Mohon tunggu...
Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri Mohon Tunggu... -

sedang studi di pascasarjana sosiologi UGM

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kembali ke Sumber

27 Juli 2010   06:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:34 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Tidak ada yang tetap di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri, demikian kata Heraklitus. Mungkin ini juga yang mendasari semangat pemberontakan epistemologi pada abad ke-17 terhadap gereja yang kemudian menghasilkan manusia-manusia modern yang otonom. Tetapi akibat dari itu, ternyata menghasilkan krisis kompleks yang multidimensional bahkan menjadi derita peradaban yang jauh lebih besar dari sebelumnya.

Krisis ekologis, kekerasan, dehumanisasi, moral, kriminalitas, kesenjangamn sosial yang kian menganga, dan ancaman kelaparan serta berbagai penyakit lain merupakan akibat dari apa yang dibahasakan Husein Nasr sebagai cerminan dari keterpilahan, konflik dan ketersingan dalam diri bathin masing-masing penghuni dunia. Jika kita merunut sebab krisis global diatas, menurut Fritjof Capra dapat dilacak dari cara pandang dunia (world view) manusia modern. Pandangan dunia yang diterapkan selama ini yaitu pandangan dunia mekanistik-linier Cartesian-Newtonian.

Cara pandang demikian mengakibatkan manusia modern mengalami alienasi. Dalam pandangan Fromm, alienasi adalah penyakit mental yang ditandai perasingan keterasingan dari segala sesuatu; sesama manusia, alam, Tuhan dan jati dirinya. Bahkan perilaku konsumerisme, hedonisme dan gebyar globalisasi lainya merupakan bentuk pelarian manusia modern dari alienasi.

Setidaknya ada tiga kecendrungan manusia modern yang mengalami situasi keterasingan atau alienasi.
Pertama, mereka yanga teralienasi dari Tuhannya, yang disebabkan terutama oleh prestasi sains dan teknologi, sehingga menjadi positivis. Kedua, mereka yang teralienasi dengan lingkungan sosialnya, yang oleh Alfin Tofler diistilahkan dengan future shock. Ketiga, mereka yang teralienasi dari Tuhannya sekaligus lingkungan sosialnya. Kondisi diatas, akibat dari tercerabutnya sisi kedalaman bathin manusia yang berupa roh atau spiritualitas. Seperti yang disinyalir Peter Berger, “bahwa manusia modern telah meninggalkan nilai-nilai supranatural”. Pandangan dualisme bahwa roh dan jasad adalah terpisah menyebabkan manusia terjerembab dalam kehancuran eksistensinya. Bahkan pandangan ini adalah salah satu akar persoalan utama yang mengkarakterisasi pelbagai problem dan krisis global peradaban modern. Akibat lebih jauh adalah hilangnya orientasi hidup yang penuh kebahagiaan, ketenangan dan kasih sayang sesama manusia. Yang terjadi adalah sebaliknya, keresahan, ketakutan dan kondisi kejiwaan lainnya.

Mungkin secara materi sangat kaya, segala keperluan hidupnya sudah terpenuhi semua, tetapi ada kesadaran eksistensial yang ada pada diri manusia yang harus dipupuk untuk keseimbangan hidup, dan ini yang tidak ada malah dinegasikan dalam diri manusia modern yang sering dikatakan sebagai the post industrial society, suatu masyarakat yang telah mencapai tingkat kemakmuran materi sedemikian rupa dengan perangkat teknologi yang serba otomatis dan mekanis, bukannya mendekati pada kebahagiaan hidup, melainkan sebaliknya, kian dihinggapi rasa cemas. Sehingga tanpa disadarinya integritas kemanusiaannya tereduksi lalu terperangkap pada sistem rasionalitas teknologi yang sangat tidak manusiawi. Bahkan Nasr menyatakan lebih jauh, masyarakat modern sedang berada diwilayah pinggiran eksistensinya sendiri, bergerak menjauh dari pusat, baik menyangkut dirinya sendiri maupun dalam lingkungan kosmosnya.

Untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia modern dan yang diakibatkannya, telah banyak pemikir-filosof memberikan tawaran perspektif untuk mengatasi problem tersebut. Misalnya, E.F Schumacher menyarankan pemulihannya harus datang dari dalam diri sendiri. Husein Nasr menyarankan untuk kembali pada dimensi bathin atau spiritual manusia.

Spiritualitas; sebuah perspektif
Spiritualitas disini bukan suatu keberadaan diri yang biasanya dicapai lewwat riyadhah atau rangkaian disiplin ritual tertentu untuk mencapai ‘Sang Realitas’ yang tak dapat dilihat dalam pengalaman biasa. Pemahaman spiritualitas seperti ini tidak salah, karena memang mempunyai pendasaran dalam semua agama. Tetapi dengan pemahaman seperti itu nampak bahwa spiritualitas hanya sekedar laku bagi seorang untuk mencapai relaitas tertinggi tanpa punya implikasi sosial didalamnya.

