Mohon tunggu...
steven kambey
steven kambey Mohon Tunggu... Ilmuwan - Tulisan adalah kata yang abadi

Mencintai Kebenaran

Selanjutnya

Tutup

Politik

Diskriminasi ala Prahara... Antara Belati, Garuda Merah dan Hak Konstitusi

13 Juni 2014   19:52 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:53 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Urusan Tuhan adalah nomor 1 sedangkan urusan manusia itu nomor 2”

Kalimat ini setidak-tidaknya menggambarkan keadaan penulis pada hari senin malam (9 Juni) saat acara debat perdana pasangan calon untuk PILPRES 2014. Tiba dirumah, acara sudah berjalan memasuki babak ke 4. Sambil menyimak sekedarnya, mencuat harapan bahwa acara ini pasti bisa ditonton via youtube, membuka fesbuk ternyata banyak komentar kritikan yang dilontarkan masing-masing loyalis terhadap pasangan lawannya, mulai dari gaya, sikap, intonasi suara sampai substansi debat. Makin membuat penasaran keesokan harinya langsung mencari referensi siaran ulangan. Kebetulan materi debat perdana bertemakan pokok yang diminati sehingga kali ini penulis ingin mengomentarinya dari perspektif hukum dan konstitusi.

Tumpul keatas tajam kebawah

Istilah ini sangat terkenal diantara para penggiat hukum dan orang yang berpengetahuan hukum. Adagium ini selengkapnya berbunyi “hukum bak belati terhunus, tumpul keatas tajam kebawah”, ini menggambarkan ironi keberlakuan hukum ditengah-tengah masyarakat.

“Tancapkanlah pedang hukum itu ke raga rakyat maka engkau akan mendapati bahwa para elite bagian atas akan terluka tetapi sobekan luka terbesar dan darah yang mengalir berasal dari para jelata.”

Berawal dari pandangan Jean Bodin (1530-1596) pada masa dimana kaum feodal masih memegang kekuasaan. Perintah Raja adalah hukum sementara Raja sendiri tidak terikat oleh hukum (summa in cires ac subditos legibusque soluta potetas). Raja berada diatas hukum, bersama-sama dengan kaum bangsawan yang mewakili negara, raja memiliki kedaulatan menentukan hukum. Sebaliknya rakyat tidak mempunyai kekuatan apapun sehingga tidak memiliki wewenang apa-apa. Titah Raja yang telah menjadi hukum menyerupai pedang yang bermata satu, sangat ditakuti oleh rakyat tetapi tidak bagi kaum bangsawan. Hukum lebih diposisikan sebagai alat penindasan bagi kaum elite terhadap rakyatnya.

Keadaan ini cenderung melahirkan kekuasaan tirani yang otoriter dan totaliter. Sebab dari perspektif moralitas pragmatis, G. E. Lenski berpandangan bahwa “Apabila orang dikonfrontasikan dengan keputusan-keputusan yang memaksanya untuk harus memilih antara yang berhubungan dengan kepentingannya sendiri atau kelompoknya dan kepentingan orang lain, dia hampir selalu memilih kepentingan sendiri”.

Teori tersebut merupakan diksi terhadap pandang Plautus yang terkenal : homo homini lupus yang didukung oleh Epicurus dan Hobbes.

Inilah salah satu kondisi masyarakat yang dirasakan pada era orde baru yang juga menjadi alasan rakyat untuk mengubah konstitusi negara ditahun 1999 atas nama reformasi. Kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh para elite (MPR) dirasakan tidak berpihak untuk memberi keadilan bagi masyarakat sehingga kedaulatan itu di”rampas” kembali oleh rakyat untuk dilaksanakan melalui UUD (lihat Pasal 1 ayat 2). Hukum telah lama diperkosa oleh kaum elite berduit bahkan sampai hari ini reformasi di bidang hukum terkesan masih jauh dari harapan. Keadaan ini juga merupakan bukti bahwa hukum memang benar-benar tertatih-tatih mengikuti perkembangan masyarakat.

