapan cerdas dek Mawar yang selalu ingin pulang setiap hari. Dia bilang dia harus masuk sekolah karena ibu guru dan teman-temannya sudah menunggu.Akhirnya, keluarganya yang terdiri dari tantenya pun memandatangani surat pulang atas permintaan sendirii.Tepat dua hari setelah mereka pulang, saya mendapat kabar sms dari tantenya bahwa dek Mawar telah benar-benar pulang.Dia menitipkan salamnya untuk saya. Ah..gadis mungil itu tidak seharusnya menderita dengan penyakit yang diturunkan didapatkan dari ibunya tersebut.Gadis seusianya dengan kecerdasan selalu jadi nomer "satu" di . Kelas itu mengajarkan arti kesabaran dan semangat berjuang melepaskan diri dari rasa sakit.
Bayangan wajahnya di kala nafasnya sudah mulai sesak karena cairan di perutnya juga naik sampai ke paru-paru masih tidak dapat dihilangkan dari pelupuk mata saya.Saya tahu itu sangat menyiksa, bernafas dengan menghirup cauiran yang memperberat nafasnya saja. Tapi dek Mawar memang luar biasa, dia tetap tersenyum.
Saya beriharap tidak ada Mawar-Mawar lain di luar sana yang juga diinggalkan oleh para orangtua mereka dengan status HIV positif.
***
Salam Erat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H