Dalam era globalisasi, negara-negara di seluruh dunia dituntut untuk dapat bersaing dalam pasar ekonomi global sehingga setiap negara mengembangkan paradigma pembangunan (developmentalism) sebagai ikhtiar mengangkat angka pertumbuhan ekonomi sekaligus mempertahankan stabilitas nasional. Akan tetapi realitas di lapangan menunjukkan fakta yang ironis, di Indonesia misalnya, bagaimana rakyat dikorbankan sebagai penambal defisit APBN dengan pengurangan dan pencabutan subsidi di sektor-sektor strategis yang bersinggungan pada kelangsungan hidup rakyat banyak. Negara dalam konteks institusi politik yang berwenang terhadap proses pengambilan kebijakan publik selayaknya bertanggung jawab kepada isu-isu publik seperti kesejahteraan sosial dan tentunya pengentasan kemiskinan, namun kenyataannya justru negara dapat dikatakan ‘ikut menciptakan orang miskin baru’.
Berkembang pesatnya mekanisme pasar yang memberlakukan prinsip no free lunch, menunjukkan gagasan Sachs dalam proyek MDGs-nya terkesan tumpul dalam realisasi di tingkatan hubungan antar negara maju dan negara berkembang. Cara pandang persoalan kemiskinan dan turunannya dalam buku The End of Poverty: How We Can Make It Happen in Our Lifetime (2005) menurut Maria Hartiningsih mengesampingkan masalah struktural serta proses pemiskinan akibat ketidakadilan global. Solusin dari Sachs tidak menjawab akar masalah seperti yang pernah dikemukakan oleh penerima Hadiah Nobel Ekonomi 1997, Amartya Sen, yaitu ketiadaan akses dan kontrol kaum miskin atas sumber daya.
Sachs juga dipandang telah menyederhanakan persoalan kemiskinan dengan mereduksi penderitaan yang diakibatkannya ke dalam hitungan uang bantuan negara maju. Gagasannya menegasikan kenyataan bahwa dalam tatanan dunia di mana pasar adalah prioritas utama, hukum ”tidak ada makan siang gratis” selalu berlaku dan prinsip ini ditentukan oleh negara pemberi pinjaman bantuan.
Pada tahap ini saya memasukkan pendekatan Hernando de Soto sebagai tawaran yang lebih objektif dalam memandang persoalan kemiskinan. Dalam “Misteri Kapital”, de Soto menekankan kepemilikan properti sebagai kunci untuk mengakhiri kemiskinan, dengan logika bahwa hanya yang dapat bekerja jika orang miskin mampu menggunakan properti mereka untuk menghasilkan kemakmuran.
Bergulirnya fakta kemiskinan sebagai dampak negatif dari proses globalisasi, atau yang dalam istilah de Soto yaitu marjinalisasi kaum miskin di negara-negara berkembang berawal dari ketidakmampuan negara-negara tersebut untuk mengambil keuntungan dari enam efek yang terkandung dalam properti. Keenam properti tersebut yaitu pertama, mengolah potensi ekonomi aset. Kedua, mengintegrasikan informasi yang tersebar ke dalam satu sistem. Ketiga, membuat orang bertanggung jawab. Keempat, membuat aset agar dapat dipertukarkan. Kelima, menempatkan orang ke dalam jaringan. Dan keenam, melindungi transaksi. Tantangan yang dihadapi negara-negara ini bukanlah keharusan untuk menghasilkan atau menerima lebih banyak uang, tetapi apakah mereka bisa menyediakan institusi hukum yang tepat dan menggalang komitmen politik untuk membangun sebuah sistem properti formal yang dapat diakses dengan mudah oleh kaum miskin (Hernando de Soto, 2000:61-83)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H