Mohon tunggu...
Auxilla Nanda
Auxilla Nanda Mohon Tunggu... Lainnya - pelajar

@auxillananda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menemaninya Hingga Ia Sukses

22 Oktober 2023   18:19 Diperbarui: 22 Oktober 2023   18:39 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini aku sedang merekam anak laki-laki satu-satunya yang aku punya. Ia dengan lincahnya berlari mengincar bola yang sedang digiring oleh tim lawan. Tak terasa kini ia telah berumur sebelas tahun. Ia tumbuh menjadi anak yang lincah dan sangat menyukai dunia olahraga khususnya sepak bola. Entahlah, seperti baru kemarin aku melihatnya menangis kehausan di rumah sakit. Aku jadi teringat kisah pada saat ia dilahirkan. Baiklah. Mari duduk di bangku penonton dan mulai mengingat kisah itu.

Pada tanggal 28 April 2011 dimalam hari. Saat itu, aku sedang melaksanakan tugas di luar kota. Aku harus meninggalkan istriku yang sedang hamil tua. Pada saat malam itu, aku memang sedang bersantai dengan temanku. Kami sedang membicarakan satu dua hal sambil meminum secangkir kopi dan sepiring gorengan. Tiba-tiba aku mendapatkan kabar bahwa istriku akan melahirkan.

Aku langsung loncat dari dudukku dan bergegas izin ke atasan untuk bertemu istriku yang sedang melahirkan. Setelah itu semua selesai, aku mulai bergegas untuk pulang dan menghidupkan motorku. Tak lupa aku memberikan kabar bahagia ini ke Yusa. Ia pun mengucapkan selamat dan memaksa agar ia ikut aku ke Kota Malang tempat istriku melahirkan. Baiklah. Aku membiarkannya ikut.

Kami pun berangkat pada saat jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Dengan udara yang dingin di suasana malam, aku mulai melajukan motor dengan kecepatan sedang. Aku dan Yusa menikmati angin malam dan sesekali mengobrol. Ah, langit malam. Aku bisa membayangkan bagaimana wajah anakku. Apakah dia mirip Arin, istriku atau mirip denganku? Ah, itu membuatku senyum-senyum sendiri.

Jalanan terlihat legang karena saat ini telah lewat tengah malam. Karena jalanan legang, aku memutuskan untuk menambah kecepatan. Angin malam menerpa wajahku. Angin itu semakin kencang menerpa wajahku. Karena aku menambah kecepatan lagi. Yusa hanya menikmati perjalanan. Aku hanya memikirkan bagaimana agar cepat sampai ke Malang dan bertemu dengan Arin.

Aku dengan kecepatan tinggi melewati jalanan malam yang lengang. Tak terlihat, di arah berlawanan ada sebuah mobil yang tiba-tiba memutuskan untuk memutar balik. Aku tak sempat menghentikan laju motorku yang berkecepatan tinggi. Yusa juga telah menepuk bahuku berulang kali tanda mengingatkan bahwa ada mobil yang memutar balik didepan. Tetapi, itu semua terlambat.

Motorku menghantam mobil itu dengan sangat keras. Aku dan Yusa terlempar. Saat aku sedang melayang di udara, aku seakan-akan melihat tayangan ulang yang telah aku lewati selama masa hidupku. Masa kecil dengan orang tuaku, masa remaja yang indah dengan teman-temanku, masa masuk kerja dan menikah dengan Arin, anak pertamaku yang saat ini sedang berada di Malang, dan bagaimana nanti nasib anakku yang dilahirkan oleh Arin?

Bum. Aku terjatuh. Semua tayangan ulang itu seakan selesai dan di sekitarku sangat gelap. Apakah aku telah tak ada di dunia lagi? Jika begitu, bagaimana nanti dengan anak dan istriku? Aku belum melihat anak keduaku. Aku tak ingin pergi dari dunia terlebih dahulu. Aku masih ingin melihat anak-anakku bertumbuh kembang menjadi orang sukses. Aku masih ingin mengajak mereka mengelilingi dunia. Ya Allah, jangan ambil nyawaku terlebih dahulu.

"pak.. pak... sadar pak.." aku mendengar suara itu. Alhamdulillah, aku masih diberi kesempatan untuk menghirup udara di dunia. Aku menganggukkan kepalaku dan mulai membuka mataku perlahan. Terdengar di beberapa meter sana, orang-orang menolong Yusa. Aku sekilas melihat Yusa. Ia tak bisa bangun. Pada akhirnya, aku dan Yusa dilarikan ke rumah sakit terdekat.

Di suatu kesempatan aku menelpon ibu mertuaku menjelaskan apa yang telah terjadi dan sepakat untuk tidak memberitahu Arin terlebih dahulu agar ia tidak kepikiran. Aku mengalami luka di bagian jempol kaki hingga betis. Itupun harus dijahit sembilan jahitan. Berbanding terbalik dengan Yusa temanku, ia tak sadarkan diri. Tulang ekornya terkena hentakan yang keras dan harus di operasi.

Ah, aku tak bisa melihat anakku dilahirkan. Aku tak bisa melantunkan adzan untuknya. Aku menyesal. Aku menyesal menaikkan kecepatan laju motorku dan tak memerhatikan sekitar. Aku sangat merasa bersalah kepada Yusa. Ia juga terkena dampaknya atas perbuatanku. Tetapi, waktu tak bisa lagi diulang. Aku harus menerima situasi ini. Baiklah. Akan aku ikhlaskan atas semua apa yang telah terjadi kepadaku.

Siang hari. Waktu berjalan dengan sangat lambat. Saat ini aku telah dipindahkan ke salah satu rumah sakit di Malang. Aku telah bertemu dengan Arin. Ia telah melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan. Muka dia terlihat sangat khawatir saat melihatku. Tetapi aku meyakinkan dia, bahwa aku baik-baik saja. Aku pun melanjutkan perawatan yang harus aku lalui.

Tiga hari telah berlalu. Walau aku belum seratus persen pulih, tetapi setidaknya aku telah bisa jalan dan melakukan beberapa aktivitas seperti biasanya. Yusa masih dirawat dan ia telah sadar. Aku langsung meminta maaf kepadanya dan  kepada keluarganya. Ia hanya tersenyum dan mengangguk. Ia menyalamiku dan mengucapkan selamat atas kelahiran anakku.

Saat ini, aku sedang menimang-nimang anak lelakiku dan bermain bersama anak perempuanku. Arin sedang menyiapkan makan siang di dapur. Tanpa kusadari, aku tersenyum. Mensyukuri apa yang telah terjadi. Bersyukur masih bisa bersama anak-anakku, bermain bersama, dan tertawa bersama.

***

"Gol!." Suara di Lapangan bergemuruh. Terlihat nomor punggung 29 menendangkan bola ke dalam gawang dan waktu pertandingan telah usai. Team anak lelakiku memenangkan pertandingan. Lantas ia dan teman-temannya melakukan sedikit selebrasi dan bersalaman dengan tim lawan. Ia berjalan ke arahku dengan senyum yang merekah. 

Ia dan teman-temannya menaiki podium dan mulai menerima piala sedang medali. Aku memotretnya. Rasa bangga ini tak bisa digambarkan. Aku sangat bangga padanya. Aku akan terus mendukung apa yang ia inginkan sampai dewasa nanti. Akan aku temani ia sampai menjadi orang yang sukses dikemudian hari nanti.

Setelah aku memotret anakku, Yusa datang kepadaku sambil menepuk pundakku. "selamat bang! Tim anak kita menang." Aku membalasnya dengan senyuman dan ucapan terima kasih. Lantas kami berdua pun menemui anak kami yang sedang merayakan kemenangannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun