Indahnya langit sore membawaku terjerumus dalam lamunan tak berpenghujung. Aku melihatnya. Melihat lekuk lesung pipinya nan menggemaskan. Dan aku melihatnya, lagi. Kerlingan dalam setiap kedip matanya yang mampu menghipnotisku hingga untuk beberapa saat ku tak mampu lagi berdiri dihadapannya, walau hanya dalam lamunan.
Sesaat kucerna kembali pikirku dalam lamunku. Akankah dia kembali? Akankah dia masih terjaga walau hanya dalam sentuhan katup mulut dalam setiap bait doa? Aku terlalu muna untuk membenarkan ataupun menolak semua kenyataan itu.
Indahnya kala itu...
Kala dimana sajak burung bernyanyi disertai desisan gesek ilalang nan rimbun di tengah ladang membentang. Semua terasa menentramkan. Semua terasa menjadi satu dalam satu genggaman. Indah, inginku ulang semua itu. Namun apadaya, ketika suara petir telah menggelegar. Ketika awan hitam mulai membumbung tinggi di angkasa. Waktunya untuk seorang anak gadis nan mungil kembali ke peraduannya. Kembali pada pelukan sang bunda. Mengadu pada ayah tentang siapa yang telah merusak bunganya, mengadu pada kakak tentang siapa yang tadi bermain bersamanya dan bersedia menggantikannya sebagai kuda.
Itulah Delima, riang dan teduh wajahnya mampu membuat siapa saja menjadi tak tega pun hanya untuk mencubit pipinya. Rengekan di setiap kata ingin yang keluar dari mulut mungilnya, dapat membuat kata tidak seketika menjadi ya untuk apapun.
Oh Delima...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H