Ini cerita tentang sesuatu yang benar-benar keterlaluan, setelah dipikir-pikir. Dua hari lalu saya main ke seorang teman yang tinggal di daerah Pinang Ranti Jakarta Timur. Saya naik Bus Way, sebagai warga Jakarta sekarang angkutan favorit saya Busway dan KRL, karena meski sering berdesakan tapi lumayan bisa diandalkan untuk kecepatan sampainya. Dan hal yang kini saya rasa sebagai keterlaluan, dan sedang saya ceritakan ini, adalah tentang pengalaman naik angkutan warga ibukota itu.
Begini, kemarin saat mau ke Pinang Ranti itu, saya masuk ke halte Busway seperti biasa dengan membeli tiket sobek. Sampai saat ini setahu saya tiket sobek adalah tiket utama Transjakarta, setelah dengan metode kartu-pada awal pengoprasian-gagal total. Walaupun kini sistem kartu kembali berlaku dengan melibatkan beberapa bank, tapi hanya pada halte tertentu sistem kartu ini memungkinkan. Jadi saya anggap tiket sobek lah yang utama.
Dan hal keterlaluannya di sini, padahal di jalur yang halte-haltenya semua berlaku tiket kartu saja masih menjual tiket sobek, ketika saya hendak pulang lalu masuk ke halte Garuda TMII kemudian membeli tiket, ternyata petugas loket hanya menawarkan Kartu Flazz produk BCA. Saya yang hendak membeli tiket sobek pun tidak bisa, karena katanya sudah tidak menjual tiket sobek dan memang tak tampak ada gepokan tiket di meja loket. Melihat tak ada tiket kertas otomatis saya nurut dengan maunya petugas loket itu, maka yang tadinya saya hanya mengeluarkan dari kantong uang 3.500 rupiah harus nambah jadi 25.000 rupiah sesuai harga Kartu Flazz itu dengan saldo 20.000 rupiah.
Dalam perjalanan di bus yang kosong saya mikir-mikir kecil, dan hasilnya saya merasa baru ditodong dan dipaksa membeli produk suatu perusahaan tertentu. Bagi saya yang langganan Busway dan KRL sebenarnya tak ada masalah, karena kartu Flazz ini tak cuma bisa dipakai di Busway. Cuma kenapa tak ada tiket sobek di sana padahal tiket itu masih berlaku. Bagaimana dengan orang yang akan naik Busway untuk suatu keperluan mendesak dengan uang yang hanya cukup untuk naik angkutan satu ini, apakah calon penumpang ini harus kecewa tak bisa pergi karena tak mungkin membeli kartu Flazz. Lalu bayangkan juga ada warga dari kampung di luar Jakarta yang sedang berkunjung ke ibukota, apakah harus membeli Flazz juga padahal mungkin dia hanya sekali itu saja menggunakan Busway dan tak punya kemungkinan untuk memanfaatkannya lagi di l;ain waktu? Bagi saya ini jelas keterlaluan.
Kita tengok KRL, sudah berlaku total sistem tiket kartu, namun kartu itu milik pengelola dan dalam prosesnya penumpang tetap dibikin nyaman, lalu kenapa sistem yang sukses ini tak diadopsi? Sedang penggunaan Flazz dan sejenisnya itu mestinya sukarela sifatnya sesuai keinginan pengguna. Jadi memanfaatkan loket halte Busway untuk menjual produk suatu bank dengan cara memaksa jelas keterlaluan. Lebih keterlaluan karena tiket sobek tetap masih dijual di halte-halte Busway yang lain, bahkan di jalur top Blok M-Kota.
Sudah pasti ini masalah, cuma karena saya malas mengadu ke YLKI atau Jokowi yang sedang sibuk nyapres, maka saya tulis saja di sini. Bagaimana dong?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H