Mohon tunggu...
Avilla D Ratnafuri
Avilla D Ratnafuri Mohon Tunggu... Lainnya - IR Student

Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Globalisasi Ekonomi Ala Konsensus Washington: Benarkah IMF dan Bank Dunia Menjadi Predator Kemiskinan bagi Negara Berkembang?

21 Maret 2023   08:08 Diperbarui: 21 Maret 2023   08:26 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Polemik mengenai arus globalisasi semakin aktif diperbincangkan di berbagai belahan dunia. Setiap negara sibuk untuk menata kehidupan demi memanfaatkan arus globalisasi, entah sebagai tantangan atau ajang dalam menakhlukkan dunia. Terlepas dari berbagai perdebatan sudut pandang, perkembangan pasar global yang disusul dengan kemajuan di bidang teknologi informasi seakan mempersilahkan arus globalisasi untuk menjamah ke dalam peradaban. Menurut Sri Edi Swasono (2003), Globalisasi sebagai bagian dari tuntutan sejarah bukan sebagai pilihan namun menjadi realitas yang harus diterima. Dengan begitu, dunia harus mempersiapkan mental baja dalam menghadapi arus globalisasi. Akan tetapi, Sri Edi juga menambahkan jika secara objektif globalisasi dipenuhi dengan janji-janji namun isinya kosong dimana pemerintah globalnya secara terang-terangan menjadi predatoris ekonomi global. Oleh sebab itu, kedatangan globalisasi telah memberikan pengaruh besar terhadap gelombang perubahan ekonomi global.

Perkembangan globalisasi ekonomi menciptakan ketergantungan antar negara, sehingga menimbulkan banyak perubahan pada arus sirkulasi global. Dampak yang terlihat pada perubahan tersebut pada dasarnya hasil dari geliat pasar (market led) sehingga terjadi pergeseran kekuasaan dari sistem politik menuju sistem ekonomi. Selain itu, penolakan terhadap globalisasi ekonomi didasarkan pada prinsip kepentingan diri sendiri, mekanisme pasar bebas, persaingan ketat, serta mengutamakan pertumbuhan dibanding pemerataan. Hal tersebut juga memanifestasikan kebijakan ekonomi bersifat ketergantungan antar negara. Akan tetapi, kebijakan tersebut diambil alih oleh negara-negara industri maju dan institusi tertentu.

Dalam implikasinya, globalisasi dinilai tidak dapat menjamin keadilan karena adanya dorongan semangat saling mengalahkan. Selain itu, lepas kontrolnya proses globalisasi dimana banyak kemunculan pasar tanpa wajah (faceless market) serta mendorong adanya dominasi kekuatan yang dapat menenggelamkan negara berkembang. Oleh sebab itu, terdapat dua oligarki globalisasi ekonomi yaitu International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Namun, pada Januari 2004 dalam WSF IV di Mumbay telah terungkap fakta baru jika tidak hanya IMF dan Bank Dunia tetapi muncul MNCs yang memiliki kekuatan dominasi dalam menekan negara-negara berkembang dengan mempersilahkan perusahaan MNCs memasuki otoritasnya sembari meningkatkan subsidi dinegaranya.

Sebelum mengetahui implikasi apa saja yang dilancarkan oleh oligarki di atas dalam menyokong globalisasi terbuka, alangkah baiknya kita membahas mengenai sejarah singkat lahirnya kedua komplotan tersebut. Pada awalnya, John Maynard Keynes menawarkan resep ekonomi untuk rekontruksi Eropa pasca Perang Dunia II dalam konferensi Bretton Woods. Keynes berpandangan bahwa peran pemerintah sangat penting dalam upaya rekontruksi Eropa. Gagasan tersebut dijadikan sebagai landasan oleh AS dalam membangun kembali Eropa melalui program "Marshall Plan" yang mengansumsikan bahwa campur tangan negara dalam dinamika perekonomian dimana akan diterapkan pada negara dunia ketiga yang sedang mengalami keterpurukan pasca Perang Dunia II. Agar wac  ana tersebut terealisasikan, AS menjanjikan rencana diskursus pembangunan bagi negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Washington Consensus

Berbeda dengan pasca perang dingin, memasuki era globalisasi negara-negara Barat semakin memperkuat proyek tersebut dengan sebuah kesepakatan bernama "Konsensus Washington". Butir demi butir yang dihasilkan oleh Washington Consensus menjadi syarat berfungsinya mekanisme pasar. Akan tetapi, kebijakan tersebut acap kali dijadikan sebagai alat dalam mewujudkan sistem finansial menuju arah lebih baik. Gagasan ini sebagai bagian dari kesamaan pandangan para ilmuwan neo liberal yang berasal dari pemerintah AS, Bank Dunia, dan IMF yang terlibat dalam satu kepentingan perekonomian global.

