Mohon tunggu...
Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri Mohon Tunggu... -

sedang studi di pascasarjana sosiologi UGM

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dalam Terang Gelaplah, Dalam Gelap Berterang-teranglah!

27 Juli 2010   05:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:34 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di balik lembar hitam catatannya tersimpan energi kemarahan, namun ia tetap tangkas dalam gerilya dan tajam ketika mengenang peristiwa. Tidaklah sulit mengenal dunia, karena baginya itu lebih dekat dari dirinya sendiri. “Kita kembali kepada alam kita di Indonesia serta kembali mengamati penghuninya!” begitu bisik kerasnya.

Ia sadar akan kekuatan alam yang melekat erat di pori-pori kulit kita. Alam nusantara (Indonesia) telah membentang luas untuk digali harta karunnya, untuk dikuras segala bukti. Membanting tulang serta memutar otak terus-menerus untuk mendapatkan makanan dan pakaian serta memperoleh senjata dan perlindungan untuk membela diri terhadap binatang buas atau alam yang kejam.

World View, dimulai dari kosakata lama itu, ia bergerak meraba dinding-dinding sejarah nenek moyang yang ia banggakan sebagai bagian dari semesta raya bumi nusantara. Semesta dengan kodratnya yang lunak kepada perbedaan alam jiwanya orang Indonesia asli, seperti orang Kubu, Semang, Dayak, dan Irian seperti berkelindan di atas alam-jiwanya seorang Indonesia di desa dan kota seperti tani, buruh, dokter, insinyur, atau pengacara.

Karena itu ia berkawan dengan hukum dialektika, di tengah kenyataan sejarah alam manusia Indonesia yang pasif menerima, bahkan menderita ketakutan saja, hilanglah karakter yang diimajinasikan, maka dialektika dalam benaknya membentuk makna yakni perubahan bilangan sedikit demi sedikit, lama-kelamaan menjadi pertukaran sifat (quantity into quality).

Ia tak pernah lupa dengan sisi religiusitas yang melatari perkembangan alam pikirnya. Sang Nabi baginya mestilah dikenal buta huruf namun ia yakin kekuatan manusia dari alam pikir dan kerja yang bertalutan. Bukanlah berarti buta huruf ikut serta buta kecerdasan, buta keberanian ataupun buta kejujuran. Sebaliknya pula, pendidikan pun dilihatnya tidaklah menjamin keberanian, keuletan, kejujuran, kecakapan memimpin, ketangkasan memandang ke hari depan dan mengambil sesuatu putusan dengan cepat serta tepat (resourcefulness).

(Tegak (tinggal) di kampung pagar kampung, tinggal di alam pagar (nya) alam. Melompatlah sama pata, menuruk (sembunyi) sama hilang) -Tan Malaka-1948-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun