Pendidikan pemilih yang efektif untuk generasi muda adalah pendidikan pemilih disampaikan dengan cara yang relevan dan inovatif sebagai landasan bagaimana memilih dengan cermat sesuai dengan cita-cita negara Indonesia. Kita dapat belajar praktik baik dari setidaknya tiga negara berikut.
Negara pertama adalah Filipina, melalui The Parish Pastoral Council for Responsible Voting (PPCRV). PPCRV merupakan gerakan politik non-partisan berbasis paroki nasional yang didirikan pada tahun 1991. Komisi Pemilihan Umum Filipina mengakreditasi PPCRV pada tahun 1992 dan menjadi mitra terpercaya dalam penyelenggaraan pemilu serta memiliki misi untuk memastikan pemilu yang bersih dan jujur.
Setiap pemilu, PPCRV meluncurkan program pendidikan pemilih agar pemilih lebih terinformasi dan terus membuat beberapa pendekatan baru untuk beradaptasi dan memperluas jangkauannya ke pemilih baru dan muda.
Pada Pemilu 2019, PPCRV meluncurkan pendidikan pemilih daring yang kemudian disempurnakan di tahun 2022 dengan berfokus pada 16 nilai yang diabadikan dalam Konstitusi serta terdiri dari 5 modul dan 16 panduan pelatih mengenai nilai kewarganegaraan yang baik serta dapat diakses kapan dan di mana saja pada platform Learning Management System (LMS) secara daring oleh pemilih.
Negara kedua adalah Australia, melalui kurikulum Demokrasi Memimpin atau Democracy Rules (DR). DR merupakan sumber pendidikan pemilih berbasis pertanyaan (enquiry-based) yang meliputi panduan mengajar, interaksi daring dan aktivitas yang dapat dicetak untuk siswa. DR merupakan pembelajaran yang relevan untuk digunakan lintas kurikulum Australia, khususnya untuk mata pelajaran Kewarganegaraan,Â
Sejarah dan Politik Australia, Studi mengenai Suku Asli, serta Studi mengenai Australia dan Asia Pasifik. Kurikulum DR menyediakan latar belakang pengetahuan yang dapat memberdayakan guru untuk dengan percaya diri memimpin siswa dalam pendidikan pemilih.
Negara ketiga adalah Korea Selatan, melalui program Majelis anak atau The Children's Assembly (TCA). TCA pertama kali diperkenalkan di tahun 2005 yang bertujuan untuk memperkuat demokrasi melalui peningkatan pemahaman publik akan peran parlemen dan pemisahan kekuasaan. Peserta adalah siswa kelas 6 SD yang mengidentifikasi isu-isu menarik dekat rumah, seperti di sekolah dan masyarakat setempat, atau masalah sosial di tingkat nasional.Â
Melalui dialog, debat, diskusi, dan kompromi, siswa mencari cara untuk mengatasi masalah, dan menyiapkan solusi dalam bentuk peraturan legislatif. Beberapa proposal dari TCA telah menjadi Undang-Undang setelah diperkenalkan ke parlemen dalam bentuk RUU anggota, diantaranya UU tentang "peraturan jam game online untuk remaja" sehingga ilegal bagi penyedia untuk memberikan akses ke game online kepada anak-anak di bawah usia 16 tahun pada waktu-waktu tertentu.
Kegiatan TCA ini unik karena menyasar anak usia 12 tahun yang masih cukup jauh dari usia memilih, namun memperlengkapi calon pemilih sedini mungkin akan proses demokrasi sehingga siap ketika waktunya memilih dan berpartisipasi politik. Hal ini penting mengingat Korea Selatan telah menurunkan batas usia calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari usia 25 tahun menjadi 18 tahun.
Indonesia pun memiliki Pancasila yang menjadi dasar untuk pendidikan pemilih berbasis prinsip other-oriented freedom. Perlu kolaborasi dan tekad yang kuat untuk mewujudkannya menjadi pembelajaran yang relevan dan inovatif bagi generasi muda merdeka.Â