Pada Tahun 1972 Konferensi PBB tentang Lingkungan Manusia di Stockholm, Swedia telah melahirkan Deklarasi yang menempatkan lingkungan hidup sebagai unsur penting dan utama dalam konsep pembangunan yang dilakukan manusia. Sebelumnya, di bulan Mei Tahun 1972 negara-negara anggota The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) telah melakukan konsili dengan rekomendasi yang dihasilkan yaitu Guiding Principles concerning the international economic aspects of environmental policies, rekomendasi ini memperkenalkan polutter pays principles sebagai satu di antara asasnya.
Transformasi paradigma pembangunan dari antroposentris menuju kepada ekosentris merupakan pergerakan global dan telah menempatkan Indonesia di antara arak-arakan negara yang menganut prinsip-prinsip sustainable development dengan jargon terbarunya “the future we want”. Ratifikasi terhadap konvensi Stockholm telah dimulai sejak di tetapkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ratifikasi ini sebagai lonceng penanda dimulakannya pergeseran bandul yang bergerak mendekati kepentingan ekologis yang saat ini telah melewati rezim Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan masuk ke dalam rezim Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Implementasi rezim Perundang-undangan terakhir agaknya telah menstimulasi terciptanya kondisi stabilitas yang baru dalam konteks interaksi antara trias pilar (pemerintah, koorporasi dan masyarakat) serta pihak-pihak terkait dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dorongan menuju stabilitas baru sebagai babak lanjutan dari urgensitas reposisi paradigma ekosistem dinilai sebagai instabilitas bagi kalangan pengusaha. Pihak koorporasi yang adalah badan hukum, bahkan menganggap telah terjadi pelanggaran hak konstitusional terhadap penegakan hukum lingkungan perdata yang dilakukan oleh pemerintah sehingga melakukan judicial review terhadap beberapa pasal dalam UU PPLH 2009 dan UU Kehutanan 1999.
Permohonan judicial review yang diajukan oleh Asosiasi Pengusaha Hutan di Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit di Indonesia (GAPKI) kepada Mahkamah Konstitusi RI dalam rangka Pengujian Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 69 ayat (2), Pasal 88, dan Pasal 99 dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Pasal 49) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 D.
Sehubungan dengan hal itu, semua pihak perlu mempersiapkan sebanyak mungkin pertimbangan dalam menanggapi uji materi tersebut agar ditemukan kebenaran-kebenaran komprehensif sebagai dasar pernyataan sikap pemerintah. Bukankah sejatinya kebenaran telah terbagi-bagi ke dalam pikiran banyak orang? karenanya, untuk menemukan kebenaran yang seutuhnya perlu mengumpulkan dan mengkontruksikan kembali kepingan puzzle yang tercerai itu.
Materi Judicial Review
Pemohon, dalam hal ini yang merupakan asosiasi yang mewakili pengusaha hutan dan pengusaha kepala sawit merasa dirugikan dengan keberadaan pasal-pasal yang dimohonkan, antara lain :(1)
- Pertama kearifan lokal yang dimaksud dalam UU PPLH 2009 Pasal 69, menurut pemohon, ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal dua hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Pemohon dalam hal ini mempermasalahkan masih dibolehkannya pembakaran hutan yang dilakukan oleh pihak-pihak lain dan nanti dikaitkan dengan permohonan pasal-pasal berikutnya, kalau pembakaran tersebut kemudian meluas dan kemudian menyebabkan kerugian atau kemudian menyebabkan pencemaran lingkungan, maka Pemohon anggota asosiasi Pemohon ini yang harus bertanggung jawab, yaitu mereka yang pemegang konsesi. Tujuan dari permohonan ini adalah agar menghapuskan ketentuan masih dibolehkannya pembakaran hutan, sehingga tujuan dari permohonan ini adalah tidak ada ruang bagi pembakaran hutan baik oleh pemegang konsesi maupun oleh orang-orang yang kebetulan berada di wilayah konsesi tersebut.
- Kemudian yang kedua terkait bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan (strict liability) dalam UU PPLH 2009 Pasal 88 dan terkait atau sama dengan UU Kehutanan 1999 Pasal 49. Menurut pemohon, seharusnya siapa yang berbuat, dia yang bertanggung jawab. Tapi dengan doktrin ini memungkinkan Pemohon yang merupakan wadah asosiasi-asosiasi pengusaha itu bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak dilakukan. Jadi kalau ada fenomena sebagaimana disebutkan ini, perkara apakah itu dilakukan oleh Pemohon atau pihak lain, yang jelas pemegang konsesi harus bertanggung jawab.
- Berikutnya adalah unsur kelalaian (negligence) dalam UU PPLH 2009 Pasal 99, Sebagai contoh misalnya kebakaran hutan, sering sekali yang namanya api itu belum tentu berasal dari kegiatan yang dilakukan pihak Pemohon karena memang Pemohon dalam hal ini secara strict dilarang untuk melakukan pembakaran hutan kecuali oleh masyarakat yang tadi kami sebutkan. Lalu kemudian terjadi kebakaran hutan, sumber api bisa saja karena musim kemarau panjang, bisa saja kemudian dari sumber di luar wilayah konsesi yang kebetulan menyeberang ke wilayah konsesi. Nah, dengan pertanggungjawaban strict liability tadi maka tanpa pembuktian Pemohon harus bertanggung jawab terhadap kerugian-kerugian yang timbul.
Trilogi Prinsip Polluter Pay, Negligence, dan Strict Liability
Prinsip ke-21 dari Deklarasi Lingkungan Hidup PBB di Stockholm pada tahun 1972 berbunyi “state have, in accordance with the charter of the United Nation and the principles of International law, the sovereign rights to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their juridiction or control do not cause damage to the environment of other state or of areas beyond the limits of national jurisdiction”, prinsip ini menegaskan kedaulatan masing-masing negara terhadap pengelolaan sumber daya alam sekaligus menempatkan negara sebagai penanggungjawab pengelolaan lingkungannya, yang dapat diartikan juga bahwa negara bertanggungjawab terhadap hal untuk mencegah dan apabila terjadi pencemaran dalam wilayah hukumnya.(2)
Sebagai pihak yang pertama kali memperkenalkan polluter pays principle, OECD Pada bulan Mei 2007, menjadikan Indonesia bersama dengan negara Brazil, India, China dan Afrika Selatan sebagai “Mitra Utama” untuk melaksanakan program-programnya dan mendorong prinsip ini kemudian diadopsi ke dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 2 Huruf j dengan asas “pencemar membayar” dan dengan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan “asas pencemar membayar” adalah bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan.
Prinsip negligence adalah Pencemar bertanggungjawab jika tidak optimal mengambil langkah-langkah pencegahan (optimal care) (bandingkan Pasal 99 UU PPLH 2009), sehingga calon pencemar yang rasional akan mengambil langkah optimal sepanjang biaya-biaya ganti rugi lebih besar dari pada biaya pencegahan optimal.