Tribalitas dan Kebodohan Kini Menentukan Arus Politik Bukan Ekonomi
Ada sebuah frase yang diungkapkan oleh James Carville, direktur kampanye Presiden Bill Clinton yang hingga kini sering digunakan ahli politisi Amerika Serikat untuk menasehati pemimpin atau calon yang mereka pilih agar mereka bisa meraih kekuasaan maupun tetap berkuasa dalam sebuah negara demokrasi, “It’s the economy, stupid!” Frase ini mengartikan bahwa pemimpin yang ingin berkuasa dimanapun harus mengutamakan cara untuk memperbaiki dan meningkatkan ekonomi lebih dari isu apapun, karena jika itu gagal rakyat akan cepat beralih pandang dan menarik dukungannya. Maka, kebijakan ekonomi akan selalu diutamakan ketika kandidat berkampanye ataupun merancang kepemimpinan baru. Bahkan pada demokrasi semu seperti jaman Soeharto dulu, beliau tidak pernah meninggalkan rancangan ekonomi dan pembangunan dalam kitab politiknya ketika “berkampanye”.
Sumber: http://www.huffingtonpost.com/jerry-jasinowski/presidential-debates_b_8478456.html
Namun kini sepertinya hal ini berubah akibat menjamurnya media digital dan media massa yang benar-benar menguak penentu pemimpin-pemimpin kita, yakni masyarakat yang masih berpendidikan rendah terutama yang masih memegang teguh idealisme konservatif. Berberapa bulan lalu saya membuat tulisan yang berjudul "Persamaan Pendukung Bela Islam dengan Pendukung Donald Trump",kedua pendukung ini kebetulan berhasil untuk memenangkan kandidat mereka . Kelompok-kelompok ini yang merepresentasikan aspek yang terburuk dari masyarakat, mulai dari membuat-buat isu SARA, fitnah dan informasi-informasi yang tidak berdasarkan kenyataan atau benar adanya. Kelompok ini menarik perhatian masyarakat yang pendidikannya masih rendah yang sinergis dengan kalangan masyarakat dengan ekonomi yang masih rendah pula maupun yang terkungkung pada lingkungan konservatif dengan kultur agama dan tribalitas agama yang tinggi.
Sumber:
http://fivethirtyeight.com/features/education-not-income-predicted-who-would-vote-for-trump/
Tribalitas yang dimaksudkan ini adalah keyakinan bahwa siapapun yang memiliki agama atau keyakinan yang berbeda dari kita harus diberantas. Keyakinan ini memberikan justifikasi bagi masyarakat untuk mendehumanisasikan orang lain yang memiliki keyakinan yang berbeda. Kultur ini yang mendorong masyarakat untuk berpikir bahwa dirinyalah, sukunyalah, agamanyalah yang paling tinggi dibandingkan negara lain, sehingga wajar saja jika mereka menjustifikasikan antagonism terhadap orang lain dengan melakukan penghinaan yang membawa SARA dan juga membawanya keranah konflik yang fisik. Justifikasi dari keyakinan itu banyak menghasilkan propaganda, fitnah dan kebohongan. Salah satu yang paling nampak pada Pilkada DKI ini adalah dengan memelintir arti Surat Al Maidah sebagai alat untuk menjustifikasikan pendukung Anies Baswedan atau pasukan bela Islam untuk menyebarkan antagonisme mereka di masyarakat dengan menyatakan siapapun yang memilih Ahok bukanlah Islam atau masuk pada suku/kelompok mereka. Antagonisme ini juga dilakukan oleh Trump, terutama dari kalangan White Supremacist yang merasa bahwa suku kulit putih yang beragama Nasrani yang paling tinggi dan paling berhak dalam perpolitikan, berberapa dari partai konservatif sudah terbukti bahkan menekan angka pemilih masyarakat minoritas kulit hitam dan hispanik.
Ekonomi bukan lagi penentu,walaupun Ahok sudah pada kenyataannya memperbaiki kondisi pembangunan dan perekonomian dengan baik, seperti merelokasi masyarakat yang digusur dari apartemen, menggerakkan kebersihan yang juga menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup banyak, menegaskan kinerja PNS yang berada di pemerintahan dan melayani publik ataupun peningkatan infrastruktur publik terutama pada transportasi dan fasilitas umum yang akan membantu jalannya ekonomi dan juga investasi , sepertinya tidak bisa dikalahkan oleh isu agama yang dibesar-besarkan. Ahok telah memberikan bukti yang cukup nyata di Jakarta terutama pada bidang transportasi, kinerja pejabat publik dan juga korupsi yang semuanya membantu progress ekonomi, namun paparan berita dari lawan selalu lebih keras dan seputar pada isu-isu yang sudah dibuyarkan dari kenyataan seperti kasus penistaan agama dan ketidak relaan kelompok yang merasa tinggi hati karena mayoritas dipimpin dari orang minoritas seperti Ahok yang beragama Nasrani. Disamping itu banyak sekali yang menyerang Ahok karena ras atau etnisnya sebagai pancingan isu-isu bombastis mengenai ancaman etnis keturunan Tionghoa di Indonesia. Perhatian masyarakat mengenai kebutuhan terpenting mereka dari pemimpin untuk membantu ekonomi semua dialihkan pada isu kesukuan. Masyarakat lebih memakan proposal ambigu dan tidak realistis seperti DP 0% dari Anies Baswedan hanya karena agama dan watak Pak Anies menyerupai kultur yg dikenal oleh masyarakat konservatif. Sehingga dalam demokrasi kita sulit untuk mencari meritokrasi apalagi dalam membawa proposal ekonomu, karena tribalitas yang paling menentukan.
Sumber:
http://news.metrotvnews.com/read/2016/01/06/467537/ahok-transportasi-murah-picu-pertumbuhan-ekonomi