Pernyataan di atas, diperkuat dengan pendapat para pakar ekonom yang menyatakan bahwa Washington Consensus (1989) bagian dari strategi negara Barat dalam menjalankan misi penghisapam dan pemiskinan atas negara berkembang. Dalam kesepakatan tersebut, terdapat 3 pilar utama, yaitu : stabilitas makroekonomi, liberalisasi, dan privitisasi. Paket kebijakan yang tersusun telah diformulasikan untuk membangkitkan perekonomian negara Amerika Latin yang mengalami krisis. Seiring dengan perkembangannya, kebijakan yang dihasilkan oleh Konsensus Washington bersifat one size fits all. Hal tersebut dimaksudkan jika semua negara dunia ketiga (NDK: Asia, Afrika, Amerika Latin) yang berurusan dengan lembaga IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan AS dipaksa untuk melaksanakan paket kebijakan yang telah ditentukan. Lantas, bagaimana implikasi Washington Consensus dalam melancarkan misinya?

Ekonomi Politik Campur Tangan IMF dan Bank Dunia

Pada tataran dunia internasional, terdapat dua lembaga "super" dalam menciptakan sistem ekonomi pasar bebas. Implikasi sistem ekonomi internasional melalui pendekatan Neoliberalisme menyebutkan International Monetary Fund (IMF) dan Bank Indonesia sebagai kunci mekanisme globalisasi ekonomi. Jika dilihat, IMF dan Bank Dunia merupakan bagian dari media aplikatif dari kesepakatan Washington dalam menjalankan misi rahasianya. Kedua lembaga tersebut bagian dari isi kesepakatan sebagai lembaga multilateral dalam menyelesaikan berbagai problematika ekonomi pasca Perang Dingin hingga era globalisasi saat ini. Lalu, apakah peran IMF dan Bank Dunia dalam dinamika ekonomi politik?

Pada Konferensi Bretton Woods (1944), lembaga multilateral tersebut telah dibentuk untuk menyelesaikan persoalan di bidang pembangunan ekonomi dan moneter. Lembaga yang diberikan mandat untuk menangani persoalan pembangunan ekonomi yaitu Bank Dunia. Bank Dunia beroperasi dengan merealisasikan kebijakan utang luar negeri dimana dapat digunakan sebagai proyek pembangunan infrastruktur, pendidikan, kemiskinan, ekologi, dan lain-lain. Sedangkan di bidang moneter telah terbentuk IMF yang memiliki mandat untuk mengkoordinir sistem keuangan sekaligus nilai tukar internasional. Misi dari IMF sendiri disusun untuk menolong negara-negara yang mengalami kesulitan keuangan melalui pinjaman utang luar negeri yang diharapkan dapat menstabilkan ekonomi global.

Meskipun keduanya ditujukan untuk menstabilkan tingkat perekonomian global, namun tetap memberikan efek ketergantungan bagi negara kreditur. Ketergantungan tersebut menjadikan Amerika Serikat sebagai raksasa korporasi ekonomi global. Sudah pasti kebijakan ini dijadikan sebagai bagian dari strategi politik AS dalam mencapai keuntungan sepihak. Hal ini menjadi bagian dari konsekuensi yang harus diterima oleh negara peminjam dalam menghadapi lembaga yang berideologi Neoliberalisme. Ajaran Neoliberalisme memiliki misi untuk mengurangi keterlibatan negara sekaligus menggantikannya dengan dominasi pasar sebagai tolak ukur dalam mengatur sistem perekonomian.  Lalu, apakah hal tersebut dapat menimbulkan kontroversi bagi negara berkembang?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun