Semua filsuf yang dipelajari selama masa perkuliahan awalnya melihat hukum sebagai ide terlebih dahulu. Bagaimana mereka melihat hukum itu sudah menjadi gagasan dari pemikiran mereka. Contohnya pada abad ke-16 hingga ke-17 yang menjadi ide daripada hukum adalah kehendak para penguasa itu sendiri. Didukung opini Hobbes yang mengatakan bahwa hukum itu berdasarkan “pengertian” orang-orang yang berkuasa, dan ide hukum itu sendiri akan berubah jika penguasa berganti. Ia menawarkan kekuasaan absolut (leviathan), menciptakan rasa takut dan untuk menghindari adanya kesewenangan kekuasaan, diperlukan kesadaran akan konsep keadilan. Diikuti dengan Bentham yang melihat hukum sebagai expression dan kedaulatan penguasa bisa saja dibatasi oleh transcendent laws dan batasan yang berlaku hanya dapat ditegakkan dengan adanya sanksi agama atau moral. Kehendak dari penguasa akan menjadi hukum ketika menjadi sebuah “produk legislatif”. Bentham memberikan teori utilitarianism dan menjadikan moralitas sebagai pertimbangan untuk mencapai the greatest happiness of the greatest number , dimana happiness yang dimaksud adalah yang “bernilai”, sehingga terkesan “hedonis”. Kedua filsuf diatas menurut Saya dapat menjadi gambaran untuk melihat hukum sebagai ide namun belum mengembangkannya menjadi sebuah sistem.
Hukum sebagai sistem dapat digambarkan seperti kesatuan yang disebut sebagai “kaidah hukum”, berkenaan juga dengan yang diwajibkan, dilarang dan diperbolehkan dalam situasi tertentu. Friedman melihat terdapat tiga unsur dalam sistem hukum (three elements of law) yang dapat mempengaruhi penegakan hukum, diantaranya structure, substance dan culture. Struktur merupakan bagian yang “bergerak” dalam suatu mekanisme, berkaitan dengan lembaga pembuat undang-undang, pengadilan serta lembaga lain yang memiliki kewenangan untuk menerapkan serta menegakkan hukum. Substansi dikaitkan dengan norma, aturan dan pola perilaku nyata manusia (hasil atau produk dari sistem). Kultur atau budaya merupakan sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum - sikap dan nilai yang dianut, memperlihatkan pemikiran dan kekuatan masyarakat. Berdasarkan pemaparan diatas, Saya menyimpulkan bahwa hukum diartikan sebagai sistem ketika aspek yang terkandung tidak terbatas pada hukum itu semata, melainkan berkembang seperti berkenaan dengan hubungan, seperti antar produk hukum atau dengan pembentuk dan penegakan hukum, serta kaitannya dengan yang terjadi di lapangan (masyarakat dan kulturnya). Hal tersebut sejalan dengan pandangan Nonet-Selznick akan hukum sebagai sistem karena memberi perhatian khusus pada variabel-variabel yang berkaitan dengan hukum, yakni peranan paksaan dalam hukum, hubungan antara hukum dan politik, negara, tatanan moral, tempat diskresi, peranan dan tujuan dalam keputusan hukum, partisipasi, legitimasi dan kondisi kepatuhan terhadap hukum.
Kelsen yang menggambarkan hukum sebagai sistem menurut Saya karena teorinya menggambarkan adanya hubungan antar produk hukum melalui “tingkatan” hukum. Bergerak dari norma, lalu validitas atas norma, suatu norma dinyatakan sah oleh norma lainnya (sesuai dengan norma valid yang lain-diatasnya) hingga memperkenalkan grundnorm (bersifat presupposed). Kelsen memperkenalkan Teori Murni tentang Hukum, yang Ia yakini bahwa seyogyanya teori yang Ia gagas jangan terkontaminasi oleh adanya unsur lain. Melihat hukum bukanlah fakta, melainkan norma yang diawali dari kebiasaan. Norma tersebut pun dapat menjadi prinsip yang semula berasal dari rasionalitas. Ia mengakui konsep das sein dan das sollen. Teori Kelsen sedikit bertentangan dengan pemahaman Saya sebelumnya mengenai hukum sebagai sistem karena Ia memberikan batasan antara hukum dan moral. Jika dtinjau dari pemaparan Radbruch pasca-nazi, berkenaan dengan keadilan filosofis, adanya kepastian juridis/hukum dan adanya kemanfaatan sosiologis. Radbruch melihat adanya titik temu dan mencoba untuk menghubungkan sein dan sollen itu sendiri, dan disebutnya sebagai validitas hukum. Idealnya juga, validitas yang tertuang dalam kehendak hukum tersebut harus tertuang di dalam kepala setiap orang, agar menjadi efektif dan juga bermanfaat dan diikuti dengan kepastian. Konsep keadilan bermetamorfosis mulai dari equality, equity sampai certainty. Pemikiran Hart mengenai hukum juga cukup menarik, yaitu terkait primary rules (menimbulkan kewajiban untuk melakukan sesuati dan tidak melakukan sesuatu) dan secondary rules (aturan yang memberikan kewenangan agar primary rules dapat dilaksanakan). Kekurangan Hart ialah, Ia masih abai pada moral. Meskipun Ia menggagas the ultimate rule of recognition, namun mengarah pada pengakuan, tidak melihat dari sisi sosiologis.
Pemaparan para ahli diatas cukup untuk menginterpretasikan bahwa hukum sebagai ide dan hukum sebagai sistem tidaklah berbeda hitam-putih. Benar berbeda, namun masih bertalian, dalam hal ini, hukum berawal dari ide, kemudian berkembang dan menjadi sebuah sistem. Ketika hukum tidak sekedar materil, namun mencakup formil, implementasinya, kedudukan dan aspek yang dapat mempengaruhi juga terkandung dalam suatu proses, maka menjadikan hukum sebagai sistem. Mungkin secara sederhana bahwa secara sempit, hukum sebatas pada ide, sedangkan secara luas, hukum berkembang menjadi suatu sistem. Tentu, berdasarkan pemahaman tersebut, dapat Saya simpulkan bahwa terdapat diskrepansi antara hukum sebagai ide dan hukum sebagai sistem namun masih selaras. Mungkin Saya juga ingin menggambarkan dalam proses persidangan yang menghadirkan saksi ahli berkenaan dengan pemahaman akan hukum, proses persidangan tersebut merupakan hukum sebagai sistem dan penyampaian keterangan oleh ahli tersebut merupakan hukum sebagai ide. Hukum sebagai ide seperti menjadi landasan serta dapat menjadi supporting details bagi hukum sebagai sistem.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H