Memahami Kebenaran adalah dambaan sekaligus kebutuhan bagi setiap orang dalam menjalani hidupnya di dunia ini. Kebutuhan akan kebenaran diera sekarang telah menjadi kebutuhan sekunder bagi banyak orang karena dianggap tidak "nyata" atau tidak memberikan solusi instan apalagi bagian terbesar umat manusia memilih dan menjalani hidup ini dengan cara praktis dan pragmatis.
Contohnya ketika orang mau makan, langsung menyantap makanan yang ada dimeja makan atau beli makanan di warung, ketika orang ingin pakaian baru, langsung saja ke toko atau ingin punya rumah, langsung beli via developer tanpa mengerti bagaimana prosesnya hingga makanan, pakaian dan rumah itu bisa ada. Cerita dari negeri Jepang beberapa tahun yang lalu mengusik kita dengan berita bahwa anak-anak sekolah setingkat SD banyak yang menganggap bahwa telur adalah buatan pabrik.
Kisah ini seakan menegaskan bahwa perjalanan kehidupan manusia dimuka bumi ini dalam beberapa segi sedang dibawa menuju kepada kealpaan untuk menggali lebih jauh terhadap hal-hal yang sebenarnya merupakan pengetahuan dasar dimasa lampau tetapi dimasa kini telah ditutupi dengan paham bahwa kemajuan itu harus dihargai dengan semakin praktisnya manusia untuk menjalani hidup hari demi hari.
Modernisasi kehidupan mendukung suksesnya hal-hal yang pragmatis. Sejak bangun pagi hingga tidur larut malam waktu kita disuguhkan dan dikuasai kemanjaan semu yang menstimulasi otak agar fokus pada kegiatan utama baik sebagai pelajar maupun pekerja (negeri/swasta/pengusaha) bahkan orang tidak bekerja sekalipun tidak luput dari situasi ini. Hidup ini bisa menjadi mudah hanya dengan memiliki sumber daya berupa pekerjaan/orang tua yang dapat menghasilkan uang, ketersediaan informasi yang memadai serta tentunya akses terhadap penyedia jasa untuk menyediakan keperluan sehari-hari (toko, restoran, suplier barang dan makanan) dan pihak yang siap mengerjakan segala pekerjaan yang tidak "mampu" kita lakukan (pembantu, agen2 jasa, teknisi, tukang2). Kebutuhan sekunder manusia juga tidak lepas dari kepraktisan, urusan hobi dan hiburan, belakangan ini menjadi sangat penting sehingga beberapa orang menganggap urusan ini menjadi kebutuhan primer. Banyaknya fasilitas yang disediakan serta komunitas yang terbentuk demi penyaluran hobi serta pemenuhan kepuasan lahir dan bathin manusia seakan memberikan angin segar dan semangat yang takkan padam kepada masyarakat untuk terus mengejar kepuasan ini sebagai ganti waktu kerja dalam mengumpulkan uang. Sejumlah kota-kota di Indonesia oleh pemerintah dan swasta merespons gejala ini dengan menyiapkan sarana yang modern serta prasarana yang canggih karena dukungan terhadap kegiatan ini dianggap sebagai kebijakan populis dan peluang market yang menggiurkan bagi usahawan.
Sebagai improvisasi, keadaan ini juga melahirkan bahasa dan frasa baru dalam masyarakat, misalnya :
alay, lebay, biasa aja (biasa jo), gitu aja koq repot, emang gue pikirin, emang enak, pikirin aja sendiri, galau, lemah moot dll, yang menggambarkan betapa pengaruh kepraktisan telah membuat orang malas mikir, cenderung egois dan individualis, tidak perlu repot untuk memikirkan banyak hal apalagi menyangkut orang lain.
Situasi ini membuat kaum utilitarian bersuka karena sebagian teori mereka telah menjadi prinsip hidup masyarakat bahkan menjadi realita yang secara langsung dan tidak langsung mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Salah tujuan negara kita adalah tercapainya masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan. Sejalan dengan itu, menurut kaum utilitarian pencapaian keadilan ini dilakukan dengan pendekatan yang salah satu instrumennya adalah "pemenuhan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi individu dengan mengurangi kesusahaan/kekecewaan yang diukur dengan hilangnya rasa sakit". (Jeremy Bentham). Orang dibenarkan melakukan apa saja yang dianggap perlu sepanjang mendatangkan kebahagiaan bagi masing-masing individu serta mengurangi rasa sakit. Sifat dasar manusia termasuk mengejar kebahagiaan dianggap sebagai tujuan akhir sehingga teori ini mendorong lahirnya hedonisme.
Namun beberapa tahun berselang, Jeremy Bentham dikritik oleh muridnya sendiri John Stuart Mill yang kemudian membentuk paradigma baru bagi kaum utilitarian. Mill menempatkan kebahagiaan tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi orang lain sehingga pemenuhan kebahagiaan harus diarahkan untuk sebanyak-banyaknya orang. Mill juga menambahkan tujuan kebahagiaan tidak hanya ditujukan kepada pemenuhan materi dan kesenangan (jasmaniah) tetapi juga kebahagiaan dapat dicapai melalui pemenuhan akan rasa keindahan dan penemuan (pengetahuan) akan kebenaran.
Selanjutnya kita akan menelisik cara manusia memperoleh pengetahuan dalam rangka meraih kebenaran. Para ahli dalam filsafat ilmu modern, memberikan tingkatan perolehan pengetahuan akan kebenaran menjadi 4 jenis yaitu : Konsep, Proposisi, Teori dan Aksioma
Konsep (kebenaran yang perlu diuji)
Pengetahuan konsep diawali dengan suatu ide dalam diri manusia akan sesuatu yang dialami untuk memberikan solusi, misalnya :