Sang provokator akan sangat lihai untuk menipu masyarakat dalam menjalankan agendanya, mereka gampang sekali mencari kambing hitam agar mereka sendiri tidak disalahkan ataupun mengkabinghitamkan lawan mereka. Taktik dan propaganda mereka seringkali melahirkan rasa ketakutan dan kebencian yang sangat irasional serta tidak menggravitasi pada isu atau permasalahan yang benar-benar terjadi. Â Hal ini yang memicu banyaknya perseteruan dan kebencian ketika Obama menjadi presiden kulit hitam pertama di Amerika ataupun Ahok dalam menjadi calon gubernur keturunan Tionghoa di Jakarta.Â
Pendukung Trump sampe sekarang banyak tidak suka Obama HANYA karena beliau campuran kulit hitam dan memiliki nama Muslim yakni Hussein. Pendukung Bela Islam juga banyak memiliki ketakutan dan kebencian yang sama  terhadap Ahok HANYA karena beliau adalah keturunan Tionghoa dan beragama Nasrani.
Kedua kelompok tersebut tidak mau melihat kemampuan mereka/meritokrasi, sejarah atau track record mereka maupun idealisme yang mereka pegang. Mereka lebih memilih orang seperti Trump yang sampai saat ini sering sekali ketahuan berbohong, tidak memiliki kemampuan maupun etika kerja yang baik dan terancam diturunkan karena banyak sekali skandal yang menerpanya, HANYA karena Trump merupakan figur yang menyerupai masyarakat pribumi kulit disana dan terlihat kuat serta dapat dipercaya. Pasukan bela Islam juga demikian, mereka lebih memilih tersayup pada pemimpin yang inkompeten, dikeluarkan dari kementrian pendidikan, tidak memiliki afiliasi, prinsip serta idealisme yang jelas, HANYA karena figur tersebut memiliki identitas yang menyerupai dirinya.
Masyarakat Amerika sekarang telah mulai membayar konsekuensi dalam memilih Trump. Perlukah Jakarta dan Indonesia melakukan hal yang sama? Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H