Spiritualitas dimaksud adalah sebagai basis setiap aksi kebudayan yang kita lakukan. Pencapaianspiritualitas tingkat tinggi harus memanifestasi dalam laku kebudayaannya sehari-hari. Bagi pedagang, petani, politisi, ilmuwan, ekonom dan peran-peran lainnya harus mencerminkan dari spiritualitasnya. Dalam artian, segala aktivitas yang dilakukannya harus diarahkan pada titik pusat. Suhrawradi al-Maqtul menyebut dengan cahaya diatas cahaya (nur ’ala nur). Jika yang terjadi sebaliknya berarti masih ada split dalam dirinya dalam melihat realitas. Karena spiritualitas melibatkan komitmen pada Tuhan dan manusia, keduanya menjadi kesadaran tunggal dalam diri manusia.

Seperti Muhammad, ketika beliau sampai pada puncak spiritualitas, naik kelangit tertinggi bukannya malah berpaling dari tanggung jawab kemanusiaannya, melainkan terjalin hubungan antara kehendak suci dilangit dengan orientasi manusia di bumi. Dengan kata lain spektrum Ilahi dengan spektrum kemanusiaan disisi lain secara metafisis tidak diletakkan dalam ruang yang kita pahami dalam hidup keseharian. Tetapi keduanya menyatu dalam kesadaran, sehingga bagi seorang yang sampai pada tingkatan spiritualitas tertentu, perilaku kemanusiaannya merupakan cerminan dari kualitas Ilahiah.

Kalau kita kembalikan kepada posisi manusia di bumi yaitu sebagai khalifah Tuhan atau mendataris-Nya, maka keagungan kita tidak akan bisa terpahami tanpa keterkaitan dengan Tuhan. Bila ridho Tuhan tidak menjadi pusat orientasi kita dalam menjalani kehidupan ini, maka kualitas hidup kita akan menjadi rendah. Dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir, kita akan terbebaskan dari derita alienasi, karena Tuhan adalah pesona yang maha hadir dan maha mutlak. Eksistensi yang relatif akan lenyap kedalam eksistensi yang absolut. Kesadaranakan kemahahadiran Tuhan akan membuat kita selalu memiliki kekuatan, pengendalian dan sekalgus kedamaian, sehingga kita merasa dalam orbit Tuhan, tidak dalam orbit dunia yang tidak jelas jluntrungnya.

Sebagai visi baru dalam kehidupan, sebenarnya spiritualitas merupakan perjalanan kedalam diri manusia sendiri. Bisa jadi seorang pedagang, polisi, ilmuwan, ekonom, dan lainnya mampu mencapai apa yang diinginkannya, namun amat mungkin ia miskin dalam mengenal eksistensi dirinya (lihat fenomena manusia modern). Mungkin ia gagal memahami makna hidup ini, kemana perjalanan dan untuk apa diciptakan. Sehingga apa yang dihasilkan dengan seluruh daya dan upaya tidak bisa memberikan kebahagiaan, ketenangan dan kedamaian.

Mengenal eksistensi diri adalah keniscayaan untuk membangun kepedulian dan kecintaan terhadap kemanusiaan. Jika ini gagal dilakukan, maka mengenal orang lain juga gagal. Menarik ajaran klasik yang mengatakan, bahwa kita hanya dapat memahami orang lain (sisi kemanusiaan), jika kita mengenal diri kita. Bahkan kaitan dengan Tuhan pun, sabda Nabi “
siapa yang mengenal dirinya, mengenal Tuhannya”. Jadi pemahaman mengenai yang lain bergantung pemahaman mengenai diri kita sendiri. Tanpa kerja bathin init au berhubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi yang tidak dapat dimanipulasi sebagai basis aksi kebudayaan, maka kehidupan manusia akan penuh dengan pengobjekan orang lain, manipulasi, penindasan dan kekjaman yang muncul bukan saja hanya karena kita tidak mengenal bathin orang, tetapi justru kita tidak mengenal diri sendiri.

Jika kesadaran ketuhanan dan kemanusiaan tersebut berakar pada setiap individu, maka visi baru akan menjelma menjadii laku budaya dan akan menjadi arahan dalam perjalanan sebuah bangsa. Krisis multidimensional yang melanda seluruh dunia, ekologi, dehumanisasi, kriminalitas, kesenjangan sosial, kelaparan dan alienasi adalah akibat hilangnya visi ketuhanan dan kemanusiaan.

