Dag…, Dig…., Dug….,
Wush….., aku berlari dengan cepat menuju kamar asrama. Segera aku berrganti baju dengan baby doll oranye yang terakhir kali dibelikan oleh ibuku. Aku berlari sekuat tenaga dari pintu gerbang asrama sampai ujung lapangan, tepatnya lorong tempat menuju kamarku. Baby doll , daster dan sejenisnya adalah baju paling nyaman sedunia. Benar-benar nyaman. Tapi, secepatnya celana jeans ku ganti dengan kain lembut khas baby doll. aku sudah tidak tahan lagi. Berkali-kali aku mendesis menahan kesakitan pada perutku. Perut ini berasa mau meledakkan sesuatu yang ada didalamnya. Aku pasrah, apa yang telah terjadi di kamar mandi beberapa detik kemudian. Aku membludak menuju kamar mandi yang terletak di luar asrama. Inilah kehidupan asrama. Asrama dengan segala suka dan dukanya. Disetiap tempat pun selalu ada cerita, tak terkecuali kamar mandi yang selalu dibutuhkan di setiap waktu. Mulai dari air yang asat karena musim kemarau hingga limpahan air pada saat musim hujan. Seperti sekarang ini, problematika soal cuci mencuci. Bayangkan saja, pada saat musim kemarau para murid kesulitan mencuci karena keterbatasan air, jangankan untuk mencuci, untuk mandi saja kadang harus mengantri mulai jam setengah tiga pagi agar kebagian air. Namun, pada saat musin hujan, air berlimpah untuk mencuci pakaian dan segala macamnya, namun benar-benar sangat sulit mencari matahari muncul tanpa rintikan hujan, kami, para murid kebingungan mencari lahan menjemur anti hujan. Namun sangat sulit sekali untuk dilakukan. Maka dari itu jasa laundry di kalangan murid-murid benar-benar berarti pada nasib seragam mereka esok hari. Namun itu hanya terjadi pada sebagian orang. Dan aku bukanlah diantara sebagian orang tersebut yang memilih untuk melaundrykan pakaiannya. Aku hanyalah anak manusia yang dikirim ke asrama ini untuk bisa mandiri, dan aku menyadari hal itu. Jadi aku memutuskan untuk mencuci segala pakaianku sendiri. Dan sampai saat ini aku tidak laundry barang satu helai pakaian pun. Semoga bertahan hingga akhir aku menempuh ilmu di asramaku.
Lanjut dari kisah sakit perutku tadi. Sepertinya aku kebanyakan makan hingga perutku kesakitan. Maklumlah, sehabis dari acara ulang tahun seorang teman, menjadikan kesempatan sang perut dan ego untuk memamabiak tanpa perintah sel-sel neuron. Inilah nafsu jahat, mungkin bentuknya seperti monster yang pernah aku baca disalah satu komik jepang. Setiap orang mempunyai monster yang dapat mempengaruhi kelakuan seseorang. Jika monster datang dan tidak dapat dikendalikan, tidak ubahnya seperti orang yang sedang mengamuk, mungkin… (hhe hhe…, sok tahu). Namun, jika ada monster pasti ada peri pelindung. Nah peri pelindung itulah yang menyeimbangkan monster yang ada pada tubuh seseorang. Tapi, apa jadinya jika monster dan peri pelindung mengamuk dalam diri tersebut? (!@#$%&^**%^%#$%&) Entahlah ini hanya sebuah pemikiran bodoh yang mungkin tidak berujung. Aku makan sangat banyak sekali, sampai tidak sadar bahwa aku mengambil terlalu banyak untuk porsiku, yang sebelumnya telah menghabiskan banyak pukis dan klepon yang sudah duluan tersaji diatas karpet pada acara syukuran itu dimulai. Luar biasa nikmat yang diberikan Allah, tapi seakan aku mengingkari nikmatnya dengan datangnya sifat rakus alias monster beraksi dalam diri. Seusai makan hidangan utama, nasi kuning dengan bermacam-macam lauk, masih di sambut dengan es kopyor yang tentunya menggoda meski perut sudah meraung minta berhenti sebelum perut marah dan mengutuk makanan itu untuk kemabali lewat kerongkongan. (tapi, sungguh, aku bukan orang yang seperti itu). Ini hanyalah sebuah perumpamaan saja. Aku tergiur dengan merah muda lembutnya warna kuahnya, belum lagi agar-agar yang menggantung-nggantung minta diambil, lalu serutan kelapa tebal-tebal memenuhi dasar kolam air merah muda tersebut. Masih ada lagi sirsak yang menggenang tidak beraturan. Semuanya ikut dalam satu ciduk besar. Dan di pindahkan diatas mangkok beling kecil, persis seperti pesta Ratu Diana di Kerajaan Inggris. Siapa yang tidak tergoda ingin mencoba meski perut mengatakan “TIDAK…”? bahkan positive thinking dapatmengalihakan perhatian sang perut dengan pasrah apa yang terjadi nanti. Kucoba es kopyor dengan hati lapang dan terbuka, sekali lagi kenikmatan yang tak pernah terduga, yang jujur saja, aku jarang mendapatkan rejeki seperti ini.
Bahkan aku sudah tidak ingat lagi bagaimana cara makan yang tidak berlebihan yang diajarkan oleh Rasulullah. Yaitu 1/3 untuk makanan 1/3 untuk air dan 1/3 lagi untuk udara. Tapi, saat itu benar-benar tidak terpikirkan olehku tentang hal itu. ilmu yang terlupakan.
Setelah meneguk habis kuah merah muda es kopyor, aku tak sanggup berdiri, hanya duduk, membiarkan makanan yang masuk bergembira ria dalam perutku. Aku duduk lama sambil bercada tawa dengan teman. Beberapa cukup lama aku sanggup berdiri untuk berpamitan dengan sang tuan rumah.
Sekali lagi, benar-benar nikmat yang tidak terduga. Masih ada saja makanan yang dibawa pulang, sekotak madinah bercover merah dan kuning yang selalu setia menjadi bintang tamu di berbagai acara penting sampai yang tidak penting, berbagai pertemuan keluarga, sampai bekal hang out bersama atau piknik di taman. Madinah dengan berbagai rasa dan variasi lainnya menjadi menu utama mengikat para konsumen untuk selalu ketagihan dengan karyanya. Harga terjangkau, pesanan berpuluh puluh kotak, bahkan berratusan, atau ribuan kotak mungkin sudah menjadi hal yang biasa dalam proses industri toko kue beraksen timur tengah itu. Madinah siap menemani berbagai pelanggan dengan berdirinya banyak cabang. Mungkin icon jajanan kotak sedang diraih oleh sang ‘Madinah’, sungguh luar biasa kalau begitu, mempengaruhi konsumen dan masuk pasar perekonomian Indonesia dan mengena hati banyak pelanggan.
Sekali lagi, aku menenteng kotak merah kuning merek ‘madinah’ dengan 2 macam kue yang berbeda. Kuenya cantik, satunya keju, dan satunya lagi bolu coklat dengan taburan meses. Belum lagi ada selai merah yang menghiasi pucuk cream putih. Siapa yang tidak ngiler jika ditawari, kue-kue khas lidah orang Indonesia tersebut? Sekali lagi, nafsu tidak bisa menolak, apalagi lapar mata menyergap nurani. Menutupi kebenaran bahwa aku sudah kenyang.
Aku menerima dan membawanya pulang, dengan seserahan terakhir dari sang penghuni rumah, berarti berakhir pula acara ulang tahun kawanku itu. 17 tahun dia hidup didunia ini, tentunya dia adalah orang yang hebat.
Aku melangkahkan kaki pulang menuju asrama. Tapi ternyata seorang temanku mengajakku untuk pergi ke toko buku Gramedia. Biasalah, pembicaraan untama dikelasku adalah buku, entah buku baru, buku laris, buku kontroversi, dan buku apapun termasuk komik ‘manga’, sampai majalah ‘national geographic’. Semua itu kami perbincangkan dikelas, dan saling bertukar informasi untuk menjadi pribadi yang lebih berkualitas.
Perutku melilit, rasanya aku ingin mencopot sabukku saja, karena aku merasa sangat tercekik. Oh…., betapapun sakitnya aku tetap dapat menikmati hunting buku dengan uang yang tersisa, tiga puluh lima ribu saja. Entahlah apakah aku akan dapatkan buku yang bagus atau tidak, yang penting baca sinopsisnya dan mulai mengincar buku. Keliling-keliling membaca-baca banyak sinopsis buku, beberapa kali juga aku menemukan buku yang kutaksir. Tapi sayang seribu sayang, tak ada uang untuk menebus buku tersebut dari rak dan buku-buku lain yang terpampang berjejer-jejer memenuhi segala penjuru ruangan.
