"Kak, denger suara gamelan?" Tanyaku pada Kakak setengah terengah di jalur tanjakan dari basecamp Selo menuju gerbang pendakian Merapi. Kali ini kami berdelapan. Tiga laki-laki dan dua perempuan. Aku dan Kakak Icha putri sulungku.
"Dengar. Dak yo biasa to Mah, suara gamelan tiap kita muncak, "jawab Kakak santai. Aku tak menjawab, sibuk mengatur nafas.
Merapi adalah pendakian Kakak yang ketiga, setelah Andong dan Prau. Kelima untukku setelah Puncak 29 Muria, Ungaran, Andong, dan Prau. Aku kembali pada dunia pendakian setelah sekian lama berhenti karena menikah dan mengurus Kakak beserta adik-adiknya.
Aku memang mengenalkan pada Kakak dan adiknya, dunia pendakian ketika mereka duduk di bangku SMP. Dari tiga bersaudara, Kakaklah yang menyukai dunia pendakian sepertiku. Dua adik lelakinya sama sekali tak tertarik. Jadilah kami berdua menjadi bagian tim pendakian Merapi kali ini.
Ketika mendaki Lawu, di awal jalan setapak menuju puncak memasuki hutan sudah ada petilasan dilengkapi sesajen. Base camp Cemoro Kandang berada di pinggir jalan besar menuju Magetan. Setengah jam menyusuri jalan setapak menuju puncak, suara gending terdengar, sesekali dangdutan seperti orang punya hajat. Kebetulan kami memulai perjalanan sehabis sholat Isyak. Kali ini kami ber dua belas. Semuanya teman sekolah Kakak.
Lain Lawu lain lagi dengan Sumbing. Kali ini kami memilih basecamp Kaliangkrik. Perjalanan menuju Kaliangkrik sendiri sudah epic duluan. Pukul 24.00 berangkat dari Magelang melewati jalan yang kiri kanannya pepohonan dan jarak antara kelompok rumah dengan kelompok rumah berikut sekitaran 3 -- 5 km. Bahkan  memasuki Desa Kaliangkrik sendiri sama sekali tidak ada rumah.
Sekitaran pukul 01.30, melewati jembatan yang dinaungi lengkungan rimbun batang bambu, kami bertemu tiga nenek menggendong dedaunan untuk pakan ternak. Dan kebetulan juga, Aku dan Rizky yang mengendarai Jupiter tertinggal dari Falda dan Icha yang lebih dulu melaju dengan Nmax. Pendakian kali ini kami berempat.Â
Mana ada di tengah malam buta mencari pakan ternak? Kalau pergi ke pasar untuk jualan sayuran atau kulakan, masih bisa diterima nalar. Sementara arah berjalan tiga nenek tadi berlawanan dengan arah pasar, karena kami menuju pasar.Â
Nah lho. Merinding, kupeluk pinggang Rizky, sambil membaca Ayat Kursi dan Al Fatihah. Kami berdua tidak berkomentar. 15 menit kemudian, baru aku membuka suara, "Mas, tadi lihat tiga mbah-mbah?"
"Lihat, "jawab Rizky, "Rasah dipikir. Ora -- ora." Katanya menebak jalan pikiranku.
Beda lagi dengan Slamet. Gunung yang terkenal angker ini, memang memberikan kesan seram baru selepas kebun sayur penduduk. Pohon beringin besar tumbuh saling berhadapan seakan membentuk gapura.Â