Sangat menarik ketika salah seorang Cawapres yaitu Hatta Rajasa, pada saat pembahasan tentang diskriminasi hukum menyentil istilah tersebut. Beliau berkata sbb :

“Salah satu hak-hak yang paling mendasar menyangkut warga negara kita adalah jangan sampai ada diskriminatif dalam perlakuan hukum karena konteksnya tadi konteks  hukum  istilahnya jangan tumpul keatas tajam kebawah itu diskriminatif. Mereka harus sama dimuka hukum siapapun dan tidak boleh, apapun latarbelakangnya, apapun pendidikannya, apapun agama yang dianutnya, tidak boleh ada diskriminatif di negara pancasila ini.” (Hatta Rajasa)

Menurut KBBI, pengertian diskriminasi sbb:

dis·kri·mi·na·si n pembedaan perlakuan thd sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dsb);

Sedangkan menurut UU 39 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 3, Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

Menyaksikan pernyataan sang Cawapres itu, sebagian dari kita pasti bertanya-tanya “Bagaimana dengan kasus MRAR putra beliau dan AQJ putra Ahmad Dhani (yang sempat dishoot kamera mengangkat jari telunjuk) dibanding kasus hukum Afriyani Susanti?

Marilah kita mencari jawaban lewat teori para filsuf.

Karl Heinrich Marx (1818-1883) menyatakan bahwa "Sejarah dari berbagai masyarakathingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah pertentangan kelas". Orang tunduk kepada hukum bukan karena nilai manfaat universalnya tetapi sebenarnya semata karena kesadaran palsu (false conciousness) yang berhasil ditanamkan oleh pengusaha dan penguasa yang melakukan perselingkuhan. Pada dasarnya menurut Marx, hukum itu wujud aspirasi dan kepentingan orang berpunya dan merupakan alat penindasan kelas borjuis. Dalam masyarakat kapitalis, hukum hanya merupakan wujud mekanisme dari penindasan dan dominasi ideologi yang digunakan sebagai alat kontrol kepentingan politik dan serta ekonomi dari kelas elite. Akhirnya hukum tampil sebagai iron boxing and the velvet glove (tinju besi berselubung kain beludru).

Inilah yang disebut law in The Books dan law in action tidak akan ketemu ujungnya bila menyangkut politik.

Pak Hatta memang benar, frasa “mereka” yang digunakan pada kalimat (kedua) diatas sangat tepat. Memang hukum adalah perintah kaum berdaulat (elite) dan hukum itu memang kepentingan orang yang berpunya... sungguh terbukti teori para ahli hukum tersebut.

Hukum itu memang tumpul keatas (kita) dan tajam kebawah (mereka), benarkah?

Polemik Garuda Merah

Sebagian penonton pasti terkejut dengan pin Garuda Merah yang terpasang elok di dada kanan pasangan PRAHARA. Ternyata benar rumor yang beredar di media sosial. Malam itu, berjuta rakyat seantero negeri menyaksikan sedang menyaksikan lagi-lagi hukum di”perkosa” oleh kaum elite.

UU No. 24 Tahun 2009 Pasal 57c mengatur bahwa Setiap orang dilarang “membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara;

Dan sanksi diatur pada Pasal 69 adalah :

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), setiap orang yang:

b. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; atau

bagi masyarakat awam, kalimat dan bahasa yang digunakan dalam UU tersebut sangat jelas dan gamblang, entah penafsiran kaum elite seperti dimuat tempo

http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/06/08/269583411/Hatta-Pin-Garuda-Bukan-Lambang-Negara

Ujung-ujungnya denda 100 jeti bro... nilai yang sangat kecil bagi PRAHARA dan koalisi, hanya sejumlah 700 buah spanduk hehehe.. tetapi tidak bagi awam.