Puas dengan melihat-lihat buku, akhirnya aku dan seorang temanku memutuskan untuk menakhiri hunting buku dengan hanya membawa informasi yang cukup untuk jadi bahan perbincangan. Kami tidak pulang, dia memintaku untuk menemaninya pergi kerumah mbak Alya, mampir sebentar. Sebenarnya aku sudah tidak tahan, tapi apa boleh buat, rumah mbak Alya tidak jauh dari lokasi toko buku ‘Gramedia’ berada. Perutku tambah melilit, aku tidak bisa membohongi diriku kali ini, nuraniku mengatakan kebenaran tentang, makan kebanyakanku tadi siang.
Akhirnya kami, baru kembali dari rumah mbak Alya pukul 5 sore. Dan aku langsung berlari menuju kamar mandi. Sebelum di kamar mandi pun, masih ada saja acara tentang kamar mandi yang penuh dan boking memboking kamar mandi. Aku memohon dengan melas beralasan bahwa perutku sakit.
“Ukhti…, mabtun…” aku berbicara dengan bahasa Arab yang artinya sakit perut…, tanpa mempedulikan apapun lagi, seusai ganti baby doll oranye, dengan waktu tercepat yang pernah ku tempuh, aku berlari kekamar mandi sekaligus mandi untuk menghilangkan keringat yang ada.
Ada pikiran untuk mengangkat jemuran yang sudah kering, karna sekarang adalah musim hujan, menjemur menjadi salah satu kegiatan berharga bagi para pencuci, ketika matahari yang dinanti-nanti datang. Seragam sekolah tentunya yang diprioritaskan. Seperti biasa, hari minggu adalah hari wajib mencuci dan segera menjemur, apalagi cuaca sedang bagus.
Tapi Adzan Maghrib keburu datang dan memaksaku untuk melupakan sejenak tentang jemuran. Dan keadaan juga yang harus memburuku untuk pergi ke masjid untuk menunaikan shalat Maghrib berjamaah. Dan dilanjutkan dengan latihan atau biasa murid menyebutnya ‘Tadribaat’. Tadribaat seperti biasa berlangsung dengan peminat yang sedikit, dan dengan jumlah kuantitas menurun dibandingkan dengan kelas satu dahulu. Dengan alasan yang bermacam-macam pula.
Tadribaat berakhir dengan dikumandangkannya adzan Isya’. Aku langsung mengambil air wudhu. Dan betapa aku mendengar keriuhan diluar sana. Bunyi gemertak yang turun dari langit, menyerbu bumi, yang setiap hari ia kunjungi. Aku mengeluarkan nafas panjang, dengan tubuh melemas. Kusandarkan tubuhku pada dinding masjid yang megah ini. Aku merasa nelangsa. Sontak, aku kengen dengan ibuku.
Qomah dimulai, dan aku hanya bisa pasrah menanti jawaban seragam abu-abu putih yang digunakan pada hari senin. Rakaat pertama aku mencoba khusyuk dengan menghibur diri sambil berdoa agar hujan ternyata hanya mampir sebentar saja di atas jemuranku.
Sesampainya di jemuran, hanya kutatap hujan lebat yang melemaskan kakiku. Hanya kupandangi jemuranku yang melayang-layang indah dibawah gelapnya malam. Kuambil satu persatu jemuranku, sambil ikut kehujanan seperti film-film india. Sudah hampir dua hari menanti keringnya jemuranku, ternyata sekejap basah lagi oleh sang awan hitam yang mampir di atas tempat aku menjemur pakaian. Inikah akibatnya makan terlalu banyak? Aku mengutuki diri sendiri, tapi aku berfikir apalah gunanya. Satu persatu kugantungkan di dalam kamar, aku berharap, setidaknya aku bisa bersekolah besok, dengan baju yang tidak terlalu basah, tapi tidak juga terlalu kering.
Dan ketika hujan datang menghempaskan jiwaku dan menghapus kenangan, maka ada sesuatu yang tidak kau sadari di dalam dirimu. Biarlah air hujan yang meninggalkan rintikan air dari pada noda yang terus mengalir….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H