Tiga hari lalu ibu mertuaku meninggal. Tanda beliau akan meninggal, banyak ditinggalkan. Aku termasuk yang peka menangkap tanda yang diberikan. Menolak makan dan minum, infus yang macet berkali-kali, transfusi yang meningkat dari tiga, empat menjadi enam, hingga akhirnya Ibu mengalami alergi, menjadi tanda Allah mulai mengurangi rejeki. Tanda lain, pup berwarna hitam, keringat membanjir, pipis tiada berkesudahan  menjadi indikasi unsur air mulai keluar dari tubuh beliau.
Suami dan adik ipar mewacanakan untuk membawa Ibu ke rumah sakit, yang segera kucegah. Bayangkan, proses sakaratul maut itu begitu sakitnya, masih harus ditambah dengan tusukan jarum infus yang ditolak oleh tubuh karena rejeki beliau mulai habis. Belum lagi suara mesin pemantau jantung bersautan memasuki pendengaran beliau. Apabila beliau masuk fase menolak bicara dan kesadaran mulai turun, masuk ke ruang ICU tidak seorang pun boleh menemani, berarti beliau sendirian ketika nyawa perlahan meninggalkan tubuh. Sungguh menyedihkan.
Aku bersikeras Ibu diam di rumah, dibuat senyaman mungkin di kasur yang beliau tiduri selama ini, ditemani anak, mantu, dan cucu, berikut diperdengarkan murotal, kajian, dan tadarus kerabat. Usulku diterima, jadilah Ibu berdiam di rumah. Apapun yang beliau inginkan dipenuhi sebisa semaksimal mungkin. Kami berjaga bergantian menyesuaikan dengan jam kerja kantor masing-masing.
Kamis, 31 Oktober pukul 17.00, aku resah antara berangkat bekerja ataukah meminta ijin. Firasatku mengatakan Ibu akan pergi hari ini hanya tidak tahu waktunya. Kuputuskan aku berangkat dengan pesan pada adik ipar mengabariku begitu kaki beliau mulai dingin, sehingga aku bisa memberi kabar anak-anakku untuk pulang.
Sejenak kuletakkan tas kerja, membuka lembar pekerjaan, ponselku berdering, suara di ujung sana mengabarkan kaki ibu dingin. Kusambar tas dan kunci kontak berlari pulang sambil menelpon anak-anakku untuk mencari tiket kereta dan bis, detik itu juga mereka harus pulang. Sepanjang jalan aku berdoa, semoga Allah bersedia menunda hingga adzan sehingga Ibu pulang menemui Allah pada hari Jumat.
Sesampai di rumah, kulempar tas kunci berlari menuju kamar beliau, suami adik ipar sudah berkumpul di dekat Ibu. Suami mereka masih perjalanan dari kantor masing-masing. Kami berempat mulai membimbing Ibu untuk mengingat Allah. Pada hari sebelum beliau kritis, ketika aku mendapat giliran menjaga ibu, kuperdengarkan murottal dan pengajian agar Ibu mendengar hal baik menjelang detik terakhir. Aku yakin, saat ini, Ibu mengingat suara murotal yang kuperdengarkan setiap pagi saat aku menjaga beliau. Mulut kami tak henti menyebut nama Allah dan bersyahadat di telinga ibu.Â
Tubuh Ibu panas luar biasa, tetapi kaki beliau perlahan mendingin, perut beliau turun naik, perlahan berhenti, tinggal dada, ya Allah apalah kami makhluk ciptaanMu. Bisa apa kami selain berpasrah padamu. Pelan dada Ibu berhenti naik turun, disertai batuk kecil, Ibu menghadap kembali pada Sang Pencipta, diiringi iqomah waktu sholat Maghrib. Jerit tangis kami berempat pecah. Ya Allah terima Ibu di sisiMu. Alhamdulillah, Kau panggil Ibu, sesudah adzan Maghrib berkumandang.
Tidak ada yang dibawa Ibu, tidak baju kesukaan beliau ketika umroh, tidak mushaf yang beliau baca dan khatamkan setiap bulan, apalagi gelang, cincin, kalung. Tidak juga lembaran sertifikat penghargaan, ijazah, rumah dan tanah. Yang Ibu bawa adalah ibadah umroh beliau, tadarus beliau, sedekah beliau, kebaikan beliau, semoga Allah ridho dengan semua itu. Innalillahi wa inna illaihi rojiun, kami ikhlas Ya Allah, karena Engkau tahu yang terbaik bagi kami, makhlukmu. Tempatkan Ibu yang terbaik menurutMu Ya Allah. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H