Mohon tunggu...
Avinindita Nura Lestari
Avinindita Nura Lestari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Kelahiran '97. Suka menulis puisi sejak TK. Melankolis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Refleksi

1 Januari 2015   19:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:01 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Halo, dua ribu lima belas. Selamat datang.

Wah, cepat sekali! Banyak sekali urusan duniawi yang ditargetkan dan harus dikejar sekarang. Harus siap tenaga dan pikiran yang bakal dirodi. Tapi kemarin terlalu banyak turbulensi, juga drama. Hehehehe…oleh karena itu, Semesta, aku ingin mencapai keseimbangan.

Aku tahu turbulensi itu penting tapi mengingat aku yang selalu berkata “I wanna roam” , sepertinya aku lupa bahwa masih banyak samudera yang belum kurasakan airnya, fauna yang belum sempat kusentuh, perbukitan yang belum kulintasi dengan balon udara; namun turbulensi dan drama kemarin dengan bodohnya aku rasionalisasikan dan menjadikanku diam di tempat.

Woo-hoo..did I being too hard on myself?

Seperti iklan minum susu, katanya tetesan paling enak adalah tetes terakhir. Tapi iklan itu begitu menyebalkan, kenapa baru bisa kurasakan nikmat di tetes paling terakhir? Bagaimana jika di tegukan-tegukan yang padahal menuju akhir aku merasa mual?

Tapi aku hadir di penghujung tahun, layaknya Miss Brightside. Bukan aku yang mencari kesimpulan-kesimpulan rumit atas segala turbulensi, bukan. Tapi seiring waktu itu datang. Apakah kamu yang membawa, duhai Semesta?

Semesta, aku hidup dalammu. Aku hidup di dalam jaring-jaring manusia, yang walaupun sama sama berkiblat pada sang bintang tata surya, dan sama-sama mengeluarkan karbondioksida, mengapa rasanya benteng dari dunia luar memang tetap diperlukan ya?

Banyak sekali kontakku dengan manusia di dalam jarring-jaringnya. Banyak dari mereka yang jauh kemudian mendekat, banyak dari mereka yang mendekat kemudian jauh. Tapi banyak juga yang bergerak bagai partikel mengelilingi pusat atomnya, yang terdiri dari harapan dan mimpi-mimpi manusia, tapi pernah begitu mesra dan mencinta. Banyak juga yang memotong lintasan terbangku. Banyak sekali, semesta.

Ada kedekatan yang tercipta, ada rasa kepercayaan yang tercipta. Sedekat-dekatnya ibu, sedekat-dekatnya sahabat…sebesar apapun rasa kepercayaan dan ingin berbagi tentang suatu hal..entah mengapa, Semesta. Rasanya, semakin aku mencari jawaban semakin aku ragu. Bukan meragukan mereka, tapi makin aku sadari bahwa, segala sesuatu kadang sudah kuketahui jawabannya, tapi aku tetap membuang waktuku, memuaskan egoku untuk mencari apakah aku ada di pihak yang benar atau tidak. Sekalinya dari penuturan mereka kudengar aku benar, rasanya aku menang….sekalinya dari sudut pandang yang berbeda aku dipojokkan, it feels like I wanna rush to the stars. Dan buat apa itu semua, toh aku tidak akan pernah puas akan jawaban-jawaban. Benakku jadi berperang sendiri. Pemuasan egokah atau jawaban yang aku cari?

Aku tahu ada di limit dimana aku harus berhenti bertanya karena aku sendiri tahu, manusia-manusia suka sekali menggeneralisasi, Semesta. Baik itu menggeneralisasi keadaan, ataupun manusia. Seakan-akan tahu semuanya.

Sedangkan aku tahu, bahwa jaring-jaring manusia, ‘kasta’ yang manusia sendiri ciptakan, hubungan di antara mereka, intrik perbincangan, hingga tatap mata mereka sungguhlah kompleks. Walaupun aku manusia, tapi aku tidak suka menjadi objek generalisasi sesamaku, Semesta. Banyak dari mereka yang tidak mengetahui apa yang kau, aku, dan pencipta kita ketahui.

Akhir-akhir ini, Semesta, aku sungguh tidak menyukai pertanyaan yang mengharuskan aku membandingkan suatu perihal, apalagi manusia. Ya, buatku itu sangat sensitif.

Dari apa yang aku alami sebagaimana aku merefleksikan diriku sendiri…Dua orang manusia, di suatu ruang dan waktu yang sama pun tidak bisa dibandingkan. Disana ada nalar, ada kecerdasan, ada pertimbangan, ada pengalaman, ada selera, bahkan ada perasaan yang berbicara ketika seseorang membuat pilihan. Kadang ada sisi lain dari kita yang suka ingin mempelajari manusia, dan aku pun sama.

Semesta…Apakah itu alami yang baru aku sadari seiring tumbuhnya aku, atau karena manusia sekarang menjadi sangat suka berpenilaian? How should I survive, in silence?

Makin kesini makin kuhindari Yes/No question, Semesta. Aku tidak ingin manusia-manusia sesamaku menjadikan segala hal yang kompleks,apalagi menyangkut perasaan dan pemikiran manusia lainnya, dibatasi hanya dengan satu kata ‘ya’ dan ‘tidak’. Segala sesuatu yang mengharuskan aku menghadapi semuanya dengan kacamata hitam dan putih menjadi memuakkan. Mengapa segala hal harus dilabeli dengan kata-kata sifat yang padahal sungguh terbatas di dalam kamus?

Duhai, Semesta. Aku telah melewati turbulensi.

Bertanya mengenai kebolehjadian yang terjadi di diri kita kepada manusia lain seperti berlari di labirin yang menjemukan.

Pada akhirnya, penyelamatku adalah aku dan penciptaku sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun