Mohon tunggu...
Avans Cross Lines
Avans Cross Lines Mohon Tunggu... wiraswasta -

My Name Is Avans Cross Lines

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setitik Debu

15 Juli 2012   15:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:56 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terinspirasi dari lagu Adhitia Sofyan-into the light

Kedua malaikat itu menatapku. Mereka melayang. Sayap putih keemasan mereka terkembang lebar. Yang satu memiliki 5 pasang sayap. Yang satu lagi memiliki 8 pasang sayap. Mata mereka menatapku. Tidak. Menatap kami. Matanya berwarna biru. Yang satu berambut hitam. Yang satu berambut keemasan. Kulitnya putih mulus bercahaya dari atas kepala hingga telapak kaki. Mereka telanjang. Dadanya bidang. Kedua malaikat itu seperti pria namun tak memiliki penis. Mereka berdua membawa sebuah buku catatan di masing-masing tangan kanan mereka. Yang satu berwarna hitam. Yang satu berwarna putih dan dijemari kiri mereka terselip sehelai bulu. Pena bulu. Pena dengan tinta yang tak akan pernah habis.

Mereka menatap kami. Kami yang telanjang bulat. Di padang tandus. Dengan tanah kering kerontang. Retak terpecah belah. Matahari menyinari kami. Begitu dekat. Sangat dekat. Seperti tak jauh dari kepala kami. Panasnya begitu menyengat. Membakar kulit namun anehnya tak membuat kulit kami melepuh atau menghitam. Yang kami rasakan sensasi panas yang luar biasa. Membuat kami dehidrasi. Membuat kami mengucurkan keringat begitu deras seperti darah atau air yang keluar dari pori-pori kulit kami.

Kami menengadah kepanasan. Meminta jawaban. Meminta pertolongan atau mungkin meminta pengampunan. Kedua malaikat itu tak jua bicara. Hanya menatap, mencari sesuatu kemudian mereka menulis sesuatu di buku masing-masing.

Dimanakah kami? Apa ini neraka? Atau beranda Neraka? Mungkinkah padang masyar yang ‘mereka’ bicarakan itu. Disini gerah. Sangat gerah. Membuat kami kepayahan. Membuat kami menjulurkan lidah kehausan. Tak ada cairan lagi di tubuh kami. Beberapa orang mulai tumbang. Terbujur kaku di tanah tandus.

Seperti debu… seperti setitik debu di udara. Itulah kami saat ini. Tak berdaya. Berharap belas kasih. Berharap pengampunan terakhir. Semua orang menangis, berlutut memohon, berdoa meminta kemurahan hati dari-Nya. Sang pencipta.

Aku terkulai lemah. Lututku bertumpu pada tanah yang sungguh panas ini. Panas namun tak membuat tubuhku terbakar. Aku semakin menengadah. Dengan raut wajah memelas. Menatap kedua malaikat berwajah tampan nan cantik itu yang tanpa ekspresi. Indah. Indah sekali wajah mereka. Siapakah mereka? Siapa nama mereka? Aku ingin mengetahuinya..

Aku layangkan pandanganku semakin keatas ketengah bulatan bola pijar diatas kepalaku. Sungguh menyilaukan cahayanya. Aku terus memandanginya. Tak peduli bahwa itu membuatku buta. Mataku buta. Tiba-tiba tetes demi tetes hujan turun. Kental dan pekat seperti susu. Tetesan air hujan itu menelan kami. Seperti seekor semut terperangkap dalam tetesan susu kental. Kini semuanya menjadi putih. Putih terang tanpa apa-apa. Seribu pertanyaan berkecamuk. Tak ada lagi jawaban. Tak akan ada lagi kesempatan kedua. Inilah akhir dari sebuah kisah kehidupan..Into the Light… this Chapter Ends…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun