Kudus, seperti kota lain di Indonesia mengalami perubahan. Baik perilaku warga, maupun wajah kota. keduanya tidak bisa dipisahkan. Wajah kota berubah karena dinamika warga. Tahun 1999, pertama kali meginjakkan kaki ke kota Kudus, inginku menangis. Transportasi publik yang sulit, kuliner yang seragam, bahkan warung untuk makan siang saja sulit. Apalagi caffe beeuuhhh... Ketika kuingin capcay, satu-satunya tempat yang menjual adalah Taman Bojana di lantai dua. Satu-satunya supermarket yang ada adalah Matahari.Â
Tahun 2010, kemacetan mulai mewarnai di perempatan utama seperti perempatan Barongan, Panjang, dan Jember. Mulai muncul Ramayana dan Adda. Tapi Pasar Kliwon tetap menjadi primadona. Ruang Publik? Tadinya tak kesulitan mendapatkan udara segar pagi, apalagi di daerah Gondangmanis. Kebun tebu terhampar luas. Hampir tiap desa punya lapangan yang penamaannya sesuai lokasi. Lapangan Rendeng, Lapangan Peganjaran, Lapangan Jepang Pakis, Lapangan Besito. Penggunaan utama dari lapangan tersebut apalagi kalau bukan main bola. Penonton berkerumun di pinggir lapangan duduk di atas motor masing-masing, dan berdatangan para penyedia logistik. Penjual siomay, bakso malang, cilok, pentol, cilor, mie gepeng, pempek, balon. Murah meriah, yang bubar menjelang maghrib.Â
Seperti juga kota lain yang beranjak dewasa, tangan kapitalis mulai mencengkeram Kudus, mengubah wajahnya supaya lebih menjual. Ruko mulai bertebaran. Rumah peninggalan Belanda beralih rupa menjadi deretan kotak berfolding. Lahan tebu berubah menjadi bangunan industri tulang punggung cukai negara ini. Termasuk Gondangmanis harus kehilangan lahan tebu yang diakuisisi Djarum.
Sebagai gantinya, Djarum memberikan "teras" nya sebagai ruang publik, berupa boulevard untuk jogging, atau duduk-duduk dibawah pohon rindang sepanjang boulevard menikmati taman yang tertata rapi. Untuk para muda mudi, teras Djarum yang diberi nama Oasis ini, menjadi ajang berswafoto. Dengan dua monumen masing-masing di ujung boulevard, oasis menjadi alternatif ruang publik yang nyaman bagi keluarga.
Ruang publik lain yang tersisa adalah taman lampion di area GOR Wergu. Setiap hari minggu pagi ramai dikunjungi untuk sarapan, karena banyaknya pedagang kuliner, jogging dan senam, karena memang area olahraga, atau mengamati polah tingkah pengunjung juga tidak dilarang.
Ingin makan apa dan dimana di Kudus sekarang tersedia. Aneka franchise membanjiri menjadikan kota nan lugu menjadi genit menggoda. Namun udara segar dengan kabut di pagi hari tinggal kenangan. Jalanan bebas macet meski bukan toll tinggal cerita. Keramahan sikap mengalah jadi wacana di ruang ruang kelas tanpa implementasi nyata. Yah, begitulah gerusan waktu. Tak ada yang bisa menghindar, bahkan Puncak Carsten sekalipun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H