Menuju kesadaran tunggal

Kesadaran akan dimensi ketuhanan dan kemanusiaan dalam diri kita adalah suatu keniscayaan. Keduanya tidak bisa dipisahkan, bersifat integral. Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa jika aktivitas atau peran yang kita lakukan tanpa menjadikan Tuhansebagai tujuan orientasi atau titik pusat maka kualitas aktivitas hidup kita akan menjadi rendah. Begitu pula sebaliknya, jika hubungan ketuhanan kita tinggi sementara sisi kemanusiaan kita rendah bahkan tidak memiliki implikasi sosial sama sekali, maka kita sebenarnya hanya sedang beragama tetapi tidak ber-Tuhan.

Apa yang kita pahami dari konsep tauhid, sebagai prinsip dasar muslim sesungguhnya upaya membangun kesadaran tunggal tersebut. Konsepsi tentang tauhid meniscayakan adanya kesatuan wujud. Tata kosmos ini tidak hanya bersifat materi, tetapi didalamnya juga terkandung prinsip imateri. Dimensi ketuhanan dan kemanusiaan. Dan ini bisa menjadi perspektif tanding dari visi kehidupan konvensional yang sedang terjadi, dimana realitas (kosmos) ini dilihat hanya sebagai materi termasuk dirinya sendiri.

Dengan konsep ini kita tidak semata meyakini bahwa Allah itu satu, tetapi juga meyakini realitas adalah satu juga atau tunggal. Konsekuensi logis dari pemahaman tersebut adalah bahwa apa yang nisbi bukanlah realitas. Ini dinamakan realitas justru hanya dinisbahkan kepada Tuhan. Dus, segala aktivitas yang disandarkan selain Tuhan, maka itu bentuk kemusyrikan intelektual, dan itu noda besar yang tak termaafkan bagi kesucian tauhid.
Kesadaran kita tentang Tuhan pada tingkatan tertentu, akan mengejawantah dalam aksi kebudayaan kita. Laku kita menjadi laku Tuhan, omongan kita menjadi omongan Tuhan. Kalau Tuhan memiliki al-Khaliq (Maha Pencipta). Ia mencipta dari tiada menjadi ada, maka kita juga harus mencipta pula dari ada menjadi lebih baik atau sempurna. Kalau Tuhan ar-Raziq (pemberi rezeki) maka kita juga harus memberi rezeki kepada orang lain, bukan malah menghalangi orang lain untuk mendapat rezeki. Jika Tuhan ar-Rahman-ar-Rahim kepada siapa saja, kita juga harus memberikan Rahman dan Rahim kita kepada siapa saja, sekalipun kepada orang yang memusuhi kita dan lain sebagainya.

Hanya saja pencapaian kesadaran tunggal atau komitmen ketuhanan dan kemanusiaan dalam diri kita itu sangat tergantung seberapa besar usaha kita mengakses cahaya Tuhan. Semakin dekat kita dengan cahaya Tuhan, semakin peka pula terhadap kondisi sosial dan semakin baik aksi kebudayaan kita, jika terjadi sebaliknya, jauh dari cahaya Tuhan, maka aksi kebudayaan yang kita lakukan bukan cerminan dari laku ilahiah sehingga tidak memberi maslahat bagi orang lain tapi malah memberi madharat.

Disini ketuhanan dan kemanusiaan adalah poros untuk mengevaluasi perilaku kita. Dengan meminjam teori cerminnya al-Ghazali, aktivitas kemanusiaan yang tidak diterangi cahaya keilahian bagaikan orang yang berjalan dilorong yang gelap. Sebaliknya, orang yang dekat dengan cahaya Tuhan tetapi tidak menumbuhkan nilai agung ketuhanan didalam dirinya, bagaikan iblis.

Akhir Kalam
Suhrawardi al-Maktul (pendiri filsafat isyraqiyah/ iluminasi) menggambarkan realitas tunggal adalah cahaya (iysraq). Cahaya itu membanting dari cahaya diatas cahaya (nur ala nur) sampai cahaya yang paling redup. Semakin dekat kita dengan cahaya maha cahaya, maka terangnya semakin cemerlang. Sebaliknya semakin jauh kita dengan-Nya , maka terangnya semaikn redup. Cahaya yang paling redup adalah cahaya yang paling jauh dengan Tuhan.

Nah, kita berada di cahaya yang mana? Cepat ambil pilihan yang tegas, agar jelas arah hidup yang akan kita jalani. Semakin lama kita ambil pilihan maka, semakin cepat pula gelombang dunia yang penuh gebyar ini menggilas diri kita dan kita akan masuk dalam pasar mereka. Kita harus membangun pasar sendiri.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun