Mohon tunggu...
Plum
Plum Mohon Tunggu... -

Politics, Pop Culture and Trending Analysis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Intervensi Russia, Defleksi Hillary Clinton terhadap Kekalahan

17 Desember 2016   03:21 Diperbarui: 17 Desember 2016   03:48 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilu Amerika Serikat itu bak sinetron panjang yang berjalan selama kurang lebih 1.5 tahun, setiap harinya pasti ada hal heboh yang bisa di politisasikan. Pemilu 2016 sepertinya mengambil tema eksklusif pada Teknologi, Bocor dan Hacking. 

Minggu lalu media Amerika Serikat dihebohkan dengan adanya dugaan laporan hacking yang dilakukan oleh Russia untuk mengatur kemenangan Donald Trump melawan Hillary Clinton. Isu ini sudah lama berhembus, bahkan pada masa awal-awal kampanye primaries dimana Russia dan media Russia seperti RT memang lebih memfavoritkan lawan Hillarry Clinton, Bernie Sanders.  Namun dugaan semakin kuat ketika Bernie Sanders kalah dan Wikileaks serta Julian Assange masuk dan memberikan wacana bahwa mereka akan membuktikan jika Bernie Sanders telah dicurangi oleh kampanye Hillary Clinton dan juga seluruh elit DNC (komite nasional partai Demokrat). Wikileaks menyatakan akan men-dumping email-email pribadi yang berisi rahasia yang menunjukkan kebobrokan partai Demokrat. Seperti yang kita ketahui, pemerintahan Amerika Serikat tidak terlalu segan terhadap Assange karena dulu Wikileaks telah membocorkan video-video yang menunjukkan kekejaman tentara Amerika Serikat di Timur Tengah. Assange kemudian banyak dicurigai bekerja sama dengan Russia dalam upaya mengekspose rahasia-rahasia penting dari Amerika Serikat.  Akan tetapi ini dibantah oleh Assange, yang kemudian menyatakan bahwa mereka mendapatkan infromasi mereka dari whistle blower atau orang dalam yang membocorkan kebobrokan yang terjadi didalam pemerintahan Amerika Serikat. Sebagai media yang independen dan bebas dari pengaruh negara serta menjunjung tinggi prinsip jurnalisme, Assange merasa rakyat Amerika Serikat berhak mendapatkan transparansi dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi didalam pemerintahannya, karena MSM (Main Stream Media) kini dianggao sudah berkolusi bersama politisi dan tidak bisa diandalkan lagi.     

Dugaan campur tangan Russia bukan berhenti sampai disana, berberapa orang didalam tim kampanye Trump juga diperkirakan memiliki hubungan erat dengan Putin dan ini banyak dicurigai ketika media Russia seperti RT dan Sputnik sepertinya banyak memberitakan hal-hal yang memberatkan Clinton. Namun Hillary Clinton juga patut disalahkan dalam campur tangan Russia pada permasalahan internal Amerika Serikat, karena ternyata gadget dan email yang digunakan oleh Hillary Clinton telah di hack oleh Russia dan China selama beliau menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Amerika Serikat. Kembali dengan tema yang saya sebutkan sebelumnya, Hillary Clinton pada pemilu kali ini benar-benar terekspose bagaimana inkompetennya beliau dalam menggunakan teknologi dan cara membawa informasi rahasia negara selama masa menjabat sebagai Menlu. Clinton menolak menggunakan akun email dan fasilitas yang telah disediakan dan diwajibkan sebagai pejabat negara karena dianggap terlalu merepotkan. Argumen ini banyak dipertanyakan karena Clinton bahkan mempersiapkan server sendiri untuk menyimpan rahasia negara dan ini bukanlah hal yang mudah. Spekulasi yang ada adalah Clinton menyembunyikan informasi penting hingga membutuhkan server pribadi. Ini tidak mengherankan, sebagai Menlu negara adidaya, jabatan ini merupakan salah satu jabatan paling strategis. Kontrak minyak, jual beli senjata dan koneksi serta bisnis strategis lainnya harus melalui Kemenlu Amerika Serikat, sehingga penyalahgunaan maupun bisnis rahasia wajar terjadi, dan Clinton bukanlah tokoh yang dipercaya di kalangan rakyat dan pejabat Amerika Serikat. 

Setiap bulan rakyat Amerika Serikat selalu mendapatkan headline demi headline baik masalah hacking Russia, Wikileaks dan email Hillary.  Seorang hacker amatir yang bernama Guccifer hingga harus diekstradiksi dari Romania untuk di bawa ke FBI karena telah menghacking email Sydney Blumenthal, salah satu tangan kanan utama Hillary Clinton . Guccifer pada akhirnya mempublish  kekotoran-kekotoran yang dimiliki tim Clinton mulai dari indikasi korupsi yang dilakukan oleh Clinton Foundation hingga kecurangan yang mereka lakukan terhadap Bernie Sanders. Guccifer mempublish informasi ini dalam dua kloter dan cukup membangun momentum untuk menghantam kampanye Clinton, namun media dan juga tim kampanye Clinton memadamkan isu tersebut dan kembali menyalahkan Russia dan selalu mengaitkan Russia. Kemudian wikileaks pun datang hampir setiap bulannya membawa informasi yang senada dengan  Guccifer, namun bocoran email yang mereka berikan jauh lebih substantive terorganisir dan menjadi momok yang berat bagi rakyat Amerika. Banyak rakyat yang benar-benar tidak menduga betapa beratnya Clinton memainkan Pay-to-Play yang merupakan kata lain dari menyogok demi jabatan. Donor besar dan juga staff yang mampu menarik donor besar akan dberikan kesempatan untuk menjabat di posisi strategis seperti duta atau kepala bagian dengan uang, walaupun mereka TIDAK memiliki kompetensi dalam posisi tersebut. Clinton Foundation seakan digambarkan sebagai institusi pencucian uang, karena donor akan memberikan uang sebagai "donasi sosial", namun sebenarnya uang ini digunakan untuk mencari kepentingan lain seperti membeli senjata atau jabatan. Gambaran ini seolah tervalidasi ketika Australia menarik semua sumbangannya dari Clinton Foundation ketika beliau dikalahkan Trump, karena mereka merasa tidak memiliki kepentingan lagi dengan Clinton. Kembali lagi DNC dan bahkan White House menyatakan bahwa adanya indikasi keterlibatan Russia dalam pemilihan ini dan semua materi yang terungkap dari hasil hacking sebaiknya diwaspadai karena bisa memecah belah bangsa.  

Namun Wikileaks menambahkan mesin dan bensinnya dalam mengungkap kebobrokan tim Hillary Clinton dengan mengungkap email-email dari John Podesta yang merupakan manajer kampanye Hillary Clinton. Podesta terungkap secara tidak sengaja meninggalkan Handphonenya di taksi yang dia naiki dan ini diduga menjadi sumber kebocoran yang diungkap Wikileaks. "Podesta Emails" berkali-kali menjadi trend di twitter hingga mengeluarkan series lebih dari 20 kloter. Rakyat semakin terbuka matanya dan kecurangan-demi kecurangan yang dilakukan terhadap Bernie Sanders semakin nyata. Semua yang dicurigai oleh pendukung lawan Hillary Clinton benar adanya, Donna Brazile yang merupakan kepala partai DNC sementara yang menggantkan Debbie Wasserman Schultz (DWS) terungkap telah membocorkan pertanyaan debat kepada Hillary Clinton. DWS sendiri telah diberhentikan atas dugaan yang sama. Puncaknya tentu sebulan sebelum pemilihan umum yang dinamakan "October Surprise" ketika Wikileaks mengungkap bukti konkrit bahwa Hillary Clinton dibayar oleh donor yang sama oleh donor yang mendanai ISIS. Akan tetapi hal ini dianggap tidak terlalu mengejutkan, karena Trump telah berkali-kali mengungkapkan ini dalam kampanyenya, akan tetapi agenda dan afiliasi Clinton terlihat jelas dimana. Clinton memang dari dulu sangat dekat dengan Saudi Arabia dan fakta dari Wikileaks terungkap Clinton mendapatkan sokongan besar dari Qatar cukup mengganggu, karena ini menunjukkan adanya indikasi yang telah diduga oleh pihak-pihak yang mengkritisi Clinton, bahwa Clinton adalah warmonger (suka menghidupkan perang). Tidak adanya indikasi bahwa Clinton akan membawakan perdamaian di Timur Tengah mengganggu kaum liberal dari dalam partainya sendiri dan pengakuannya menjadi murid Henry Kissinger juga semakin meresahkan kaum liberal dari sayap kiri. Namun lagi-lagi kampanye Clinton tetap menggaungkan Russia, namun kali ini semakin serius, begitu banyak berita mengenai "eks-intelejen" yang mengungkap adanya keterlibatan Russia dan begitu banyak media dan ahli menganalisis sejarah kerenggangan hubungan antara Russia dan Clinton. Donald Trump pun menjadi bahan olok-olok media ketika mereka mempertanyakan koneksinya dengan Putin yang selalu tidak terlalu digubris olehnya. 

Kembali pada pasca pemilu, Donald Trump menang dan pastinya akan naik menjadi Presiden Amerika Serikat walaupun Hillary Clinton memenangkan popular vote. Tim Kampanye Hillary Clinton sebulan ini telah melakukan otopsi, introspeksi, damage control dan mungkin shock control, sayangnya semua jawaban mereka tidak menerka pada SUMBER MASALAH mereka, yakni mereka sendiri. Kebobrokan-kebobrokan yang telah terungkap tidak dijadikan tamparan untuk mengintrospeksi dirinya sendiri akan tetapi dijadikan alasan untuk berulang kali menyalahkan Russia. Saya tidak membela Russia dalam hal ini, tapi memahami hubungan Internasional, anda akan tahu kalau intervensi, hacking, mata-mata dan taktik penyusupan lainnya antara negara itu wajar adanya, terutapa pada titik-titik penting seperti pemilihan umum. Amerika Serikat sendiri merupakan aktor yang biasa dalam melakukan intervensi dan koersi politik negara lainnya, lihat saja Irak atau negara Amerika Latin seperti Chile. Hillary Clinton juga pernah mengungkap ingin mensetting dan mengatur hasil pemilu Palestina, sehingga cukup mengherankan jika kini beliau bermain menjadi korban. 

Kemarin malam, Hillary Clinton dalam pestanya untuk para donor utamanya (karena kampanyenya menarik dana hingga 1.2 MILYAR USD) mengungkap kembali intervensi Russia dan ini didukung oleh reportase media-media yang melakukan wawancara dengan berberapa intel-intel CIA yang mengkonfirmasi ini. Namun banyak media yang kritis termasuk saya sendiri menganggap ini hanya fabrikasi tim Hillary Clinton, sebagai upaya akhir menghindari malu. Clinton memiliki pendanaan hampir dua kali lipat lebih banyak dari Trump, beliau memiliki dukungan PRESIDEN beserta staf-stafnya dan CIA merupakan badan intelijen negara yang TERNAMA yang bergerak dibawah negara untuk mencegah hal ini terjadi. Tidak mungkin CIA dibawah perintah pemerintah terutama pemerintah eksekutif seperti PRESIDEN membiarkan adanya intervensi Russia jika ini benar adanya. Terlebih lagi, tidak mungkin Clinton dengan banyak koneksi, sumber dana dan resources (sumber daya manusia) tidak mampu mencegah hal ini terjadi. Clinton terbukti cukup kuat dengan menekan negara seperti Ekuador untuk memutus jaringan internetnya agar Julian Assange yang berlindung di kedubesnya tidak bisa mempublish skandal-skandal mereka, mengapa ketika menghadapi Russia seakan tidak memiliki kekuatan sama sekali? Apakah ini kekuatan dan kewibawaan yang patut ditunjukkan sebagai pemimpin negara adidaya, jika menghadapi Putin dan Russia saja dipenuhi oleh keluh kesa? Ini bertolak belakang sekali dengan spirit dan karakter pemimpin Amerika Serikat yang selalu di identikkan dengan kemenangan dan Alpha-type. Apalagi kampanye Hillary Clinton selalu menggaungkan "I want to be your CHAMPION", menyalahkan Russia berkali-kali sepertinya terlalu mengada-ngada. Informasi dan skandal yang terungkap pada kampenye Hillary Clinton memang apa adanya, dan dibalik itu semua kesalahan ada inkompetensi staff, pejabat dan Hillary Clinton sendiri. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun