Saat ini aku sedang merekam anak laki-laki satu-satunya yang aku punya. Ia dengan lincahnya berlari mengincar bola yang sedang digiring oleh tim lawan. Tak terasa kini ia telah berumur sebelas tahun. Ia tumbuh menjadi anak yang lincah dan sangat menyukai dunia olahraga khususnya sepak bola. Entahlah, seperti baru kemarin aku melihatnya menangis kehausan di rumah sakit. Aku jadi teringat kisah pada saat ia dilahirkan. Baiklah. Mari duduk di bangku penonton dan mulai mengingat kisah itu.
Pada tanggal 28 April 2011 dimalam hari. Saat itu, aku sedang melaksanakan tugas di luar kota. Aku harus meninggalkan istriku yang sedang hamil tua. Pada saat malam itu, aku memang sedang bersantai dengan temanku. Kami sedang membicarakan satu dua hal sambil meminum secangkir kopi dan sepiring gorengan. Tiba-tiba aku mendapatkan kabar bahwa istriku akan melahirkan.
Aku langsung loncat dari dudukku dan bergegas izin ke atasan untuk bertemu istriku yang sedang melahirkan. Setelah itu semua selesai, aku mulai bergegas untuk pulang dan menghidupkan motorku. Tak lupa aku memberikan kabar bahagia ini ke Yusa. Ia pun mengucapkan selamat dan memaksa agar ia ikut aku ke Kota Malang tempat istriku melahirkan. Baiklah. Aku membiarkannya ikut.
Kami pun berangkat pada saat jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Dengan udara yang dingin di suasana malam, aku mulai melajukan motor dengan kecepatan sedang. Aku dan Yusa menikmati angin malam dan sesekali mengobrol. Ah, langit malam. Aku bisa membayangkan bagaimana wajah anakku. Apakah dia mirip Arin, istriku atau mirip denganku? Ah, itu membuatku senyum-senyum sendiri.
Jalanan terlihat legang karena saat ini telah lewat tengah malam. Karena jalanan legang, aku memutuskan untuk menambah kecepatan. Angin malam menerpa wajahku. Angin itu semakin kencang menerpa wajahku. Karena aku menambah kecepatan lagi. Yusa hanya menikmati perjalanan. Aku hanya memikirkan bagaimana agar cepat sampai ke Malang dan bertemu dengan Arin.
Aku dengan kecepatan tinggi melewati jalanan malam yang lengang. Tak terlihat, di arah berlawanan ada sebuah mobil yang tiba-tiba memutuskan untuk memutar balik. Aku tak sempat menghentikan laju motorku yang berkecepatan tinggi. Yusa juga telah menepuk bahuku berulang kali tanda mengingatkan bahwa ada mobil yang memutar balik didepan. Tetapi, itu semua terlambat.
Motorku menghantam mobil itu dengan sangat keras. Aku dan Yusa terlempar. Saat aku sedang melayang di udara, aku seakan-akan melihat tayangan ulang yang telah aku lewati selama masa hidupku. Masa kecil dengan orang tuaku, masa remaja yang indah dengan teman-temanku, masa masuk kerja dan menikah dengan Arin, anak pertamaku yang saat ini sedang berada di Malang, dan bagaimana nanti nasib anakku yang dilahirkan oleh Arin?
Bum. Aku terjatuh. Semua tayangan ulang itu seakan selesai dan di sekitarku sangat gelap. Apakah aku telah tak ada di dunia lagi? Jika begitu, bagaimana nanti dengan anak dan istriku? Aku belum melihat anak keduaku. Aku tak ingin pergi dari dunia terlebih dahulu. Aku masih ingin melihat anak-anakku bertumbuh kembang menjadi orang sukses. Aku masih ingin mengajak mereka mengelilingi dunia. Ya Allah, jangan ambil nyawaku terlebih dahulu.
"pak.. pak... sadar pak.." aku mendengar suara itu. Alhamdulillah, aku masih diberi kesempatan untuk menghirup udara di dunia. Aku menganggukkan kepalaku dan mulai membuka mataku perlahan. Terdengar di beberapa meter sana, orang-orang menolong Yusa. Aku sekilas melihat Yusa. Ia tak bisa bangun. Pada akhirnya, aku dan Yusa dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Di suatu kesempatan aku menelpon ibu mertuaku menjelaskan apa yang telah terjadi dan sepakat untuk tidak memberitahu Arin terlebih dahulu agar ia tidak kepikiran. Aku mengalami luka di bagian jempol kaki hingga betis. Itupun harus dijahit sembilan jahitan. Berbanding terbalik dengan Yusa temanku, ia tak sadarkan diri. Tulang ekornya terkena hentakan yang keras dan harus di operasi.
Ah, aku tak bisa melihat anakku dilahirkan. Aku tak bisa melantunkan adzan untuknya. Aku menyesal. Aku menyesal menaikkan kecepatan laju motorku dan tak memerhatikan sekitar. Aku sangat merasa bersalah kepada Yusa. Ia juga terkena dampaknya atas perbuatanku. Tetapi, waktu tak bisa lagi diulang. Aku harus menerima situasi ini. Baiklah. Akan aku ikhlaskan atas semua apa yang telah terjadi kepadaku.