Kasus ini mirip penggunaan sirene oleh POL PP Nusa Tenggara Timur yang ditegur polisi LANTAS... toh akhirnya cuma ditilang... tinggal bayar denda. Frans L.R. sampe turun dari mobil sambil ngomong “kamu tidak tahu saya gubenur?”... “biarkan saya lewat nanti saya lapor kapolda”.

http://bladeus.wordpress.com/2013/01/11/rombongan-gubernur-ntt-ditilang-karena-menyalakan-sirine/

Semoga PRAHARA, ketika memakai pin tersebut sedang tidak berkata dalam hatinya “kamu tidak tahu saya Capres dan Cawapres”... nanti saya bayar dendanya....

Ini bukan soal penafsiran norma dan atau denda, ini masalah etika calon kepala negara, ini masalah penegakkan hukum dan terutama ini masalah keteladanan. Bukan saja keteladanan equality before the law yang Pak Hatta sampaikan tentang diskriminasi tetapi lebih keteladanan dalam equality under the law sebagai cita-cita pak Hatta untuk anti diskriminasi yang sebenarnya adalah menundukkan diri dan terutama hasrat serta rasa dominasi dibawah hukum yang berlaku. Bukankah hukum adalah volkgeist, inti jiwa dari rakyat Indonesia?

Melanggar hukum sekecil apapun adalah penentangan terhadap kehendak rakyat karena hukum adalah jiwa rakyat (Friedriec Carl Von Savigny, 1779-1861).

Kita harus homat dan angkat topi untuk keteladan Wakil Presiden Boediono yang mau hadir memenuhi panggilan Pengadilan Tipikor, inilah bukti equality under the law. Sebab KPK sementara menjadi lembaga hukum terpercaya di negeri ini karena mampu mendekatkan das sein das sollen hukum yaitu bahwa tidak ada diskriminasi dalam hukum.

UUD versi 18 Agustus 1945



Menjawab pertanyaan moderator tentang Bhinneka Tunggal Ika Capres Prabowo Subianto menyatakan :

“Kalau kita bicara itu (kerangka hukum menjamin ke”bhinneka”an), sebetulnya piranti hukum yang ada dibangsa kita sudah cukup, UUD 1945 sebetulnya sudah sangat jelas apalagi dalam versi yang asli tanggal 18 Agustus 1945”

Sejalan dengan itu, Manifesto Partai Gerindra Bidang Hukum yang menyatakan bahwa :

Indonesia adalah negara hukum, demikian naskah Penjelasan UUD 1945.

Apakah maksud yang dikandung dalam 2 kalimat tersebut menyiratkan kerinduan untuk kembali kepada UUD 1945 sebelum amandemen?

Kalau demikian, hal itu semakin memperkuat hipotesis ini http://politik.kompasiana.com/2014/05/23/3-alasan-konstitusional-menolak-prabowo-sebagai-presiden-657434.html

Karena menurut pandangan yang lain, tidak ada yang berubah atau dirubah menyangkut paham kebhinnekaan dalam amandemen UUD.

HAM vs melindungi seluruh tumpah darah

“HAM paling dasar adalah hak untuk hidup. Tugas utama pemerintah yang diberikan UUD adalah melindungi segenap tumpah darah dari segala ancaman dari luar negeri dan ancaman dari dalam, mengancam hidup orang-orang yang tidak bersalah”. (Prabowo Subianto)

Pengertian HAM menurut UU 39 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 1 adalah : “ Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Sedangkan menurut Pasal 6, Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Memperhatikan kalimat-kalimat tersebut, awam berpandangan bahwa kasus HAM adalah penindasan yang berlebihan oleh kaum kuat terhadap yang lemah, pemerintah/aparat terhadap rakyat/orang singkatnya homo homini lupus.

Bukan antara negara dengan negara, bukan pula antara pribadi dengan pribadi.

Negara mengeluarkan dana yang besar dalam melatih aparatnya untuk memiliki kekuatan dan kemampuan berkali-kali lipat sehingga mampu melindungi dan mengayomi rakyat yang lain. Karena itu adalah kewajaran bagi para prajurit mendapat predikat pahlawan dengan segala tanda dan bintang jasa atas pengabdian dalam memberi hidup untuk negara. Bukankah menjadi prajurit adalah pilihan hidup dengan sukarela tanpa tuntutan? Itulah sebabnya mereka disebut pahlawan yang dalam konteks ini sangat sama dengan para atlet, dll yang mengharumkan nama negara Indonesia di pentas dunia.

Karena kewajaran itu, Elyas Pical sang pahlawan tinju Indonesia tidak lepas dari jerat hukum ketika melanggarnya. Tidak sama sekaligus tidak beda.

Kali ini kita akan menelisik akibat hukum dari Kasus HAM 1998.

Apabila kasus ini benar-benar terproses oleh KOMNAS HAM dan Pengadilan HAM digelar, inilah skenario akhirnya menurut perspektif hukum (penulis).

Dugaan pelanggaran HAM berat terjadi ditahun 1998. UU No. 39 Tahun 1999 dibuat dan diberlakukan setahun setelah peristiwa tersebut.

Dalam UU HAM 1999 tersebut, diatur dasar keberlakuan secara surut (asas retroaktif) terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yaitu dalam penjelasan pasal 4yang menegaskan bahwa:

Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.

UU Pengadilan HAM  No. 26 Tahun 2000 yang merupakan penjabaran dari UU HAM (pasal 104 ayat 1), menguatkan asas retroaktif dengan mengatur ketentuan didalam pasal 43 ayat 1 yang berbunyi:

“Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc

Hal yang sama juga sebenarnya telah diatur dalam pasal 1 ayat (2) KUHP, yaitu bahwa “suatu hukum yang lebih baru dapat berlaku surut, sepanjang hukum yang baru itu lebih menguntungkan bagi tersangka daripada hukum yang lama”.

Ini disebut asas Lex posterior derogat legi priori.

Pasal ini berlaku apabila seorang pelanggar hukum pidana belum diputus perkaranya oleh hakim dalam putusan terakhir, ini serupa dengan kasus HAM 1998.

Lain dari itu, hak asasi manusia dilindungi oleh asas non-retroaktif yang disebutkan dalam Pasal 28I Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”

UUD NRI 1945 memiliki hirearki yang lebih tinggi dari UU HAM dam UU Pengadilan HAM, sehingga apabila hal tersebut dirasa bertentangan, pihak yang merasa dirugikan boleh menggugatnya melalui MK. Bukankah di Indonesia menganut juga asas Lex superior derogat legi inferior? Karena itu tak perlu kuatir, Hak konstitusional siapapun termasuk Jenderal juga (karena dianggap warga negara) dilindungi. Benarkah?

Sayangnya Konstitusi Negara mengatur lain dalam Pasal 28J ayat 2 yang berbunyi :

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Inilah yang disebut asas Lex specialis derogate legi generaliyang menyebabkan peristiwa 1998 dibawa-bawa, dikocok-kocok dan dicampur-campur menjadi es cendol dalam pesta politik 2014.

Diluar dari masalah itu, pandangan para pemikir-pemikir masa lampau yang diutarakan terhadap realitas kehidupan masyarakat dalam bernegara diatas, rasa-rasanya hari ini masih relevan untuk kita renungkan.

Semoga pesta demokrasi dalam PILPRES 2014 adalah pertarungan ide dan bukan pertarungan kelas masyarakat sebagaimana pandangan kaum Neo-Marxisme yang diwakili Vilfredo Pareto (1848 – 1923) dengan konstetasi bahwa sejarah adalah perjuangan memperebutkan kekuasaan yang tidak berkesudahan. Kelompok-kelompok dominan berusaha memelihara dan mempertahankan kedudukannya sedangkan disisi lain kelompok bawah senantiasa menuntut perubahan.

Akhirnya, tulisan ini hanyalah sepenggal pengetahuan yang mungkin dapat menjadi pemikiran kritis untuk menjatuhkan hati rakyat.

Marilah bersikap kritis siapa tahu mendatangkan perubahan, mungkinkah?

Biarlah rakyat bicara lewat hati... tanpa emosi ... dalam kontrol logika.... karena...

“tanpa keadilan, negara tidak lain hanya gerombolan perampok terorganisir” (St. Agustinus)

Salam Damai Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun